Alendra Safira Adelia.
Nama itu bukan sekadar deretan huruf indah, melainkan sosok nyata yang kerap menjadi kebanggaan sekolahnya. Gadis berparas cantik itu dikenal sebagai murid teladan—juara di berbagai lomba antar sekolah, aktif dalam organisasi, dan selalu menjadi panutan bagi teman-temannya. Senyum ramahnya membuat siapa pun betah berlama-lama berbincang dengannya, seakan ia adalah gambaran sempurna dari seorang siswi berprestasi.
Alendra bisa masuk ke sekolah swasta bertaraf internasional pun bukan karena uang orang tuanya, melainkan karena prestasinya yang gemilang. Beasiswa penuh yang ia raih membuatnya berdiri sejajar dengan anak-anak dari keluarga terpandang, meski kenyataannya kehidupannya jauh berbeda.
Di balik semua surat ujian, tepuk tangan, dan sorot bangga para guru, Alendra hanyalah seorang gadis sederhana yang menyimpan kisah lain. Ia tinggal di sebuah perkampungan pinggiran kota dengan lingkungan yang jauh dari kata nyaman. Jalanan becek saat hujan, rumah-rumah berhimpitan dengan atap seng berkarat, dan suara riuh pasar kecil yang tak pernah benar-benar sunyi. Di sanalah ia tinggal bersama kedua orang tuanya dan seorang adik laki-laki.
Ayah dan ibunya sehari-hari berjualan sebagai pedagang kaki lima. Alendra tahu betul bagaimana keringat ayahnya menetes ketika mendorong gerobak di bawah terik matahari, juga bagaimana ibunya kerap menahan lapar demi memastikan ia dan adiknya bisa berangkat sekolah dengan perut terisi. Kesadaran itu membuat Alendra tumbuh menjadi gadis yang kuat dan mandiri.
Setiap sore setelah pulang sekolah, Alendra menukar seragam putih abu-abunya dengan celemek sederhana. Ia bekerja paruh waktu di sebuah kafe kecil dekat sekolah. Dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya, ia melayani pelanggan, membersihkan meja, hingga membantu barista meracik minuman.
Bagi sebagian orang, pekerjaan ini mungkin tampak melelahkan. Tapi bagi Alendra, kafe adalah tempat di mana ia bisa belajar tentang kehidupan—tentang kerendahan hati, tanggung jawab, dan arti perjuangan. Meski malam-malamnya sering dihabiskan dengan tubuh letih dan mata yang hampir terpejam, ia tidak pernah mengeluh.
Setiap lembar uang yang ia sisihkan sedikit demi sedikit menjadi penolong untuk meringankan beban orang tuanya. Baginya, kebahagiaan bukan hanya saat dirinya berdiri di atas panggung menerima medali, melainkan ketika ia bisa melihat senyum lega di wajah orang tuanya, meski hanya karena dapur rumah mereka bisa terus mengepul.
Alendra bukan gadis yang hidup dengan kemewahan. Justru dari kesederhanaan itulah ia menemukan makna hidup yang sebenarnya. Ia percaya, keberhasilan bukan hanya soal seberapa tinggi prestasi yang diraih, melainkan juga tentang seberapa besar hati mampu bertahan dan berbagi di tengah segala keterbatasan.
Dan begitulah, di balik sosok murid berprestasi yang dielu-elukan, tersembunyi seorang gadis yang diam-diam menulis kisah perjuangan hidupnya sendiri—kisah tentang tekad, cinta, dan pengorbanan.
Pagi itu aroma tumisan bawang merah dan telur goreng memenuhi udara dapur sederhana keluarga kecil itu. Alendra tampak sibuk memotong sayur dan menyiapkan nasi untuk sarapan. Tangannya cekatan, sesekali ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul enam pagi.
“Bu, ini udah selesai semua. Aku mandi dulu ya,” ucap Alendra sambil mencuci tangannya di bak kecil dekat pintu dapur.
Ibunya, Larissa, yang masih sibuk meracik sambal, menoleh sekilas dan tersenyum. “Iya, Nduk. Cepet gih mandi, siap-siap ke sekolah. Eh, sekalian bangunin adikmu, Ezriel. Dari tadi belum kedengeran gerakannya.”
Alendra mengangguk patuh. “Siap, Bu.”
Ia melangkah keluar dari dapur, melewati ruang tamu yang sederhana. Rak kayu dengan piala-pialanya berdiri rapi di sudut, menjadi saksi perjuangannya selama ini. Sebelum menuju kamar mandi, Alendra berhenti di depan pintu kamar adiknya.
“Zriel… bangun, Dek!” panggilnya lembut sambil mengetuk pintu.
Tak ada jawaban. Ia pun mendorong pintu perlahan. Di dalam, Ezriel masih terlelap di kasur tipisnya, selimut tersingkap hingga hanya menutupi setengah tubuhnya. Bocah berusia sembilan tahun itu terlihat damai dengan rambut awut-awutan.
Alendra tersenyum kecil, lalu duduk di tepi kasur. Ia mengusap kepala adiknya pelan. “Ayo, Zriel. Bangun. Udah jam enam lebih. Kamu nanti telat sekolah, lho.”
Ezriel menggeliat sebentar, lalu meringkuk lagi. “Mmm… lima menit lagi, Kak…” gumamnya dengan suara serak.
“Lima menit lagi bisa kebablasan. Ayolah, Zriel. Kakak aja udah mau mandi,” bujuk Alendra sambil menarik selimutnya sedikit.
Dengan wajah malas, Ezriel akhirnya membuka mata. “Iya… iya… aku bangun, Kak. Tapi nanti Kakak yang siapin susunya, ya?”
“Deal,” jawab Alendra sambil tersenyum. Ia pun berdiri, lalu berjalan ke kamar mandi.
Suasana rumah sederhana itu mungkin jauh dari mewah, tapi kehangatan keluarga selalu membuatnya berarti. Alendra tahu, rutinitas pagi seperti ini bukan hanya sekadar kewajiban. Baginya, itu adalah pengingat bahwa ia tak hanya berjuang untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk keluarganya.
Setelah semua lauk tersaji di meja sederhana, keluarga kecil itu duduk bersama. Meski hanya dengan nasi hangat, telur goreng, sambal, dan segelas teh manis, suasana terasa begitu hangat. Alendra dan adiknya, Ezriel, menyantap sarapan mereka dengan lahap, sementara Larissa dan Ardian lebih banyak memandang anak-anak mereka dengan senyum lelah tapi penuh cinta.
Setelah selesai, Alendra segera merapikan piring-piring dan mencuci sebentar sebelum benar-benar bersiap berangkat. Ia mengambil tas sekolahnya yang sudah disiapkan semalam, lalu menuntun sepeda onthelnya keluar rumah.
“Yah, Bu, aku sama adek berangkat dulu, ya. Assalamualaikum.” Suaranya terdengar riang, berusaha menutupi rasa lelah yang sudah biasa ia sembunyikan.
“Waalaikumussalam. Hati-hati di jalan, Nduk,” jawab Larissa sambil tersenyum hangat.
Ardian, sang ayah, yang masih duduk di kursi bambu sambil mengenakan pecinya, menambahkan, “Sekolah yang rajin, jangan lupa doa dulu sebelum masuk kelas.”
“Iya, Yah.”
Alendra mendekati kedua orang tuanya, menunduk, dan mencium tangan mereka satu per satu. Ezriel mengikuti gerakan kakaknya dengan lugu, wajahnya masih agak mengantuk tapi penuh semangat.
Setelah itu, mereka berdua menaiki sepeda onthel tua yang sudah menemani keluarga itu bertahun-tahun. Alendra duduk di sadel sambil mengayuh, sementara Ezriel duduk di boncengan belakang, memeluk tas sekolah kecilnya.
Jalanan kampung masih basah bekas hujan semalam. Beberapa anak kecil berlarian tanpa alas kaki, sementara pedagang sayur mendorong gerobak mereka. Suara ayam berkokok terlambat bercampur dengan suara tukang roti yang lewat, menambah warna pagi itu.
“Zriel, duduknya jangan goyang-goyang, nanti jatuh,” tegur Alendra pelan sambil tetap fokus mengayuh.
“Iya, Kak. Tapi Kak, nanti kalau pulang sekolah, kita bisa jajan es lilin, nggak?” tanya Ezriel dengan mata berbinar.
Alendra tertawa kecil. “Lihat nanti, ya. Kalau Kakak masih ada uang saku lebih, boleh.”
Ezriel pun mengangguk puas. Meski sederhana, bagi bocah seusianya, janji es lilin sudah cukup untuk membuat harinya menyenangkan.
Tak butuh waktu lama, mereka tiba di sekolah dasar yang hanya berjarak sekitar satu kilometer dari rumah. Bangunan tua dengan dinding cat yang mulai mengelupas itu berdiri kokoh meski sederhana. Anak-anak kecil berseragam merah putih berlarian riang, sementara guru-guru menyambut mereka di depan gerbang.
“Zriel, ayo turun,” ujar Alendra sambil menepuk bahu adiknya.
Ezriel segera turun dari boncengan, menepuk-nepuk celananya yang sedikit berdebu. Ia menatap kakaknya sebentar, lalu tersenyum. “Makasih ya, Kak. Nanti aku pulang sama teman, ya.”
“Siap, Kapten.” Alendra menjawab dengan gaya bercanda yang membuat Ezriel terkikik sebelum berlari masuk ke halaman sekolah.
Alendra menatap adiknya sampai hilang di balik kerumunan, lalu kembali mengayuh sepedanya menuju sekolah menengah swasta tempat ia menuntut ilmu.
Sesampainya di kelas, Alendra langsung menuju bangkunya di deretan tengah. Ia meletakkan tas dengan hati-hati, lalu menyapa temannya yang duduk tak jauh darinya.
“Pagi, Nay,” sapa Alendra sambil tersenyum manis.
“Pagi juga, Len. Tumben banget, biasanya kamu datang mepet bel. Kok hari ini pagi sekali?” tanya Nayla heran.
Alendra terkekeh kecil. “Iya, soalnya semalam nggak lembur di café. Jadi bisa tidur lebih cepat.”
“Oh gitu,” Nayla mengangguk paham. Lalu ia menoleh kanan-kiri sebentar sebelum bertanya lagi, “Eh, Selena sama Elvira ke mana ya? Kok belum kelihatan.”
Belum sempat Alendra menjawab, suara langkah berirama terdengar di lorong. Benar saja, Selena masuk dengan gaya khasnya, penuh percaya diri, disusul Elvira yang berjalan di belakangnya dengan ekspresi pasrah.
“Pagi guys! Pasti kalian nyariin gue kan?” ujar Selena sambil mengibaskan rambut panjangnya, wajahnya penuh percaya diri.
Elvira langsung menepuk dahinya, sementara Nayla hanya mendengus.
“Siapa juga yang nyariin lo. Jangan kepedean deh jadi orang,” balas Nayla ketus.
Selena justru terkekeh. “Ya kali aja kangen. Secara gue kan anaknya ngangenin,” ujarnya sambil berkedip jahil.
Alendra tersenyum kecut melihat “Tom and Jerry” versi sahabatnya itu akan mulai adu mulut lagi. Ia buru-buru menyelamatkan situasi.
“Eh iya, Vir. Tumben kalian agak telat. Biasanya gue yang datang paling akhir,” sela Alendra.
Elvira yang sedari tadi hanya diam langsung menjawab cepat, “Salahin aja si centil ini, Len. Dia dandan di rumah lama banget.” Elvira menunjuk Selena dengan wajah jengkel.
“Hei! Cantik itu butuh proses, sayang,” balas Selena dengan santai, membuat Nayla makin mendengus kesal.
Suasana kelas semakin riuh dengan canda mereka, tapi tak lama kemudian suara bel tanda masuk pelajaran pertama berbunyi. Semua siswa buru-buru duduk di bangku masing-masing. Guru matematika mereka, Bu Ratna, masuk dengan wajah ramah namun tetap tegas.
“Selamat pagi, anak-anak,” sapanya sambil meletakkan buku besar di meja.
“Pagi, Bu!” jawab murid-murid serempak.
“Bagaimana kabar kalian hari ini?” tanya Bu Ratna lagi sambil menatap seisi kelas.
“Baik, Bu,” jawab beberapa siswa.
“Kalau begitu, mari kita mulai pelajaran. Hari ini kita akan membahas sistem persamaan linear. Siapkan buku catatan kalian.”
Suasana kelas langsung berubah menjadi serius. Alendra dengan cepat membuka bukunya, mencatat setiap rumus dan penjelasan yang diberikan Bu Ratna. Ia memang dikenal rajin dan selalu fokus dalam belajar. Sesekali, ketika Bu Ratna melempar pertanyaan, tangan Alendra hampir selalu terangkat.
“Alendra, coba kamu kerjakan soal ini di papan,” perintah Bu Ratna setelah menulis soal di whiteboard.
Dengan percaya diri, Alendra maju ke depan. Kapur tulis ia genggam mantap, lalu ia mulai menuliskan langkah demi langkah penyelesaian soal. Semua mata tertuju padanya. Bagi sebagian teman sekelas, pemandangan Alendra berdiri di depan papan sudah biasa. Gadis itu memang hampir selalu bisa menjawab soal-soal sulit yang guru berikan.
“Bagus sekali, Alendra. Jawabanmu tepat,” puji Bu Ratna setelah ia selesai menulis.
“Terima kasih, Bu.” Alendra kembali ke bangkunya dengan tenang, meski dalam hati ada kebahagiaan kecil. Ia memang terbiasa dipuji, tapi tetap merasa setiap apresiasi adalah penyemangat.
Sementara itu, Nayla berbisik pelan, “Len, kadang aku iri deh sama kamu. Kamu tuh selalu bisa jawab semua soal.”
Alendra hanya tersenyum, lalu berbisik balik, “Nay, semua orang punya kelebihan masing-masing kok. Kamu pinter banget di bahasa Inggris, kan? Aku sering nyontek jawaban kamu waktu listening.”
Nayla terkekeh kecil, merasa sedikit lega.
Di tempat lain, jauh dari riuh bel istirahat sekolah, tujuh laki-laki tengah berkumpul di sebuah rumah besar yang sudah lama tak berpenghuni. Dindingnya kusam, cat-catnya mengelupas, namun bagi mereka tempat itu adalah “markas” yang nyaman—tempat di mana mereka bisa bebas dari aturan sekolah, guru, bahkan orang tua.
Sebuah meja bundar tua menjadi pusat dari semua aktivitas mereka sore itu. Di atasnya, sebuah botol kaca bekas minuman bersoda berputar dengan cepat. Gelas-gelas kecil berisi ramuan aneh berjejer di sisi meja—campuran asin, manis, pedas, dan entah apa lagi yang mereka racik secara asal.
Tawa meledak ketika botol berhenti tepat mengarah pada salah satu dari mereka.
“Truth or dare?” suara berat Darren, sang ketua geng, menggema.
Geng itu dikenal dengan nama Ravenclaw—nama yang mereka ciptakan sendiri, bukan meniru, melainkan menegaskan identitas mereka sebagai “raja-raja kecil” yang tak tersentuh aturan.
Darren, sang ketua, adalah figur karismatik dengan tatapan mata tajam dan aura dingin. Meski tak banyak bicara, setiap kata yang keluar darinya seakan punya bobot. Ia tak segan melindungi anggotanya, tapi juga tak segan memberi hukuman jika ada yang berkhianat.
Di sampingnya ada Aksa, wakil ketua. Tegas, setia, dan menjadi tangan kanan Darren. Jika Darren adalah otak dingin, Aksa adalah palu yang menghantam. Tak jarang ia menjadi penengah ketika anggota lain ribut.
Lalu ada Alvaro, si ahli taktik. Otaknya jalan, licin, dan selalu punya rencana matang sebelum mereka bergerak.
Julian, si playboy. Senyumannya bisa bikin gadis manapun klepek-klepek. Tapi di balik pesonanya, ia menyimpan kenakalan yang sering bikin geng kerepotan.
Kenzo dan Axel, walaupun bukan kembar, mereka selalu jadi pasangan yang sulit dipisahkan. Keduanya humoris, jahil, dan selalu jadi pencair suasana. Namun di balik candaan mereka, ada loyalitas yang tidak bisa digoyahkan.
Dan yang terakhir, duduk agak menjauh dengan tatapan kosong namun tajam—Rayven Aurelio Evander Mahendra.
Rayven berbeda. Ia jarang bicara, jarang tertawa, jarang benar-benar menunjukkan perasaan. Jika Darren adalah pemimpin, maka Rayven adalah bayangan yang tak bisa dipisahkan. Banyak yang bilang, kalau saja Rayven mau, ia bisa merebut posisi ketua kapan pun ia inginkan. Tapi Rayven tidak peduli.
“Gila, rasanya kayak racun, bro!” seru Julian setelah menenggak ramuan absurd itu. Wajahnya meringis, membuat yang lain terpingkal-pingkal.
Kenzo menepuk bahu Axel sambil terkekeh. “Besok-besok kita tambahin sambel cabai rawit, biar lidahnya kebakar sekalian.”
Tawa pecah. Semua larut, kecuali Rayven. Matanya hanya terpaku pada botol kaca yang kembali berputar di atas meja.
Ketika botol itu melambat, lalu berhenti tepat mengarah padanya, keheningan mendadak jatuh. Semua tahu, giliran Rayven bukan giliran biasa.
“Truth or dare, bro?” tanya Darren, nadanya setengah menantang.
Rayven mengangkat alis tipis, lalu tersenyum samar. “Dare.” Suaranya rendah, dingin, dan tak memberi ruang untuk keraguan.
Seketika udara seakan menegang. Semua sadar, Rayven bukan tipe yang suka omong kosong. Jika sudah memilih, ia akan melakukannya.
Aksa mencondongkan tubuh ke depan, menatap Darren seolah meminta kepastian. Darren hanya mengangguk pelan sebelum melontarkan tantangan yang akan jadi awal dari cerita besar mereka.
“Malam ini lo harus masuk club, dan minum tiga botol. Sendirian.”
Suasana meledak dengan sorakan. Julian bersiul panjang, Kenzo dan Axel saling tos dengan wajah puas, sementara Alvaro menggeleng pelan tapi tersenyum miring.
Semua menunggu respon Rayven. Namun pemuda itu hanya tersenyum tipis, tatapan matanya berkilat misterius.
“Deal.”
Sederhana. Padat. Tanpa ragu.
---
Siang itu matahari bersinar terik, membuat halaman sekolah terasa gerah meski angin sesekali berembus. Bel istirahat baru saja berbunyi, murid-murid mulai tumpah ruah keluar dari kelas masing-masing menuju kantin. Suara langkah kaki, tawa, dan obrolan riuh bersahutan di koridor panjang.
Di tengah kerumunan itu, Alendra berjalan pelan dengan membawa kotak bekalnya yang disimpan rapi di tas kain kecil. Sebenarnya, ia enggan ikut ke kantin. Bukan karena malu, melainkan karena sudah terbiasa makan bekal sendiri di kelas—lebih tenang, lebih sederhana, dan lebih sesuai dengan sifatnya yang pendiam.
Namun kali ini Selena tak membiarkannya. “Ayo lah, Len. Sesekali lo makan di kantin bareng kita. Masa tiap hari ngurung diri di kelas?” Selena, dengan gaya cerewet khasnya, menarik tangan Alendra tanpa memberi kesempatan untuk menolak.
“Aku udah bawa bekal,” sahut Alendra lirih.
“Bawa aja, siapa juga yang melarang? Tuh bawa, tapi tetep ikut gue.” Selena mengedipkan mata, setengah memaksa, setengah bercanda.
Nayla dan Elvira yang berjalan di belakang mereka hanya saling pandang lalu tertawa kecil. Mereka sudah hafal betul bagaimana Selena selalu berhasil memaksa Alendra ikut dalam kegiatan yang sebenarnya tak ia rencanakan.
Akhirnya, Alendra menyerah. Ia berjalan mengikuti langkah teman-temannya menuju kantin, sambil tetap menenteng kotak bekalnya sendiri.
Namun saat tiba di depan kantin, pemandangan yang mereka lihat cukup berbeda. Biasanya, kantin sekolah selalu penuh sesak, riuh, dan ramai dengan suara teriakan anak-anak yang berebut makanan atau sekadar bercanda. Tapi kali ini, suasananya justru sepi. Kursi-kursi panjang tertata rapi, hanya beberapa siswa yang duduk dan makan dengan tenang.
“Tumben kantin sepi?” gumam Selena sambil mengerutkan dahi.
“Emang biasanya rame?” tanya Alendra heran. Ia jarang sekali menginjakkan kaki ke kantin, bahkan dalam satu semester mungkin bisa dihitung dengan jari.
Selena langsung menoleh, ekspresinya dramatis. “Ya ampun, Len. Lo serius nanya gitu?”
“Kenapa emangnya?” Alendra menatap polos, membuat Nayla dan Elvira hampir ngakak.
Selena menepuk jidatnya sendiri. “Ya jelas lah! Biasanya kantin ricuh banget karena… the one and only, geng Ravenclaw!” serunya penuh gaya, seolah menyebut nama itu saja sudah cukup untuk mengguncang dunia.
Alendra mengerutkan kening. “Ravenclaw? Siapa itu? Baru denger.”
Reaksi Selena langsung seperti tersambar petir. “Astaga naga! Lo beneran gak tau geng Ravenclaw?” suaranya meninggi, membuat beberapa anak di kantin menoleh ke arah mereka.
Alendra refleks menunduk, pipinya memanas karena diperhatikan. “Nggak,” jawabnya jujur sambil menggeleng pelan.
Nayla akhirnya ikut angkat suara. “Wajar sih kalau Alendra nggak tau. Dia kan jarang banget keluar kelas, apalagi ke kantin. Kayaknya fokusnya cuma ke buku doang.”
“Makanya! Nih orang kebanyakan bertelur di kelas, kerjaannya baca atau nulis. Sampe nggak update sama dunia luar.” Selena menghela napas dramatis, lalu merapatkan kursinya lebih dekat ke Alendra. Dengan suara setengah berbisik tapi penuh semangat, ia mulai menjelaskan.
“Geng Ravenclaw itu… kelompok cowok paling terkenal, paling berpengaruh, dan—well—paling ditakuti di sekolah ini.”
Alendra spontan menoleh. “Ditakuti?”
“Ya jelas! Mereka itu… hmm, gimana ya,” Selena menimbang kata-katanya. “Ibaratnya, kalau mereka lagi nongol di kantin, semua orang langsung minggir. Bukan karena mereka tukang berantem doang, tapi karena aura mereka tuh… gede banget.”
Elvira yang sedari tadi diam, akhirnya menimpali. “Bener. Gue pernah lihat sendiri pas minggu lalu. Mereka duduk di meja tengah, ngobrol sambil main kartu. Nggak ada satu pun anak yang berani lewat depan mereka. Semua pada muter jauh.”
“Apalagi ketuanya,” tambah Nayla sambil menyuap bakso goreng ke mulutnya. “Darren namanya. Karismanya tuh… gila banget. Semua anak laki-laki segan sama dia, apalagi cewek-cewek—pada ngefans mati-matian.”
Selena mengangguk cepat. “Terus ada wakilnya, Aksa. Tegas banget, loyal abis. Terus ada Alvaro, si jenius yang pinter bikin rencana. Julian si playboy ganteng yang hobinya gonta-ganti gebetan. Kenzo dan Axel, duo badut kocak yang kerjanya bikin rame suasana. Nah… yang paling misterius—Rayven.”
Begitu nama terakhir disebut, Selena sengaja menurunkan suaranya, membuat atmosfer meja mereka tiba-tiba lebih serius.
“Rayven?” ulang Alendra.
“Iya, Rayven Aurelio Evander Mahendra. Orang paling dingin yang pernah lo liat. Dia jarang ngomong, jarang ketawa, tapi entah kenapa semua orang segan kalau dia udah lewat. Banyak yang bilang, andai Rayven mau, dia bisa ngerebut posisi ketua dari Darren kapan aja.”
Alendra terdiam. Nama itu memang asing, tapi cara Selena menceritakannya seakan membuat sosok itu begitu nyata, begitu menonjol dibanding yang lain.
“Eh, tapi jangan salah,” Elvira menyela. “Banyak cewek yang klepek-klepek sama dia juga. Justru karena misterius itu.”
“Ya, makin dingin, makin laku. Dasar cewek-cewek sekolah ini aneh semua.” Selena mendengus, lalu menatap Alendra yang masih kelihatan bingung. “Pokoknya, kalau lo ketemu geng Ravenclaw… hati-hati. Jangan cari gara-gara, jangan kepo, dan jangan sok kenal. Mereka tuh bukan level kita.”
Alendra hanya mengangguk pelan. Ia sebenarnya tidak terlalu peduli, tapi cerita itu berhasil membuatnya sedikit penasaran.
Mereka kembali menyantap makanan masing-masing. Kotak bekal Alendra kini terbuka, berisi nasi putih, sayur bening, dan ayam goreng sederhana buatan ibunya. Sementara teman-temannya asyik dengan makanan kantin.
Namun bahkan di tengah keheningan itu, nama geng Ravenclaw masih bergema di kepalanya. Entah mengapa, ada rasa tidak nyaman sekaligus rasa ingin tahu yang samar—seakan nama itu bukan sekadar cerita iseng dari Selena, melainkan sesuatu yang kelak akan bersinggungan langsung dengan hidupnya.
Hari ini, setelah pulang sekolah, Alendra langsung mengayuh sepeda onthel kesayangannya menuju sebuah kafe kecil di pinggir jalan kota. Seperti biasa, ia harus bekerja paruh waktu di sana sebagai barista untuk membantu keuangan keluarga.
Begitu sampai, aroma kopi langsung menyambutnya. Dari balik meja bar, terlihat seorang perempuan dengan rambut dikuncir rapi sedang menuang latte art untuk pelanggan.
“Hai, Mbak Ayu,” sapa Alendra ramah sambil melangkah masuk.
“Hai, Len. Cepat ganti baju ya, pelanggan lagi rame banget,” jawab Ayu tanpa melepaskan fokusnya pada cangkir di tangannya.
“Oke, Mbak,” sahut Alendra sambil tersenyum tipis.
Ia bergegas masuk ke ruang ganti kecil di belakang, menukar seragam sekolahnya dengan apron hitam khas kafe itu. Begitu kembali ke depan, suasana sudah riuh rendah. Beberapa meja penuh dengan anak muda yang tertawa, sebagian besar masih berseragam sekolah lain, sepertinya menjadikan kafe itu tempat nongkrong malam minggu.
Dengan cekatan, Alendra mulai membantu: mencatat pesanan, menyajikan kopi, hingga membersihkan meja. Walaupun tubuhnya terasa letih setelah seharian bersekolah, ia tetap melakukannya dengan senyum. Baginya, pekerjaan ini bukan hanya sekadar mencari uang, tapi juga bentuk tanggung jawab agar bisa sedikit meringankan beban kedua orang tuanya.
Waktu berjalan cepat. Tanpa terasa, jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Suasana kafe yang tadi ramai kini mulai sepi. Kursi-kursi kosong, hanya tersisa satu dua pelanggan yang masih mengobrol. Beberapa rekan kerja Alendra sudah sibuk merapikan meja dan menghitung kas.
“Len, kamu hati-hati ya pulangnya. Udah malam banget soalnya,” ucap Ayu sambil menepuk bahunya.
“Iya, Mbak. Terima kasih,” jawab Alendra sambil tersenyum.
Setelah melepas apron, ia keluar dari kafe sambil menuntun sepeda onthel tuanya. Jalanan kota sudah lengang, hanya sesekali terdengar deru motor yang melintas. Angin malam berhembus menusuk tulang, membuat Alendra merapatkan jaket tipis yang ia kenakan.
Malam itu, lampu neon berwarna-warni berkelap-kelip di sebuah klub malam paling terkenal di pusat kota. Musik berdentum keras, memantul dari dinding ke dinding, memenuhi udara dengan irama yang membuat siapa pun ingin bergerak mengikuti beat. Asap rokok bercampur dengan aroma minuman keras, menambah sesak suasana.
Di salah satu sudut, geng Ravenclaw sudah berkumpul. Kenzo, dengan gaya humorisnya, langsung menyapa keras begitu melihat sosok yang baru saja melangkah masuk melewati pintu kaca tebal.
“Akhirnya lo dateng juga, Ray!” serunya sambil mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.
Rayven Aurelio Evander Mahendra hanya memberikan tatapan singkat, lalu duduk di kursi kosong tanpa banyak bicara.
“Ya,” jawabnya singkat, seolah hanya sekadar formalitas.
Kenzo mengangkat alis, sementara Aksa yang duduk di sebelah Rayven hanya menggeleng pelan. Mereka semua sudah terbiasa dengan sikap dingin Rayven. Karisma laki-laki itu memang membuatnya disegani, meski terkadang sukar ditebak isi kepalanya.
Tak lama, bartender datang membawa beberapa botol minuman ke meja mereka. Tanpa basa-basi, Rayven langsung meraih satu botol dan menuangkan isinya ke dalam gelasnya sendiri. Malam itu, tampaknya ia tidak berniat sekadar berpesta; ia ingin menenggelamkan dirinya dalam alkohol.
Julian dan Axel, dengan gaya flamboyan dan kocaknya masing-masing, sudah lebih dulu terjun ke dance floor. Keduanya menari tanpa beban di tengah kerumunan, dikelilingi perempuan-perempuan muda yang ikut larut dalam dentuman musik.
Aksa menoleh ke Rayven yang sibuk meneguk minumannya. “Ray, asik kan ke klub gini? Bisa liat yang bening-bening. Gak selalu harus ngurung diri di apartemen.”
Rayven meletakkan gelasnya di meja, menatap sekilas kerumunan yang tertawa dan menari, lalu kembali menatap kosong pada botol di tangannya. “Biasa aja.” Jawabnya datar.
Aksa menghela napas. Ia tahu betul kalau Rayven lebih suka tenggelam dalam sepi di apartemennya sendiri. Dunia ramai, penuh cahaya seperti ini, bukanlah tempat yang ia sukai. Tapi malam ini, entah kenapa, ia datang.
Satu botol habis. Rayven membuka botol kedua, lalu meneguk lagi tanpa ragu.
Namun, baru beberapa menit kemudian, ia merasakan sesuatu yang tak wajar. Dadanya berdegup lebih cepat dari biasanya, napasnya terasa berat, dan keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya meski ruangan itu penuh AC.
“Oh, shit…” desis Rayven sambil memegang lehernya. Tubuhnya terasa panas, bukan seperti efek alkohol biasa. Ada sesuatu yang berbeda.
Kenzo yang baru kembali dari dance floor menghampiri, melihat Rayven yang tiba-tiba pucat. “Eh, Ray, lo kenapa, bro? Lo minum kebanyakan ya?”
Rayven tidak menjawab. Ia buru-buru berdiri, hampir menjatuhkan kursinya, lalu berjalan cepat ke arah pintu keluar.
“Ray! Lo kenapa sih?” Aksa berdiri, hendak mengejar, tapi Rayven sudah menghilang menembus kerumunan.
Tubuhnya semakin panas, matanya berkunang-kunang, suara musik yang berdentum terasa makin menyakitkan telinga. Dengan napas tersengal, Rayven akhirnya berhasil keluar dari klub, menembus udara malam yang dingin.
Namun rasa itu tak kunjung hilang. Ada sesuatu yang mengalir dalam darahnya, sesuatu yang bukan sekadar alkohol.
Rayven menyandarkan tubuhnya di dinding luar klub, mencengkeram kerah bajunya sendiri. “Sial… ada yang nggak beres…” gumamnya dengan suara serak.
Rayven keluar dari parkiran klub dengan langkah terburu-buru. Tubuhnya sudah tak karuan. Setiap hembusan napas terasa membakar tenggorokannya, jantungnya berdegup tak beraturan. Dengan sisa tenaga, ia meraih kunci motor dari saku jaket, lalu menyalakan motornya. Mesin meraung keras, dan tanpa pikir panjang ia melajukan motornya menembus jalanan malam.
Lampu-lampu kota berkelebatan, tapi pandangan Rayven makin lama makin kabur. Tangannya bergetar memegang setang. Keringat deras membasahi pelipis, sementara suara di kepalanya terus berbisik panas... panas...
Di pertigaan sepi dekat rumah tua tak berpenghuni—rumah yang sering dipakai Ravenclaw sebagai markas—Rayven akhirnya tak sanggup lagi. Ia menghentikan motornya dengan rem mendadak, tubuhnya hampir terhempas. Nafasnya tersengal, pandangannya berkunang, dan ia menjatuhkan diri duduk di aspal yang dingin, punggung bersandar ke dinding kusam rumah kosong itu.
“Panas... panas...” racau Rayven sambil meremas kerah bajunya.
Sementara itu, di jalan yang sama, Alendra sedang mengayuh sepeda onthelnya dengan santai. Udara malam yang sejuk membuatnya sedikit lega setelah seharian lelah di sekolah dan bekerja di kafe. Lampu sepeda yang redup menyorot jalan, sementara suara jangkrik terdengar samar dari rerumputan.
Namun, langkah sepedanya melambat ketika ia melihat sesuatu di kejauhan. Tepat di depan rumah kosong, sebuah motor terparkir miring, nyaris roboh. Dan di sampingnya, ada sosok laki-laki yang terlihat terhuyung, lalu jatuh terduduk.
Alendra tertegun. Hatinya langsung diliputi rasa khawatir.
“Ya Allah... itu orang kenapa?” gumamnya pelan, matanya memicing berusaha melihat lebih jelas.
Karena rasa iba, Alendra menepikan sepedanya lalu turun. Ia melangkah hati-hati mendekat.
“Mas... mas, nggak apa-apa?” tanyanya ragu sambil melirik pemuda itu.
Di bawah cahaya lampu jalan yang remang, ia bisa melihat wajah pemuda itu jelas. Wajah tampan dengan garis tegas, meski kini tampak pucat dan keringat bercucuran. Tatapannya kosong, nafasnya terengah.
“Panas... panas...” Rayven kembali meracau, tubuhnya sedikit berguncang.
Alendra panik. Ia tak mengenal pemuda ini. Dalam pikirannya, mungkin orang itu hanya korban kecelakaan atau mabuk karena minum alkohol. Ia sama sekali tak tahu bahwa sosok yang ada di depannya adalah Rayven Aurelio Evander Mahendra—anggota paling ditakuti dari geng Ravenclaw, nama yang bahkan baru siang tadi didengarnya sekilas dari Selena.
“Mas... harus dibawa ke rumah sakit, ya?” Alendra mencoba membantu, berjongkok di samping Rayven, meski hatinya diliputi ketakutan.
Rayven menoleh perlahan, tatapan matanya tajam tapi lelah. Dalam sekejap, sorot matanya yang dingin itu membuat Alendra bergidik. Ada aura aneh yang membuatnya ingin mundur, namun rasa kasihan lebih kuat menahannya di tempat.
“Gue... nggak... butuh...” suara Rayven serak, hampir tak terdengar.
Alendra menggigit bibir, bingung harus bagaimana. Ia menatap motor besar yang terparkir di samping, lalu menoleh lagi pada pemuda itu. “Mas, kalau kayak gini nggak bisa sendiri. Harus ada yang nolongin...”
Rayven meremas keras setang motornya, seakan menahan sakit yang tak tertahankan. Tatapannya mengunci pada Alendra.
Rayven menatap Alendra dengan sorot mata yang kacau. Tubuhnya panas, pikiran setengah sadar, tapi genggaman tangannya pada pergelangan Alendra begitu kuat.
“Tolongin gue... gue udah nggak kuat...” bisiknya, suaranya tercekat, penuh tekanan.
Alendra terkejut. Ia berusaha menarik tangannya, namun cengkraman Rayven jauh lebih keras. “Mas, lepasin... saya cuma mau bantu...” ucapnya dengan suara gemetar.
Namun Rayven tak mendengarkan. Dengan tenaga sisa, ia menyeret Alendra masuk ke dalam rumah tua tak berpenghuni itu. Pintu kayu berderit keras saat didorong, kegelapan langsung menyelimuti mereka berdua.
“Mas! Jangan tarik aku! Lepasin, tolong!” Alendra memberontak, air matanya mulai jatuh karena ketakutan.
Rayven menutup pintu dengan keras, lalu terduduk lemas di lantai. Tubuhnya benar-benar tak stabil. Nafasnya memburu, matanya berkilat tak normal, seolah ada sesuatu yang menguasai dirinya.
Alendra menatapnya dengan wajah pucat. “Ya Allah... kenapa aku bisa ketemu orang kayak gini...” bisiknya.
Rayven mengangkat kepalanya perlahan, menatap Alendra. Pandangan itu membuat darah Alendra seakan membeku. Ada amarah, ada rasa sakit, ada sesuatu yang liar yang bahkan Rayven sendiri tak bisa kendalikan.
“Gue butuh lo...” katanya dengan suara rendah, hampir seperti erangan.
Alendra mundur beberapa langkah, punggungnya terbentur dinding. Air matanya jatuh deras, jantungnya berdegup tak terkendali. “Jangan dekati aku...” pintanya lirih.
Namun Rayven, dalam keadaan kacau dan tubuh penuh panas, mendekat. Alendra terus berusaha melawan, menjerit, menendang, tapi tenaga seorang gadis tak sebanding dengan kekuatan Rayven yang kehilangan kendali.
Malam itu, di rumah kosong yang gelap dan sunyi, teriakan Alendra tak pernah ada yang mendengar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!