Garis Darah dan Permainan

Tiga hari setelah pengambilan sampel DNA, rumah sakit swasta “Medika Prime” tampak lebih sunyi dari biasanya. Angin sore menggerakkan tirai putih di ruang konsultasi ketika dokter mempersilakan keluarga Kusuma duduk.

Wilona duduk di kursi paling ujung, tangannya dingin, matanya menatap amplop putih di atas meja dokter dengan campuran tegang dan datar.

Wijaya duduk tegak, sementara Sinta berusaha menampilkan wajah penuh keibuan. Di samping mereka, Tania tampak gelisah — bukan karena cemas, tapi karena tidak suka berbagi udara dengan gadis yang menurutnya “terlalu sempurna untuk anak kampung.”

Dokter menarik napas panjang. “Hasil tes DNA menunjukkan kecocokan sebesar 99,97% antara sampel darah Bapak Wijaya Kusuma dan saudari Wilona Anastasia…”

Ia menatap Wilona dengan senyum hangat. “Artinya, benar. Saudari Wilona adalah keponakan kandung Bapak.”

Ruangan itu mendadak sunyi sesaat. Lalu Sinta langsung menggenggam tangan Wilona erat. “Syukurlah, sayang… akhirnya kamu kembali ke keluarga yang seharusnya.”

Wilona tersenyum tipis — senyum yang tak sepenuhnya sampai ke mata. “Jadi… ini berarti saya benar-benar bagian dari keluarga Kusuma?”

“Ya,” ujar Wijaya mantap. “Mulai sekarang kamu tidak perlu hidup sendirian lagi. Kamu tinggal bersama kami di rumah utama. Kami akan urus semuanya — sekolahmu, kebutuhanmu, masa depanmu.”

Tania memutar bola matanya pelan. “Luar biasa… keluarga mendadak bertambah satu."

Sinta menepuk bahunya lembut, tapi matanya memberi sinyal tajam, diam dulu.

Malamnya, di rumah keluarga Kusuma — sebuah mansion bergaya Eropa dengan halaman luas dan air mancur di tengah taman Wilona menatap bangunan megah itu dalam diam. Lampu-lampu kristal berkilau, menyorot setiap detail ukiran dinding marmer dan pilar tinggi.

Sinta menyambutnya di depan pintu. “Mulai malam ini, rumah ini rumahmu juga, Wilona.”

Wilona menunduk sopan. “Terima kasih, Tante.”

Di dalam, segala kemewahan terasa berlebihan baginya. Lantai licin berkilau, aroma bunga segar memenuhi ruangan, dan setiap sudut tampak terlalu sempurna untuk disebut “rumah.”

“Ini kamar anda Nona,” ujar seorang pelayan sambil membuka pintu lebar-lebar.

Wilona melangkah masuk — ruangan besar dengan jendela tinggi, ranjang berkanopi, dan lemari pakaian yang bisa menampung seluruh isi toko. Ia menyentuh dinding, dingin dan tak berjiwa.

“Kalau butuh apa pun, tekan bel di sisi ranjang,” kata pelayan itu.

Wilona hanya mengangguk, lalu menutup pintu perlahan. Begitu sendirian, ia membuka tas kecilnya, mengeluarkan laptop dan kabel data.

Senyumnya muncul samar. “Kita mulai permainan ini, keluarga Kusuma.”

......................

Keesokan paginya, saat sarapan di meja panjang penuh porselen mahal, Wijaya membuka pembicaraan.

“Wilona, aku sudah hubungi pihak sekolahmu di desa. Aku minta mereka kirimkan berkas nilai dan surat pindah. Mulai minggu depan, kamu akan bersekolah di SMU Alexandria.”

Wilona mengangkat wajahnya pelan. “SMU Alexandria?”

Sinta tersenyum manis. “Sekolah swasta paling bergengsi di kota ini. Anak pejabat, pengusaha besar, bahkan artis sekolah di sana. Kamu akan cepat menyesuaikan diri, apalagi sekarang kamu adalah keturunan Kusuma."

Sebelum Wilona sempat menjawab, suara dingin terdengar dari ujung meja.

“Aku gak mau satu sekolah dengan dia, Ma,” protes Tania. “Aku sudah cukup repot di sana. Lagipula… apa orang seperti dia bisa cocok di sekolah elit?”

“Tania…” Wijaya memperingatkan.

Tapi sebelum ia lanjut, Sinta menyela dengan lembut, “Tania, justru itu bagus. Kalau Wilona satu sekolah denganmu, kamu bisa bantu dia beradaptasi. Lagipula, kamu bisa… memantau keadaan.” bisik Sinta.

Tatapan mata Sinta memberi isyarat yang hanya dipahami oleh putrinya. Tania mendengus pelan, tapi akhirnya mengangguk setuju.

“Baiklah, tapi jangan harap aku jadi mau mengakuinya sebagai sepupu ku disekolah.”

Wilona hanya tersenyum tipis sambil menatap rotinya. “Tidak perlu repot, Tania. Aku bisa jaga diri sendiri.”

Kalimat itu membuat Tania menatapnya dengan rasa tidak suka yang kian dalam.

Di malam hari, di kamar pribadinya, Sinta berdiri di depan cermin besar sambil menyisir rambut. “Kita sudah satu langkah lebih dekat,” katanya kepada Wijaya yang duduk membaca dokumen.

“Begitu semua aset Ayah dialihkan atas nama Wilona, kita hanya perlu menunggu waktu.”

Wijaya menatap istrinya. “Kau yakin bisa mengendalikan gadis itu? Dia tidak seperti Lestari. Matanya… tajam.”

Sinta tersenyum miring. “Aku tahu. Karena itu aku biarkan dia di sekolah yang sama dengan Tania. Biarkan Tania memata-matai setiap langkahnya.”

Wijaya menutup berkas di tangannya. “Dan kalau dia tahu tentang wasiat Ayah?”

Sinta menatap bayangannya sendiri di cermin. “Maka permainan kita harus diselesaikan sebelum itu terjadi.”

Beberapa hari kemudian, Wilona mulai bersekolah di SMU Alexandria.

Begitu ia melangkah melewati gerbang megah dengan seragam barunya, bisik-bisik segera terdengar.

“Eh, itu murid baru ya? Cantik banget.”

“Katanya keponakan pemilik Kusuma Corp.”

“Beneran? Tapi mukanya nggak sombong, beda sama Tania.”

Wilona berjalan tenang, tak menghiraukan sorotan mata. Di balik kacamata tipis dan rambut terurai, ia tampak seperti siswi tenang dan rajin. Tak ada yang tahu bahwa setiap gerakannya selalu penuh perhitungan.

Saat jam pelajaran dimulai, guru memperkenalkannya.

“Anak-anak, ini teman baru kalian, Wilona Anastasia Kusuma. Tolong bantu dia menyesuaikan diri di sekolah ini.”

Kelas langsung riuh. Namun hanya satu orang yang tampak tidak bereaksi: seorang pemuda dengan seragam acak-acakan, duduk di barisan paling belakang. Pandangannya dingin, tapi tajam seperti belati.

Wilona sempat meliriknya sekilas dan untuk alasan yang tak bisa ia jelaskan, pandangan itu membuat dadanya bergetar.

Setelah pelajaran selesai, Tania langsung menghampiri Wilona ke kelas nya karena walaupun mereka SE umuran tapi Tania masih kelas X sedangkan Wilo kelas XII, Tania menatap nya dengan senyum sinis.

“Jangan terlalu senang dulu, sepupu. Sekolah ini bukan tempat untuk orang lugu.”

Wilona menatapnya tenang. “Aku bukan orang lugu, Tania. Aku hanya tahu kapan harus diam.”

Ucapan itu membuat wajah Tania menegang sesaat. Tapi sebelum sempat membalas, suara seseorang terdengar dari belakang.

“Minggir!!."

Keduanya menoleh. Pemuda yang tadi duduk di belakang berjalan melewati mereka tanpa menatap satu pun. Tania langsung tersipu, wajahnya memerah.

“Kak Galen…” bisiknya.

Wilona memiringkan kepala. “Kamu naksir dia?”

Tania tersenyum samar, tapi matanya berbinar. “Itu Galen Hugo Dirgantara. Kakak kelas paling populer di sekolah ini. Cucu dari pengusaha Felix Dirgantara — sahabat kakek. Dia juga… calon tunanganku.”

Wilona menatapnya sedikit heran. “Calon tunanganmu?”

“Ya. Setidaknya dulu aku pikir begitu,” jawab Tania dengan nada getir. “Sampai aku tahu, di wasiat kakek tertulis bahwa pewaris Kusuma harus menikah dengan pewaris keluarga Dirgantara.” monolog Tania pelan tapi masih bisa didengar jelas oleh Wilona yang memiliki indra pendengaran yang sangat tajam.

Wilona menatapnya diam-diam. Di benaknya, kepingan puzzle mulai tersusun. Jadi ini sebabnya mereka mencari aku?

“Dan kau tahu siapa pewaris itu sekarang, kan?” suara Tania rendah, nyaris berbisik.

Malam itu, Wilona berdiri di balkon kamarnya, menatap langit kota yang gelap. Ia menyalakan laptopnya, kembali mengakses file rahasia milik Kusuma Corp.

Kali ini ia menemukan dokumen lama berjudul “Surat Wasiat Felix Kusuma.”

Teks di dalamnya menjelaskan:

Segala aset keluarga Kusuma akan diwariskan kepada keturunan Lestari Kusuma, dengan syarat keturunan tersebut menikah dengan keturunan keluarga Dirgantara.

Wilona menatap layar itu lama. “Jadi… ini semua bukan tentang kasih sayang. Tapi tentang kekuasaan.”

Ia tersenyum miring. “Kalau begitu, aku akan bermain lebih baik dari kalian semua.”

Di sisi lain rumah, Tania berbaring di tempat tidur sambil menatap foto Galen di ponselnya. Pemuda itu tersenyum samar dalam potret tampan, tapi dingin, seperti menyimpan rahasia sendiri.

“Kenapa kamu nggak pernah lihat aku, Galen?” bisiknya lirih. “Kamu akan lihat nanti. Setelah kita akan di tunangkan."

Sinta masuk diam-diam. “Belum tidur sayang?”

Tania buru-buru menutup ponselnya. “Belum Ma, aku cuma mikirin sekolah.”

Sinta tersenyum, duduk di tepi ranjang.

“Kamu suka sama Galen, ya?”

Wajah Tania memerah. “Aku mencintainya, Ma. Tapi kakek menjodohkan dia dengan Wilona. Itu nggak adil!”

Sinta mengelus rambut putrinya lembut. “Sabar, Sayang. Kau akan mendapatkan semua yang kau mau. Cinta, harta, semuanya. Asal jangan gegabah.”

Tania menatap ibunya dengan mata berapi. “Jadi apa rencana Mama?”

Sinta tersenyum samar, tapi nada suaranya dingin. “Biarkan Wilona merasa aman dulu. Biar dia percaya kita keluarga yang baik. Begitu semua surat warisan selesai dipindahkan atas namanya, kita buat dia jatuh… perlahan. Tanpa jejak.”

Keesokan harinya di sekolah, Wilona duduk di taman belakang sambil membaca buku fisika. Angin sepoi-sepoi menerbangkan beberapa helai rambutnya.

"Lo murid baru dari desa kan?.”

Wilona menoleh. Galen berdiri di belakangnya, membawa minuman kaleng. Tatapannya tetap dingin, tapi ada sesuatu yang berbeda — seolah ia sedang menilai, bukan menolak.

“Kamu tahu aku dari mana?” tanya Wilona tenang.

“Nama Lo sudah jadi bahan gosip sekolah,” jawab Galen santai." plus calon tunangan Gue."

Wilona menatapnya. “Calon tunangan?”

“Ya,” katanya datar. “Kakek gue Felix dan kakek lo dulu bersahabat. Mereka ingin menyatukan dua keluarga lewat pernikahan cucu. Gue sudah tahu dari lama.”

“Dan kamu tidak keberatan?”

Galen menatap langit. “Aku tidak percaya pada perjodohan. Tapi aku percaya pada permainan orang tua yang selalu punya tujuan. Awalnya gue pikir yang bakalan jadi jodoh gue si ulat keket.”

"Maksud lo Tania?."

"Whoever" jawab Galen ogah-ogahan.

Wilona menutup bukunya, lalu berkata pelan, “Kalau begitu, mungkin kita sedang dipaksa memainkan permainan yang sama.”

Galen menatapnya lurus untuk pertama kalinya. Tatapan dua jiwa yang sama-sama terjebak dalam labirin warisan dan rahasia.

Sebelum sempat melanjutkan, bel sekolah berbunyi.

Galen berjalan pergi, tapi sempat berucap lirih tanpa menoleh,

“Hati-hati, Wilona. Di keluarga besar seperti Kusuma… darah bisa jadi lebih beracun dari pada racun itu sendiri.”

Wilona memandang punggungnya yang menjauh dan tersenyum samar. “Aku tahu, Galen. Tapi aku tidak akan jadi korban. Aku akan jadi penentu.”

Malam menjelang lagi. Di ruang kerjanya, Wijaya menatap foto lama dirinya bersama Lestari

“Lestari… kalau kau masih hidup, kau pasti benci aku,” gumamnya pelan.

Di belakangnya, Sinta masuk. “Jangan terlalu sentimental. Kita sudah terlalu jauh untuk mundur.”

Wijaya menatap istrinya, mata lelah. “Aku hanya takut gadis itu tahu semuanya.”

Sinta tersenyum dingin. “Kalau dia tahu… dia tidak akan punya waktu untuk mendapatkan semuanya.”

Sementara itu, di kamar Wilona, layar laptop menampilkan dua nama:

Wijaya Kusuma

Sinta Kusuma

Di bawahnya tertulis satu kata:

Target.

Wilona menatap layar itu dalam gelap. Cahaya biru dari layar memantul di matanya yang tajam.

“Kalau kalian ingin bermain, maka aku akan pastikan aku yang menang,” bisiknya. “Kalian pikir aku cuma anak kampung? Kalian salah besar.”

Terpopuler

Comments

Tachibana Daisuke

Tachibana Daisuke

Asiknya baca cerita ini bisa buat aku lupa waktu

2025-10-08

0

Call Me Nunna_Re

Call Me Nunna_Re

makasi kk sudh mampir🙏

2025-10-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!