Suara pintu rapat tertutup pelan, meninggalkan keheningan yang terasa lebih menegangkan dari sidang kabinet.
Liam Dawson berdiri di ujung meja dengan wajah tenang — terlalu tenang, menurut Emma. Tenang seperti seseorang yang tahu dia punya kekuasaan penuh untuk membuat hidup orang lain rumit.
“Baik,” ucap Liam dengan nada datar yang terdengar seperti perintah militer, “selamat datang untuk anggota baru kita, Emma Carter.”
Semua mata beralih padanya.
Emma tersenyum kaku, berusaha menatap ke depan tanpa benar-benar memandang Liam. Tapi seolah ada magnet di udara yang memaksa matanya menoleh, dan ya — dia masih sama.
Tajam, tampan, dan menjengkelkan.
“Terima kasih, Pak Dawson,” katanya sopan. “Saya senang bisa bergabung dan—”
“—dan semoga tidak datang terlambat lagi,” potong Liam, tanpa menatapnya.
Seketika ruangan dipenuhi bisik-bisik kecil. Ryan di ujung meja hampir menyemburkan air dari botolnya, menahan tawa.
Emma memaksakan senyum profesional. “Catatan yang sangat... membangun, Pak.”
“Bagus,” jawab Liam singkat. “Kita lanjut ke agenda.”
---
Rapat berjalan seperti kuliah statistik. Angka, target, strategi. Tapi bagi Emma, setiap kata Liam terdengar seperti gema masa lalu.
Setiap kali suaranya terdengar, bayangan kenangan muncul — malam-malam di kafe kampus, tawa kecil, dan satu kalimat yang menghancurkan semuanya:
> “Maaf, Em. Aku nggak siap punya hubungan.”
Sekarang, tiga tahun kemudian, pria itu berdiri di depannya, berbicara tentang growth chart dan media engagement — seolah tidak pernah ada kata-kata itu.
Emma memutar pena di jarinya, pura-pura fokus pada layar proyektor, tapi otaknya sibuk membuat daftar dosa masa lalu Liam.
Menolak cintanya tanpa alasan jelas.
Hilang begitu saja tanpa kabar.
Sekarang jadi bos.
Masih kelihatan terlalu tampan untuk dimaafkan.
“Carter,” suara Liam memotong lamunannya.
Emma menegakkan punggung. “Ya, Pak?”
“Pendapatmu soal strategi konten rebranding minggu depan?”
Sial. Apa yang tadi dia jelaskan? Emma bahkan tidak mendengar setengahnya. Ia melirik layar, melihat kata “konten digital” dan “target audiens.”
“Ah, ya,” katanya dengan nada meyakinkan. “Saya pikir strategi itu... sangat penting.”
Liam menaikkan alis. “Tentu saja penting. Tapi bagaimana penerapannya?”
“Ehm...”
Suasana menegang. Semua menunggu.
Tiba-tiba Ryan angkat tangan. “Kalau saya boleh bantu, Pak—Emma sempat bilang ke saya tadi bahwa ia tertarik mengusulkan konsep interactive series, agar engagement audiens meningkat secara alami.”
Semua kepala menoleh ke Emma.
Liam juga.
Emma tersenyum lega — dan kaget, karena itu ide yang bahkan baru ia dengar sekarang.
“Benar,” katanya cepat. “Itu maksud saya. Interactive series. Terima kasih, Ryan.”
Liam menatap keduanya, lalu mengangguk perlahan. “Baik. Ide yang menarik. Kita akan bahas lebih lanjut nanti.”
Tatapan matanya sekilas turun ke arah Emma — bukan tatapan bos, tapi... sesuatu yang lain.
Sejenak, Emma bisa bersumpah dia melihat pengakuan di mata itu.
---
Setelah rapat selesai, semua orang beranjak. Emma mengemasi catatannya secepat mungkin, berniat kabur sebelum ada kesempatan untuk “obrolan pribadi.”
Sayangnya, takdir — seperti biasa — tidak berpihak padanya.
“Emma.”
Suara itu. Dalam, tenang, dan membuat jantungnya lupa cara berdetak.
Ia menoleh. Liam berdiri di depan pintu, menatapnya dengan ekspresi datar tapi matanya berbicara terlalu banyak.
Semua orang sudah keluar. Hanya mereka berdua di ruang rapat itu sekarang.
“Ya, Pak Dawson?” tanyanya kaku.
Liam menautkan tangan di depan dada. “Kau tampak... tidak berubah.”
Emma tersenyum kaku. “Dan Anda tampak... punya lebih banyak uang sekarang.”
Liam menahan senyum. “Masih suka menyindir, rupanya.”
“Masih suka memerintah, rupanya,” balas Emma cepat.
Keheningan menggantung. Suara AC terdengar lebih keras dari biasanya.
“Aku nggak tahu kau melamar ke sini,” kata Liam akhirnya.
“Kalau tahu, kau akan menolak lamaran aku?”
“Tergantung,” jawabnya tenang. “Kau akan tetap bekerja profesional?”
Emma mendengus kecil. “Saya datang ke sini untuk bekerja, Pak Dawson. Bukan untuk bernostalgia.”
“Bagus,” katanya datar, lalu berbalik meninggalkan ruangan.
Namun sebelum pintu tertutup, ia menambahkan tanpa menoleh:
“Dan untuk catatan, kopi yang kau tumpahkan di bajumu tadi... belum benar-benar hilang.”
Emma menatap ke bawah. Benar. Noda kecil di lengan bajunya masih terlihat samar.
Dan entah kenapa, pipinya memanas.
---
“Bosmu tampan juga, ya,” suara Ryan tiba-tiba terdengar di belakangnya saat mereka keluar ke koridor.
Emma menatap tajam. “Jangan mulai.”
Ryan mengangkat tangan, pura-pura tak bersalah. “Aku cuma bilang fakta. Tapi kalau boleh jujur, tatapan dia ke kamu tadi tuh... nggak biasa. Ada sesuatu di sana.”
“Tatapan ingin memecatku, mungkin?”
Ryan tersenyum lebar. “Atau tatapan seseorang yang belum benar-benar selesai dengan masa lalunya.”
Emma mendengus. “Kau baru seminggu magang, tapi sudah sok psikolog?”
“Hey, aku cuma observatif,” jawab Ryan santai. “Dan jujur, aku penasaran banget gimana ceritanya kalian berdua. Kau sama dia kelihatan... punya sejarah.”
Emma menatap lift yang baru terbuka, melangkah masuk sambil berkata pelan,
“Sejarah itu seharusnya tetap jadi masa lalu, Ryan.”
Ryan masuk bersamanya dan tersenyum kecil. “Masalahnya, masa lalu kadang suka muncul di kantor, pakai jas mahal, dan jadi bos baru kita.”
Pintu lift menutup dengan suara cling, meninggalkan Emma terdiam dengan wajah yang tak bisa menyembunyikan kegelisahan — dan sedikit rasa penasaran yang mulai tumbuh lagi.
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments