2 Wilona si Jenius

Ruang kerja Wijaya Kusuma dipenuhi aroma tembakau mahal dan suara detik jam yang terasa memekakkan telinga. Malam telah larut, namun lampu gantung kristal masih menyala terang, memantulkan kilau dingin di wajah sepasang suami istri yang duduk berhadapan.

Di atas meja, beberapa berkas berserakan — surat wasiat almarhum Tuan Kusuma, salinan dokumen yayasan, dan potongan berita lama tentang hilangnya seseorang bernama Lestari Kusuma, adik perempuan Wijaya.

Shinta memegang cangkir teh yang sudah dingin, menatap suaminya yang tampak muram.

“Kalau gadis itu benar-benar masih hidup,” katanya pelan, “maka cepat atau lambat semua harta itu akan berpindah tangan. Kita tidak akan punya apa-apa, Mas.”

Wijaya terdiam. Ia menatap api kecil di dalam perapian dengan pandangan kosong. “Aku tahu,” jawabnya akhirnya. “Tapi membiarkan gadis itu hilang juga bukan solusi. Kalau dalam lima tahun dia tidak ditemukan, semua aset jatuh ke yayasan. Kita tetap kehilangan segalanya.”

Shinta mendengus pelan. “Jadi sekarang kita malah harus mencari dia? Mencari orang yang akan mengambil segalanya dari kita?”

“Bukan untuk memberinya,” kata Wijaya, suaranya dingin. “Tapi untuk memastikan dia berada di bawah kendali kita. Kalau perlu, kita jadikan dia boneka yang tidak tahu apa-apa tentang siapa dirinya.”

Shinta menatap suaminya lama. Senyum licik perlahan muncul di bibirnya. “Aku suka caramu berpikir, sayang.”

Ia berdiri dan mendekat, meletakkan tangannya di bahu Wijaya. “Kalau begitu, kita mulai dari mana?”

Wijaya mengambil selembar dokumen dari meja dan meletakkannya di depan istrinya. Di situ tertulis laporan singkat dari seorang detektif swasta yang sudah mereka sewa diam-diam beberapa hari terakhir.

“Ini laporan terakhir dari orangku,” ujarnya.

“Katanya, ada catatan di panti asuhan lama di Surabaya seorang bayi perempuan bernama Wilona Anastasia, dititipkan sekitar tujuh belas tahun lalu. Tapi tak lama setelah itu, bayi itu diadopsi oleh pasangan tanpa identitas jelas. Setelah itu, jejaknya hilang.”

“Dan siapa yang mengadopsinya?” tanya Shinta cepat.

“Belum jelas,” jawab Wijaya. “Tapi kalau usia gadis itu sekarang tujuh belas, berarti dia sebentar lagi akan berusia delapan belas — dan itu artinya, waktunya semakin dekat. Kita harus menemukannya duluan sebelum orang lain melakukannya.”

Shinta tersenyum dingin. “Baiklah. Kita temukan dia. Dan saat dia sudah di tangan kita…”

Ia berhenti sejenak, menatap mata suaminya dalam-dalam.

...“...kita pastikan dia tidak akan pernah tahu siapa dirinya sebenarnya...."...

...ΩΩΩ...

Sementara itu, jauh dari hiruk pikuk ibu kota, di sebuah desa kecil bernama Desa Suka Maju kehidupan berjalan dengan ritme sederhana. Udara pagi di sana masih segar, dan burung-burung masih rajin berkicau di antara pepohonan jati yang mengelilingi desa.

Di tengah desa itu berdiri SMU Negeri Garuda, sekolah sederhana yang bangunannya sudah mulai tua, tapi di dalamnya menyimpan semangat anak-anak desa yang haus ilmu.

Dan pagi itu, nama satu siswi bergema di seluruh penjuru sekolah:

Wilona Anastasia.

Gadis berkulit putih bersih dengan rambut hitam lurus yang selalu dikuncir rapi itu tengah berdiri di panggung upacara sederhana, menerima piagam Olimpiade Fisika Nasional dari kepala sekolahnya.

Sorak sorai teman-temannya terdengar memenuhi halaman sekolah. Bahkan beberapa guru meneteskan air mata bangga.

“Luar biasa, Wilona!” seru kepala sekolah sambil menepuk pundaknya. “Kau membuat sekolah kecil ini dikenal di seluruh negeri!”

Wilona hanya tersenyum malu. “Terima kasih, Pak. Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik.”

Di antara kerumunan, sahabatnya, Rina, berteriak lantang, “Hidup si jenius Garuda! Juara lagi, juara lagi!”

Wilona menunduk sambil tertawa kecil. Pipinya merona.

Ia tidak pernah merasa dirinya istimewa, tapi kenyataannya, semua orang tahu betapa luar biasa gadis itu.

Di usianya yang baru tujuh belas tahun, Wilona sudah menyelesaikan SD dalam waktu lima tahun dan SMP hanya dua tahun. Ia dikenal sebagai murid jenius yang selalu haus belajar. Banyak universitas ternama sudah meliriknya, bahkan beberapa media lokal menulis tentangnya sebagai “anak ajaib dari desa.”

Namun, di balik semua prestasi itu, Wilona hidup dengan sangat sederhana. Ia tinggal bersama Bu Lastri, ibu angkatnya yang bekerja sebagai penjahit rumahan. Sejak kecil, Wilona tahu dirinya anak adopsi — tapi ia tidak pernah menanyakan lebih jauh siapa orang tuanya yang sebenarnya.

Baginya, hidup bersama Bu Lastri sudah lebih dari cukup.

Siang harinya, setelah acara penghargaan selesai, Wilona duduk di bawah pohon mangga tua di halaman sekolah. Ia membuka bekal sederhana: nasi, tempe goreng, dan sambal buatan Bu Lastri.

“Pintar banget sih kamu,Wilo,” kata Rina sambil duduk di sampingnya. “Kalau aku punya otak kayak kamu, aku udah jadi profesor kali!”

Wilona tertawa kecil. “Nggak juga, Rin. Aku cuma belajar lebih rajin aja.”

Rina mendengus. “Ah, sombong terselubung. Kamu tuh nggak sadar kalau kamu udah terkenal se-desa!”

Wilona menggeleng. “Aku nggak butuh terkenal. Aku cuma pengin kuliah, kerja, dan bikin Bu Lastri bahagia. Itu aja.”

“Serius?” tanya Rina sambil memandang wajah sahabatnya. “Nggak pengin cari tahu siapa orang tuamu yang sebenarnya?”

Pertanyaan itu membuat Wilona terdiam. Ia menatap jauh ke arah lapangan, matanya sedikit sayu.

“Dulu aku sering mikir,” katanya pelan.

“Kenapa mereka ninggalin aku. Tapi makin ke sini, aku sadar, mungkin Tuhan punya rencana lain. Kalau bukan karena mereka, aku nggak akan kenal Bu Lastri.”

Rina tersenyum lembut. “Kamu tuh kebangetan baiknya. Dunia nggak banyak punya orang kayak kamu, Lo.”

Wilona menatap langit. “Aku cuma percaya, Rin… kalau kita tulus, semuanya pasti akan terbayar suatu hari nanti.”

Sore itu, di rumah kecil di tepi sawah, Bu Lastri sedang menjahit pesanan seragam sekolah. Jarum mesin jahit berputar cepat, dan di meja kecil di sampingnya, tergantung foto Wilona kecil yang sedang tersenyum lebar, memakai baju putih lusuh tapi matanya berkilau.

“Anakku pintar sekali sekarang,” gumamnya dengan bangga sambil mengusap foto itu.

Tak lama, suara langkah kaki terdengar dari luar.

“Bu, aku pulang!”

Wilona masuk sambil membawa map penghargaan. Wajahnya bersinar cerah. “Bu, lihat! Aku menang olimpiade lagi!”

Bu Lastri langsung berdiri, memeluknya erat. “Astaga, anakku… Ibu bangga sekali!”

Pelukan itu hangat, tulus. Tak ada yang tahu bahwa di balik kesederhanaan itu tersembunyi rahasia besar yang akan mengubah segalanya.

Wilona menyerahkan piagam itu. “Kepala sekolah bilang mungkin aku bisa dapat beasiswa ke luar negeri, Bu. Tapi aku masih mikir… aku nggak mau ninggalin Ibu sendirian.”

Bu Lastri tersenyum lembut. “Nak, kalau memang itu jalanmu, Ibu ikhlas. Jangan pikirkan Ibu. Ibu cuma ingin kamu bahagia.”

Wilona menatap wajah tua itu dengan mata berkaca-kaca. “Ibu… aku sayang sama Ibu.”

“Ibu juga sayang kamu, Wilona.”

Mereka tertawa kecil, tidak menyadari bahwa di balik pepohonan di depan rumah, sebuah mobil hitam berhenti diam.

Di dalamnya, dua orang berpakaian rapi sedang memperhatikan mereka orang suruhan Wijaya dan Shinta.

“Benar,” kata salah satu dari mereka sambil menatap foto yang sama di ponselnya. “Gadis itu… cocok dengan data. Namanya Wilona Anastasia.”

Pria di sampingnya tersenyum tipis. “Bagus. Kita sudah menemukannya.”

Malam itu, angin berhembus lembut di Desa Suka Maju. Di langit, bulan purnama bersinar terang.

Wilona duduk di depan jendela kamarnya, memandangi langit malam. Di tangannya tergenggam liontin berbentuk kupu-kupu Dihiasi permata berwarna biru, benda yang selalu ia simpan sejak kecil. kata ibunya itu adalah satu-satunya yang menempel di tubuh wilona saat Lastri mengadopsi Wilona.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!