Jam baru menunjukkan pukul 09.15 pagi, tapi gosip di kantor Vibe Media sudah berputar lebih cepat daripada server internet mereka.
Emma baru saja menaruh tas di meja ketika dua rekan sekantornya, Tessa dan Monica, melirik dengan senyum setengah-ingin-tahu-setengah-ingin-ikut-campur.
“Emma…” Tessa bersuara pelan, nada khas seseorang yang akan menanyakan sesuatu yang tidak penting tapi terasa penting sekali.
“Aku dengar kamu dan si intern ganteng itu… makan siang berdua kemarin?”
Emma berhenti di tengah langkah, mengedip cepat. “Ya Tuhan, gosip di kantor ini lebih cepat dari email HR.”
Monica menutup mulut sambil tertawa. “Ayolah, kita cuma penasaran! Soalnya Ryan itu… well, he’s kinda adorable.”
Tessa menimpali, “Dan aku lihat sendiri tadi pagi, dia nganter kopi buat kamu lagi.”
Emma menatap keduanya dengan sabar. “Karena dia magang, dan kopi itu bagian dari pekerjaannya.”
Tessa menyipitkan mata. “Atau bagian dari perhatiannya?”
Emma memutar mata dan duduk. “Aku kerja, ya. Kalau kalian mau bahas siapa yang naksir siapa, buka podcast gosip sendiri.”
Kedua temannya saling pandang sambil cekikikan kecil. “Oke, tapi nanti cerita lagi, ya,” kata Monica sambil berlalu.
Emma menunduk, menghela napas. “Kenapa setiap kali aku dekat dengan seseorang, dunia merasa perlu menulis naskah telenovela?”
Suara riang muncul dari belakangnya.
“Karena hidupmu memang prime material untuk telenovela, Emma.”
Ryan berdiri di sana, senyum lebarnya seperti matahari pagi yang sedikit terlalu terang untuk kenyamanan Emma.
Ia menaruh segelas kopi di meja, kali ini disertai post-it note kecil bertuliskan:
> “Untuk senior paling serius di kantor — tersenyumlah, itu bagian dari gaji.” — R.
Emma menatap catatan itu sambil tersenyum tak sadar. “Kau benar-benar harus berhenti melakukan hal-hal seperti ini.”
“Seperti apa?” tanya Ryan polos. “Membuatmu tersenyum?”
“Seperti membuat seluruh kantor berpikir kita pacaran,” balas Emma sambil menatap layar, pura-pura sibuk.
Ryan tertawa kecil. “Kalau aku harus berpura-pura pacaran sama seseorang di kantor, aku nggak keberatan kalau itu kamu.”
“Ryan—”
“Tenang,” potongnya. “Aku tahu batas. Tapi aku juga tahu… kamu mulai nyaman denganku.”
Emma menatapnya sekilas. “Jangan terlalu percaya diri.”
“Terlalu jujur, mungkin,” katanya sambil mengangkat bahu. “Tapi itu sifatku.”
---
Siang hari.
Rapat mingguan diadakan di ruang utama, semua karyawan duduk melingkar dengan laptop terbuka.
Liam duduk di ujung meja panjang, mengetuk pena pelan, wajahnya fokus tapi matanya beberapa kali berpindah arah… ke Emma.
Emma sibuk mencatat, berusaha tak memperhatikan. Tapi Ryan, yang duduk di sebelahnya, terlihat asyik menggambar doodle kecil di buku catatannya.
Tiba-tiba ia menyenggol Emma pelan dan memperlihatkan gambar itu:
dua karakter kartun — seorang perempuan dengan laptop dan seorang laki-laki dengan kopi — duduk berdampingan di meja kerja.
Emma hampir tertawa, tapi cepat-cepat menutup mulut.
Sayangnya, gerakan itu justru menarik perhatian Liam.
“Carter,” suara Liam terdengar tegas dari ujung meja.
Seluruh ruangan langsung hening.
“Ya, Pak?” Emma buru-buru menegakkan tubuh.
“Kalau sesuatu di catatanmu lebih menarik dari rapat ini, mungkin kau bisa berbagi dengan kita semua,” katanya dingin.
Ryan spontan menunduk, berusaha menyembunyikan doodle-nya. Emma menatap Liam dengan pipi memerah.
“Tidak, Pak. Maaf. Saya hanya—”
“Fokus, Carter,” potong Liam tanpa menatap lagi. “Kita lanjut.”
Rapat berlanjut dengan suasana tegang. Ryan melirik Emma penuh rasa bersalah, sementara Emma menunduk, menulis apapun agar terlihat sibuk.
Liam tak lagi bicara padanya, tapi dari cara jarinya mengetuk pena di meja, jelas bahwa pikirannya tak sepenuhnya di rapat.
---
Usai rapat, Emma berjalan cepat menuju pantry, butuh udara segar — atau mungkin butuh tempat untuk berteriak dalam hati.
Ryan menyusulnya. “Hei, maaf banget tadi. Aku nggak nyangka dia bakal—”
“Ryan, sudah,” kata Emma lembut. “Itu bukan salahmu.”
“Tapi kamu jadi kena tegur gara-gara aku.”
Emma membuka kulkas kecil, mengeluarkan air mineral. “Percayalah, aku sudah biasa ditegur pria itu.”
Ryan memperhatikan wajah Emma beberapa detik. “Maksudmu… waktu kalian dulu—”
“Jangan bahas masa lalu, Ryan,” potongnya cepat. “Itu bukan urusanmu.”
Ryan mengangkat tangan tanda menyerah. “Oke. Tapi satu hal, Em…”
Ia mencondongkan diri sedikit, menatap mata Emma dengan keseriusan yang jarang muncul di wajahnya.
“Kalau dia bikin kamu marah, jangan simpan sendiri. Aku di sini, oke?”
Emma menatapnya. Ada sesuatu di cara Ryan bicara — jujur, hangat, tanpa kepura-puraan.
Ia hanya mengangguk pelan. “Terima kasih.”
Ryan tersenyum. “Bagus. Sekarang, biar aku traktir makan siang—”
“TIDAK,” potong Emma cepat, tapi tawa mereka pecah bersamaan.
---
Sore itu, ketika Emma kembali ke meja, ia mendapati secarik kertas di bawah laptopnya.
Tulisan tangan rapi, singkat:
> “Lain kali, jaga fokusmu di rapat. Aku tahu kamu lebih baik dari itu.” — L.
Emma menatap catatan itu lama.
Ada nada dingin di kalimatnya, tapi entah kenapa, juga terasa seperti perhatian terselubung.
Ia melipat kertas itu, menyimpannya di laci.
Di kejauhan, lewat kaca kantor, Liam tampak berdiri sambil menatap ke arahnya.
Sesaat, tatapan mereka bertemu — dan kali ini, tidak ada yang berpaling lebih dulu.
---
Di lift menuju keluar kantor, Ryan menatap Emma dengan ekspresi penasaran.
“Kau tahu, kalau terus begini, aku bisa yakin satu hal.”
“Apa?” tanya Emma.
“Bosmu itu masih belum selesai sama kamu.”
Emma mendengus. “Dan kau terlalu banyak menonton drama.”
Ryan menatapnya sambil tersenyum kecil. “Mungkin. Tapi aku juga tahu, dari semua drama di dunia, aku paling suka yang kau perankan.”
Lift berbunyi ding, pintu terbuka.
Emma keluar lebih dulu, sambil berusaha menahan senyum yang enggan hilang dari wajahnya.
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments