Langkah kaki Heavenhell terhenti didepan pintu lift yang tertutup. Ia sudah menekan tombol untuk membuka namun pintu lift tidak kunjung terbuka.
"Heavenhell Solene berhenti sekarang," teriak Loreynzza membuat Heavenhell semakin panik. Dengan cepat ia berjalan kearah sebuah pintu yang ternyata mengarahkannya ke sebuah rooftop rumah sakit.
Heavenhell ingin mundur namun langkah kaki anak buah Jazlan semakin dekat sehingga tidak ada pilihan lain. Heavenhell menutup pintu tersebut lalu menguncinya dari luar.
Angin berhembus dengan kencang menerbangkan rambut Heavenhell. Wanita itu memilih bersembunyi dibelakang toren air besar yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.
"Kita akan selamat, nak. Mama janji kita bakal bahagia. Ada atau tidaknya papa kamu, kamu bakal tetap disayang. Jadi baik-baik yah, walaupun Mama nggak tau kamu beneran tumbuh di rahim Mama atau tidak."
Heavenhell mengusap perut ratanya dengan sayang. Airmatanya jatuh tanpa bisa ia cegah. Hari ini memang penuh kejutan kan? Garis dua testpack dan transplantasi ginjal.
Heavenhell memilih duduk menyandarkan dirinya pada dinding Rooftop rumah sakit yang sudah berlumut. Ia menghela nafas lalu menghembuskannya untuk mengurangi rasa sesak didadanya. Kalimat-kalimat Mamanya dan Jazlan berseliweran dikepalanya membuat rasa sesak didadanya semakin menggerogoti relung hatinya yang mengirimkan perasaan sakit hati yang luar biasa.
Apa yang ia dapatkan jika ia memberikan ginjalnya pada Aretha? Kesengsaraan berkepanjangan? Jika ia melakukannya maka kemungkinan terbesarnya janinnya akan di aborsi lagi lalu semakin kecil ia memiliki anak miliknya sendiri. Lalu setelah itu Aretha akan tetap hidup sehat dan bahagia bersama Jazlan dan anak-anak mereka.
Sementara dirinya hanya akan dibuang bak sampah tak berguna dan tak diharapkan. Tidak akan bohong, jika ia masih menyimpan perasaan iri terhadap kebahagiaan Aretha. Walaupun ia berusaha menekannya tapi perasaan itu selalu muncul dengan sendirinya. Tidak ada wanita yang mau dimadu kan?
"Disini kamu, Heavenhell."
Tubuh sang pemilik nama tersentak kaget.
Perlahan ia membuka mata hazelnya dan mendapati Jazlan berdiri menjulang di depannya. Raut wajah suaminya itu dingin seperti biasa dengan tangannya yang bersedekap dada.
"Ale, tolong. Aku nggak mau," mohon Heavenhell.
Jazlan membuang muka lalu menghela nafas sejenak. "Ave, gue minta kerjasamanya. Gue cuman butuh salah satu ginjal lo buat Aretha. Itu aja, banyak kok orang yang bisa hidup dengan satu ginjal."
Heavenhell menggelengkan kepalanya. "Aku nggak mau, Lan."
"Kenapa? Kenapa lo nggak mau? Aretha itu sepupu lo atau adek angkat lo. Dia sekarang lagi sekarat, bahkan dia rela nahan rasa sakit saat dia ngandung anak gue. Sesuatu yang nggak akan pernah bisa lo kasih ke gue atau lebih tepatnya lo rampas dari gue."
Deg!
Tatapan dingin Jazlan serasa menghunus jantungnya dan meruntuhkan kepercayaan dirinya. Apakah ini akhirnya? Tidak peduli seberapa banyak Heavenhell bersujud kepada Tuhan atau meminta maaf, Jazlan tetap akan memilih untuk mencari kebahagiaan dan tidak ada dirinya di dalamnya.
"Lan, do you love me?" cicit Heavenhell dengan penuh harap. Tidak! Heavenhell tidak menanyakan itu untuk dirinya namun untuk janin yang kemungkinan sedang tumbuh dirahimnya.
"Nope."
Pupus sudah harapan Heavenhell, keyakinan dan harapannya sudah hancur lebur. Rasa sakit yang ditimbulkan serasa merobek paru-parunya sehingga ia merasa sesak. Cengkeraman Heavenhell pada perutnya mengerat ketika perutnya terasa kram. Dan sesuatu mengalir dari pahanya.
"Disini kamu Heavenhell. Dasar anak tidak tau untung, Mama cuman minta satu ginjal kamu aja. Itu nggak sebanding sama apa yang udah dilakuin sama Aretha untuk suami kamu," seloroh Loreynzza dengan tatapan tajam kepada Heavenhell yang sedang duduk bersandar pada tembok berlumut rooftop rumah sakit.
"Mama," cicit Heavenhell ketakutan tatkala melihat Loreynzza berjalan kearahnya dengan marah namun ditahan oleh Valdrin.
"Loreynzza, jangan gila kamu. Dia anak kamu, anak kandung kamu. Darah daging kamu, kamu nggak bisa ngorbanin dia seolah dia itu sapi ternak yang nggak berharga dan bisa disembelih kapanpun kamu mau. Kalau dia nggak mau yaudah, itu tubuh dia jadi dia berhak nentuin keputusan dia," bentak Valdrin mencekal tangan Loreynzza.
Demi tuhan, ia sangat kasihan dengan putri tirinya tersebut. Walaupun mereka tidak terikat darah namun itu tidaklah penting. Baginya Heavenhell bak anak kandungnya sendiri. Ikatan kekeluargaan tidaklah harus karena terikat darah namun cinta.
Heavenhell akan selalu menjadi seorang gadis kecil yang bersedia membagi cinta ibunya untuknya.
"Nggak usah belain dia, dia cuman anak tiri kamu."
Plak!!
Tamparan keras menghantam wajah Loreynzza.
Valdrin melemparkan tatapan tajam ke arah sang istri yang sudah kelewatan. Kata-kata yang sangat tidak ia sukai.
"Diem kamu, Loreynzza."
Wanita paruh baya itu memegang pipinya yang memar karena ditampar oleh suaminya sendiri. Selama mereka menikah baru kali ini Valdrin menamparnya. Biasanya mentok-mentok hanya memarahinya saja.
Jazlan dan Heavenhell juga tak kalah terkejut dengan apa yang terjadi. Valdrin yang terkenal dengan sikap tenang dan bijaksananya baru saja menampar istri tercintanya. Loreynzza terlihat terkejut sejenak lalu senyum sinis terbit dibibirnya.
"Oh, oke." Tanpa banyak bicara, Loreynzza berjalan kearah Heavenhell dan menyeretnya untuk segera berdiri. Tidak memperdulikan pemberontakan dari Heavenhell.
"Mama, aku nggak mau Ma. Tolong, sekali ini aja. Aku anak Mama kan?" seru Heavenhell memberontak dalam genggaman tangan Loreynzza. Hari ini mentalnya sangat disiksa habis-habisan membuat ia seperti tak memiliki kekuatan.
"Ya, kamu anak Mama. Tapi letak kebahagiaan Mama ada sama Aretha. Begitupun Lan dan semua orang. Ayah tiri kamu mungkin membela kamu tapi dia akan mengerti saat ngeliat Aretha dan Jazlan berbahagia. Bukankah kamu udah egois selama ini dan menyebabkan bencana," jelas Loreynzza dingin.
Ia sudah muak dengan semua ini, wajah kesakitan Aretha dan ekspresi sedih Melody membuatnya gelap mata.
"Ma, tolong. Hiks.. Sekali ini aja.. Ma.. Tolong.. Sakit," raung Heavenhell kesakitan saat Loreynzza menarik paksa dirinya.
Valdrin yang melihatnya merasa tidak sanggup melihat Heavenhell memohon seperti itu. Ia seperti ikut merasakan perasaan sesak yang dirasakan Heavenhell.
"Loreynzza, berhenti!" seru Valdrin berusaha melepaskan cekalan tangan sang istri namun ditahan oleh Jazlan.
"Pah, jangan."
Valdrin melemparkan tatapan tajam kearah Jazlan yang menghalangi langkahnya. "Apa maksudnya ini, Lan. Heavenhell itu istri kamu."
Jazlan menganggukkan kepalanya. "Begitupun Aretha. Anak aku butuh dia begitupun aku."
"Trus gimana sama Heavenhell," tanya Valdrin tidak habis pikir.
Jazlan melirik sejenak kearah Heavenhell yang sedang berusaha memberontak dari genggaman tangan Loreynzza. "Kehadiran dia nggak berarti dalam hidup aku. Jadi nggak ada bedanya kalau dia ada atau enggak ada," jawab Jazlan dingin.
Perkataan itu sekali lagi memukul telak relung hati Heavenhell. Tubuhnya yang tadinya sibuk memberontak seketika melemas. Jadi seperti itu yah posisi Heavenhell di hati Jazlan pantas saja ia tidak dia dihargai selama ini. Rasanya Heavenhell ingin tertawa keras sekarang air matanya sudah habis untuk menangisi hidupnya yang malang. Kehadirannya tidak berarti bagi siapapun entah itu untuk ibunya, ayah kandungnya, suaminya, lalu siapa lagi. Entahlah, Heavenhell sudah tidak ingin tahu.
"Kamu denger itu kan? Jadi ayo cepetan jangan banyak drama kamu," kata Loreynzza tidak sabaran seraya menarik tangan Heavenhell agar berdiri.
Putrinya itu terlihat tidak memberontak lagi seperti tadi, ia berdiri dengan sukarela dan membuat Loreynzza tersenyum senang karena tidak lama Aretha lagi akan sembuh dan bisa berbahagia. Setidaknya itu yang dipikirkan Loreynzza sebelum Heavenhell tiba-tiba melepaskan cekalan tangannya dan kabur.
"Heavenhell, mau kemana kamu sialan!" seru Loreynzza mengejar Heavenhell yang berlari.
Valdrin berinisiatif untuk menghalangi Loreynzza namun Jazlan sudah terlebih dulu memerintahkan anak buahnya untuk mencekal pergerakan Valdrin. Ia pun menyusul Loreynzza yang mengejar Heavenhell.
......................
Langkah kaki Heavenhell berhenti di tepi bangunan rumah sakit. Angin kencang menerbangkan rambut panjangnya serta bajunya yang berkibar mengikuti arah angin. Nafasnya tersengal karena berlari belum lagi perutnya yang terasa sangat kram.
Celana hitam yang ia gunakan menyamarkan noda merah darah yang keluar dari pangkal pahanya. Tidak usah menebak, Heavenhell tahu jika ia kemungkinan keguguran lagi karena tekanan batin yang kuat.
"Mau kemana kamu, anak sialan," kata Loreynzza melangkah mendekat kearah Heavenhell yang berdiri diujung bangunan.
Heavenhell berbalik menatap kearah Loreynzza lalu matanya menangkap siluet anak dan Ibu yang tersenyum dibawah sana. Mereka berdua nampak bahagia dan tersenyum lepas dibawah sana.
Mengingatkannya pada masa lalu ketika ia dan ibunya masih mesra tidak seperti sekarang.
"Ma, apa Mama masih sayang sama aku setelah menikah dengan om Valdrin?" tanya Heavenhell tidak melepaskan pandangannya dari penampakan tadi.
"Maksudnya?"
Heavenhell mengalihkan pandangannya kearah Loreynzza yang berdiri di depannya. Sekilas Heavenhell bisa melihat siluet wajah lelah namun senang Loreynzza ketika ia baru saja pulang kerja, sebelum ia menikah dengan Valdrin. Yang dimana hanya ia dan Ibunya. Bayangan ia berlari kearah ibunya karena merindukannya seharian berputar dibenak Heavenhell.
Memori yang sangat berharga baginya, dulunya ia selalu berpikir ia hanya perlu Loreynzza didalam hidupnya setelah Ayah kandungnya menelantarkan mereka. Namun rupanya Loreynzza tidak menginginkan hal yang sama. Selalu hanya dirinya yang berharap disini.
"Mama, aku seneng Mama akhirnya bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk bahagia walau aku nggak termasuk di dalamnya. Mama akhirnya punya keluarga yang selalu Mama idam-idamkan, suami baik seperti Om Valdrin dan Putra cerdas seperti Adhvan. Trus ada Aretha yang selalu mengerti Mama. Aku bahagia ngeliat Mama saat pertama kali meluk Adhvan yang baru lahir. Akhirnya kehidupan bisa memperlakukan Mama dengan baik. Aku bahagia banget walau setelah itu Mama mengabaikan aku, tapi nggak apa-apa. Bahkan saat Mama mutusin buat aku tinggal sama Nenek sama Kakek di desa aja, aku juga nggak apa-apa. Karena aku tau Mama mau membangun hidup baru tanpa ada bayangan masa lalu yang mengikuti Mama. Aku sayang sama Mama karena hanya Mama yang aku punya didunia ini."
Heavenhell mengepalkan kedua tangannya ketika mengatakan hal tersebut. Semua hal yang ia rasakan dan ia pendam selama ini akhirnya bisa ia keluarkan. Rasa sakitnya masih sama dan akan selalu sama. Waktu tidak akan bisa menyembuhkannya dan tidak akan pernah.
Kesakitan ini akan terus menjeratnya hingga mati.
"Om Valdrin, makasih karena selalu belain aku dan selalu berusaha memberikan figur Ayah buat aku. Bukannya aku nggak bersyukur atau apanya, aku cuman merasa nggak pantes dengan semua ini. Aku hanya anak bawaan dari wanita yang om cintai. Tidak ada kewajiban untuk Om melakukan itu semua. Cukup Om bahagiain Mama sama Adhvan itu udah cukup untuk aku."
"Ave, jangan bilang gitu. Papa sayang sama kamu, mau kamu itu anak kandung Papa atau bukan tapi Papa tetep sayang sama kamu, sama besarnya dengan Papa sayang sama Adhvan. Kamu pantes nak, sangat pantas."
Tangisan Heavenhell tidak terbendung ketika Valdrin memanggilnya dengan sebutan, "nak". Tidak ada yang pernah memanggilnya seperti itu sebelumnya. Bahkan ibunya.
"Makasih, Papa," balas Heavenhell.
Wajahnya sudah memucat karena darah yang keluar dari pangkal pahanya semakin banyak dan merembes di kakinya. Nafasnya bahkan sudah tercekat saking sesaknya atmosfer disekitarnya sekarang.
"Ave, kaki kamu," tunjuk Valdrin pada pergelangan kaki Heavenhell yang bersimpah darah. Matanya membelalak ketika ia mengikuti sumber aliran darah tersebut.
"Ave, kamu.." kata Valdrin tidak percaya.
Heavenhell mengangguk. "Aku keguguran lagi, tadi pagi aku tes kehamilan pake tespack dan hasilnya positif. Aku mau bilang sama Lan tapi dia lagi sibuk."
Jazlan merasakan tubuhnya seperti disiram air dingin. Matanya melirik kearah pergelangan kaki Heavenhell lalu kearah wajahnya. Kenyataan Heavenhell hamil membuatnya sangat terkejut luar biasa. Bagaimana bisa? Bukannya ia tidak pernah menyentuh Heavenhell dan tidak mungkin juga istrinya itu berselingkuh karena ia tahu betul tabiatnya.
"Kamu hamil? Bagaimana bisa? Lan kan lebih banyak menghabiskan waktu dengan Aretha, Mama sendiri yang liat," kata Loreynzza heran. Diam-diam ia merasa ngeri dengan darah yang mengalir pada kedua kaki Heavenhell. Rasa takut mulai menjalari relung hatinya, untuk pertama kalinya ia merasakan perasaan ini. Wajah kuyuh dan pucat Heavenhell membuat nafasnya sesak ditambah pernyataan yang keluar dari mulut putrinya tadi.
Putrinya yang dulunya sangat kecil dan tersenyum kearahnya dan selalu menemaninya di kala suka dan duka. Dan sekarang putrinya itu tengah berdiri didepannya dengan penampilan yang sangat memprihatinkan.
Sudah berapa banyak waktu yang habiskan tanpa melihat perkembangannya dan bagaimana hidup memperlakukan putri satu-satunya ini. Dan kapan terakhir kali ia memperhatikannya. Entahlah, rasanya sudah sangat lama karena Loreynzza seolah tidak melihat rupa putri kecilnya yang dulunya sangat ia cintai.
"Ini anak aku, Ma. Hanya anak aku tapi sekali lagi dia udah pergi, mungkin dia nggak mau punya ibu seperti aku makanya dia pergi."
"Ave.." ujar Jazlan dengan nada suara yang melembut.
Tidak ada lagi suara dingin dan raut muka datar yang ia tampilkan. Hal itu membuat Heavenhell semakin sesak karena ia seperti melihat wajah Jazlan yang dulunya sangat mencintainya. Mengapa waktu baik selalu datang saat terakhir.
Heavenhell menatap Jazlan dengan senyum tipis dibibirnya. "Lan, mari tidak bertemu di kehidupan manapun."
Dan kemudian, tanpa ragu, ia melangkah satu langkah terakhir. Dunia yang dingin dan keras akhirnya menjadi sunyi.
Angin menerpa lebih kencang, seakan menggiringnya menuju akhir yang ia cari.
Pandangannya mengabur oleh air mata, tetapi ia tidak peduli. Jazlan berteriak, berlari, mencoba meraih tangannya. Tapi semuanya terlambat. Tubuh Heavenhell melayang di udara, seolah terbebas dari segala beban dunia.
Saat ia jatuh, angin terasa hangat di kulitnya, seperti pelukan yang ia dambakan. Dalam detik-detik terakhir, ia membayangkan bayi kecil itu tersenyum padanya, di tempat yang lebih baik, di mana rasa sakit tidak lagi ada.
"Ayo kita pergi sayang, Mama akan mengikuti kamu kemanapun," bisik Heavenhell menatap langit yang tiba-tiba saja berubah menjadi gelap gulita lalu sedetik kemudian pandangannya menghitam.
Di bawah sana, desas desus orang-orang terdengar beberapa menit kemudian. Namun, di atas sana, hanya tersisa hujan dan langit kelabu yang menyaksikan kepergiannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments