Keduanya salah tingkah, sama-sama berusaha saling memisahkan diri. Fandy tersenyum canggung, sedangkan perempuan cantik ini seperti malu dan serba salah.
“Maaf ya Kak, situasi tadi sungguh saya tidak sengaja.” Fandy meminta maaf, merasa tidak enak hati.
“Tidak apa-apa Bang, lupakan saja. Permisi.” Cyra mendahului Fandy untuk pulang seakan malu.
“Ya Tuhan. Kenapa insiden tadi sampai terjadi?” batin Cyra seperti tidak percaya, tetapi tersenyum tipis.
Fandy juga berjalan ke parkiran untuk mengambil motornya lalu lanjut pulang.
Saat di motor, dirinya spontan tersenyum, teringat insiden mencium dahi dan mengecup bibir perempuan tadi. “Rezeki anak sholeh,” batinnya.
Lima belas menit kemudian Fandy sampai di rumah. Tempat tinggal sederhana seluas 60 m2 merupakan harta terakhir peninggalan mendiang kedua orang tua untuknya.
Fandy duduk di kursi jati ukiran jepara, kursi favorit almarhum ayahnya, lalu membuka tas dan mengeluarkan buku sketsanya.
Membuka lembar demi lembar hasil gambar dan mengamati setiap detailnya. Mata fokus melihat satu demi satu gambar yang terekam dalam sketsanya itu.
“Lukisan perempuan cantik ini paling istimewa menurutku, sebaiknya aku menggambarnya ulang di atas kanvas dan memberinya warna sebagai sentuhan akhir,” batinnya menganalisa.
Fandy lalu mengambil stok kanvas yang ada, pensil dan alat lukis lain, bersiap melukis ulang gambar perempuan cantik itu. Matanya melihat ke buku sketsa.
Pensil pun bergerak lincah menggambar, mulai dari bentuk wajah cantiknya seperti perempuan turki parasnya, lentiknya mata, bibir mungil, hidung, alis mata, putih leher dan rambut indahnya yang lurus sebahu.
Dilanjutkan ke arah tubuh proporsionalnya, setelan kantor mewah yang dipakai menambah aura wanita karir sukses di matanya.
Ekspresi wajah yang sendu seperti sedang memikirkan sesuatu tergambar kembali dengan jelas.
“Ya Tuhan, perempuan ini meski hanya sebuah lukisan tapi cantiknya sungguh nyata. Wajahnya terlihat sedih dan seperti sedang menahan sesuatu.”
“Tiba-tiba hatiku ini makin mengaguminya, wajah dalam lukisan atau saat bertemu langsung di kafe tadi sama cantiknya, apalagi tadi aku sempat merasakan kening dan bibirnya meski hanya sesaat,” dalam hati Fandy merasa bahagia.
Jemari Fandy terus bergerak di atas kanvas, melukis wajahnya hingga selesai. Selesai goresan pensil, lalu dilanjutkan sentuhan akhir yaitu pewarnaan.
Fandy mengambil kuas, cat minyak dan palet. Lalu, perlahan mewarnai mulai dari wajah, rambut, leher, tangan dan badan.
Kuasnya menyapu perlahan, warna yang diberi disesuaikan seperti aslinya yang terlihat jelas di kafe tadi. Satu jam lebih dibutuhkan menyelesaikan lukisan perempuan itu.
Hasilnya sungguh mendekati sempurna. ”Wow... keren hasilnya, tapi aku tidak akan menjualnya, hanya untuk koleksi pribadiku saja tinggal diberi bingkai pasti makin oke,” batinnya yakin.
“Akhirnya selesai sudah lukisan perempuan cantik. Gambar lainnya akan kupilih satu-persatu, jika ada yang bagus akan kugambar ulang di kanvas dan diwarnai," pikirnya.
"Dapat minimal dua sampai tiga lukisan akan kujual di Blok M Square,” ucap Fandy membuka kembali buku sketsanya, memilih lagi satu per satu gambar yang ada.
Pilihannya lalu jatuh ke sekelompok lima orang mahasiswa yang berdiskusi serius sambil menatap laptop, di antara mereka ada dua orang yang tertawa lepas bercanda sambil memegangi perutnya.
Sedangkan tiga orang lagi tampak asyik berbincang sambil menahan senyum. Sangat natural ekspresi mereka di mata Fandy.
Kanvas kosong mulai dia gambar lagi, pensil mulai bergerak pelan. Memastikan garis pada lukisannya tidak terlalu tebal agar mudah dihapus.
Jika tidak sesuai seperti gambar sebelumnya. Sehingga sentuhan akhir tidak mengganggu pengecatan, jadi tidak akan terlihat setelahnya.
Ekspresi kelima mahasiswa tadi tergambar semua, goresan pensil Fandy benar-benar baik, dan matanya menatap detail gambar dibuku sketsa. Hasilnya baik, sekarang lanjut ke proses pewarnaan.
Satu demi satu bagian yang akan diwarnai Fandy perhatikan dengan detail. Memastikan tidak ada yang terlewat sedikit pun agar hasilnya tidak mengecewakan.
Lukisan lima mahasiswa ini memakan waktu lebih banyak dibandingkan perempuan cantik tadi.
Dua jam lebih akhirnya lukisan ini selesai. Hasilnya sangat bagus dan sangat layak masuk untuk koleksi lukisan Fandy yang memang untuk komersial.
Satu gambar terakhir Fandy pilih yaitu kafe itu sendiri Twin Coffe. Kafe favorit anak Gen Z dan pekerja kantor dengan menu yang kekinian dan variatif serta konsep desain interior Instagramable.
Berada di lokasi strategis selatan Jakarta ini memang punya daya tarik tersendiri, yang membuat nyaman pengunjungnya untuk bersantai atau bekerja sambil menikmati menu pilihannya.
Tiga orang pekerja di meja reservasi yaitu: barista, pelayan dan kasir, satu orang lagi untuk petugas kebersihan.
Semuanya ini tergambar baik dibuku sketsa Fandy. Mereka bekerja sebagai tim yang solid, pelayanan terbaik dan apresiasi ke pengunjung terlukis dari senyum ramahnya para staf kafe.
Goresan pensil bergerak sesuai jari Fandy mengarahkan. Satu jam lebih berlalu, selesai dirinya menggambar lalu dilanjutkan pewarnaan dengan cat minyak.
Kuas menyapu rata ke semua sisi gambar, perlahan-lahan Fandy sapu agar hasilnya maksimal, empat puluh menit kemudian selesai sudah lukisan terakhir hari ini.
Dia lalu melihat jam di dinding, waktu sudah menunjukan pukul 12 malam.
Pantas saja tubuhnya terasa lelah dan mata mengantuk. Tiga kanvas yang sudah selesai sentuhan akhir Fandy letakkan di atas meja makan, dibiarkan hingga kering dulu catnya.
Terakhir, Fandy merapikan semua peralatan melukis yang tadi dipakai. Membersihkan sisa-sisa cat di lantai sampai bersih.
“Selesai sudah semuanya. Hari ini benar-benar menguras energi, semoga lelahku terbayar dan lukisan hari ini bisa cepat laku terjual... Aamiin.” Fandy tulus berdoa dalam hati.
Ternyata hari sudah malam, Fandy memutuskan tidak mandi saja mau lanjut cepat istirahat. Ingin cepat tidur agar besok segar lagi tubuhnya dan beraktifitas seperti biasanya.
Saat matanya ingin terpejam, tiba-tiba muncul bayangan sosok perempuan cantik di kafe tadi, tangannya melambai dan senyum hampa pada Fandy. Spontan dia kaget dan terasa seolah nyata. Fandy mengabaikannya saja, lalu tidur lagi.
Pagi harinya saat mentari terbit hangat menyapa, Fandy terbangun dan merasa semalam memimpikan perempuan cantik itu.
Entah mengapa mimpi itu seakan nyata, Fandy tidak tahu apakah akan terjadi sesuatu atau sebuah firasat.
Perempuan cantik itu menangis tersedu-sedu dan meminta tolong pada Fandy. “Semoga ini hanya mimpi,” batinnya.
Setelah mandi dan sarapan sekadarnya, Fandy menyusun rapi dua kanvas yang dia letakkan di meja makan semalam.
Satu kanvas perempuan cantik dirinya biarkan masih di meja, nanti sepulang kerja baru Fandy pasang ke dalam bingkai.
Fandy mengambil koleksi enam lukisan lain di kamar, lalu membungkus rapi bersama dua kanvas tadi dengan buble wrap, dan dimasukkan ke kotak yang sedikit lebih besar dari lukisannya untuk memberi ruang gerak yang cukup.
Semuanya sudah rapi, lalu Fandy ke teras belakang mengeluarkan Vario merah kesayangan untuk siap-siap bekerja mencari rezeki. Kanvas dalam kotak lalu dia ikat kuat di jok motor.
Setengah jam jarak yang ditempuh dari rumah ke Blok M Square. Akhirnya sampai juga Fandy di lapak, menegur sapa sesama pelukis yang lebih dulu sampai.
Fandy membuka kotak besar tadi, mengeluarkan delapan kanvas totalnya termasuk lukisan hasil semalam dan koleksi lukisan lama, lalu dia susun rapi di lapak biasa dirinya menjual lukisan.
“Ya Tuhan, semoga hari ini lukisanku ada yang beli dan ada pengunjung yang minta dilukis juga... Aamiin,” doanya lirih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Mericy Setyaningrum
Romantis ceritanya ya Kak
2025-10-24
1