Cahaya matahari perlahan muncul di ufuk timur, suara kicauan burung membahana di angkasa membuat Deni terbangun dari tidurnya. Sambil mengucek mata, ia segera bangkit menuju kamar mandi.
Akan tetapi pagi ini Deni tampak kurang bersemangat, ia masih mencela hasil cek khodam yang semalam tidak sesuai dengan harapan. Masalahnya Deni sudah terlanjur sesumbar kepada teman-teman nya di tempat kerja kalo ia akan jadi pemuda sakti, Deni khawatir jika mereka tau kenyataan yang sebenarnya, dia bakal di bully habis-habisan.
"Apa aku bohong aja ya, kalo misalnya nanti mereka tanya?" Deni bergeming sambil menimbang-nimbang, ia sudah tak punya alasan lain untuk mengelak, sampai mendatangkan setan di telinga kanan dan kirinya.
"Udah tinggal bohong aja, daripada kamu di kecengin terus, apa gak makin jatuh harga dirimu itu. Lagi pula temenmu juga gak bakal tau." Bisik setan merah bertanduk di pundak sebelah kiri.
"Istighfar Den, mereka mungkin gak tau tapi tuhan maha tau. Lagian apa kamu gak kasihan tuh sama malaikat atid, tangannya sampe keram gara-gara nulis amal burukmu." Timpal setan putih yang hinggap di pundak kanan.
Deni masih diam, ia tenggelam dalam dua hasutan, antara harga diri atau berterus terang dengan resiko yang harus ditanggung sendiri.
"Halah gak usah di pikirin, emang kau tak ingat sama taruhan yang sudah kau sepakati."
Deni mengangguk-anggukkan kepala, ia membenarkan bisikan di telinga sebelah kiri. Sepekan yang lalu Deni dan kawan-kawannya sudah membuat taruhan. Jika ritual yang ia lakukan gagal, maka Deni wajib mentraktir gorengan selama seminggu ini.
"Den! Cepetan ibu udah kesiangan ini." Panggilan lantang dari sang ibu membuyarkan lamunannya. Ia kembali bersiap sebelum berangkat mengantar ibu nya.
Sepuluh menit kemudian, motor Deni melaju dengan kecepatan sedang. Terlepas dari rasa kemelut yang masih bergelanyut, batin Deni juga sebenarnya di sambangi rasa senang. Ia berharap di pasar nanti bisa berjumpa dengan pujaan hatinya.
Bukan suatu hal yang mustahil, orang tua Vira memang memiliki ruko sembako di pasar itu, bahkan kebetulan lokasi nya berdekatan dengan ruko ibunya berjualan. Namun sayangnya, Deni tidak bisa lebih dari sekedar memandang. Sebab cintanya yang satu ini terkendala restu orang tua.
Bukan lagi rahasia umum, baik orang tua Deni dan orang tua Vira memang terkenal tidak akur, mereka sering bertengkar di tempat umum, masalah kecil bisa menjadi besar jika keduanya bersinggungan. Hal itulah yang menjadikan kisah cinta Deni begitu tragis melebihi kisah istri-istri yang tersakiti di indosuar.
Setelah tiba di gang pasar, Deni menepikan motornya di bahu jalan. Tepat beberapa meter dari tempat berhenti, pandangan Deni langsung tertuju pada seorang gadis cantik jelita yang tidak lain kalo bukan Vira, yang masih sibuk melayani pembeli di ruko seberang.
Pemuda itu termangu, dunia serasa berhenti berputar ketika Vira melayangkan senyum manis meski bukan untuk dirinya. Apalagi ketika angin berhembus tiba-tiba menghempaskan rambutnya yang tergerai panjang dengan gerakan slowmo, Deni tak berkedip, dirinya seakan membayangkan sedang kejar-kejaran bersama Vira seperti di film-film India.
Bayangan itu membuat Deni tertawa cekikikan, hingga tanpa sadar aktivitas nya diperhatikan oleh ibunya.
"Lah, ini anak kesambet setan dimana coba. Deniii!" Panggil Sulastri dengan nada cukup keras hingga Deni terkejut.
"Ngagetin aja ibu nih, ah!"
"Katanya mau kerja, kenapa masih bengong disini?"
"Anakmu dari tadi ngeliatin anak gadisku terus Sul!" Ucap perempuan yang berdiri di sebrang jalan.
Tidak salah lagi, wanita yang menyahut itu adalah Sri, alias ibunya Vira.
"Heh! Sal Sul Sal Sul, kalau manggil nama yang lengkap! Dasar Srintil! Kata siapa anakku ngeliatin anak situ? Jangan kege-eran deh! Emangnya di pasar ini perempuan cuma anaknya situ doang?" Sambar Sulastri dengan ketus.
"Terus aku harus manggil situ siapa? Syahrini? Lagian siapa juga yang kege-eran. Aku pun juga gak minat punya mantu daei anak situ."
Suasana pasar yang ramai jadi semakin ramai karena ada dua emak-emak sedang adu mulut membela anaknya masing-masing. Bahkan suara keduanya menarik perhatian orang-orang di sekitar pasar. Deni yang masih disana hanya bisa diam membisu. Ia tak menyangka jika perkelahian dua emak-emak akan terulang kembali.
Melihat riak wajah keduanya tampak sangat tidak suka seolah mengubur harapannya dengan sang pujaan hati.
"Lah! emang saya mau punya mantu anak situ? Di luar sana juga banyak perempuan yang ngantri jadi istri anak saya." Sewot Sulastri tak mau kalah.
Di kubu sebrang, Vira ikut mendekat, gadis itu juga merasakan hal yang sama seperti Deni, ia malu sebab orang tuanya kembali bertengkar di tempat umum.
"Sudah bu, malu dilihat orang."
"Nggak! Gak ada kata malu, mereka harus tau nduk, kalo yang deketin kamu itu rata-rata Abdi negara, bukan karyawan macam anaknya Sulastri itu." Pekik Sri percaya diri.
"Heh! sini maju, aku udah gemes pengen ngeruwes mulutmu." Sulastri semakin naik pitam, ia menggulung lengan baju sambil berjalan menghampiri rivalnya. Alih-alih mundur, Sri juga melakukan hal yang sama.
Deni dan Vira semakin panik, mereka berusaha menahan ibunya masing-masing. Tapi situasi sudah tak terkendali, aksi tarik ulur kembali terjadi, ditambah banyak mulut yang membuat suasana makin memanas.
Hampir saja mereka saling baku hantam dan jambak-jambakan, beruntung ada petugas keamanan yang datang membantu. Deni segera menarik lengan ibunya meninggalkan kerumunan, Vira juga melakukan hal yang sama. Tapi keadaan masih belum berakhir, Sulastri yang merasa tidak terima, masih meluapkan kekesalannya.
"Kenapa sih ibu masih berkelahi sama ibu Sri, baru juga kemarin kalian bertengkar gara-gara rebutan BH."
"Kemarin urusannya beda sama yang sekarang Den! Kemarin dia duluan yang mulai. Masa BH yang udah ibu beli main diambil aja sama dia. Tadi emang kamu gak denger Srintil itu bilang apa? Ibu gak terima Den! Lagian ngapain kamu senyum-senyum sendirian? Jangan bilang kalo omongan si Srintil itu benar? Kamu bengong dari tadi ngeliatin anaknya?"
Deni melotot, ia cepat-cepat menggeleng, ia lebih memilih bohong daripada urusan gak kelar-kelar.
"E-enggak! Aku gak liatin Vira kok."
"Yaudah, buruan berangkat kerja, nanti kamu telat."
Deni mengangguk kemudian salim kepada ibunya untuk meminta restu. Namun sebelum motornya benar-benar pergi, dirinya menatap kosong ke atas langit yang membentang luas tanpa awan.
"Vir, Kalo ibu kita seperti ini terus, apa mungkin bajuku dan bajumu bisa satu jemuran yang sama suatu saat nanti?" Gumam Deni dengan perasaan gundah.
Tak lama ia kembali fokus menuju tempat kerjanya, kini ia harus menyiapkan mental untuk berhadapan dengan bos nya yang terkenal garang dan super pelit.
Sambil memacu kendaraan Deni berdoa agar keterlambatan nya hari ini bisa ditolerir. Meskipun ia masih ragu-ragu sebab ia juga sudah memakai segala macam alasan saat terlambat di hari-hari sebelumnya.
Tepat beberapa meter sebelum sampai di ujung gerbang, rupanya sudah berdiri pria paruh baya yang mondar-mandir sambil melayangkan pandangan ke arah jalan.
"Mati Aku!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments