NovelToon NovelToon

AMBISI SANG SELIR

ASS1

“Bawa budak lancang ini ke tiang gantungan di sudut kota, laksanakan hukuman mati sekarang juga!” titah Yasmin Hatun sambil menyeringai, matanya berkilat penuh kemenangan.

Dua algojo bertubuh kekar maju tanpa ragu. Rantai besi di pergelangan Esma ditarik kasar, sampai-sampai tubuh perempuan itu tersentak ke depan.

Perempuan yang malang itu meronta-ronta. “Aku tidak bersalah!” serunya dengan suara serak.

Dua algojo tak menggubris, justru semakin menyeretnya lebih kencang.

“Lepaskan aku!” bentak Esma, ia berbalik— menatap nyalang ke arah Yasmin. “Kalian akan menyesal jika Baginda mengetahui kebenarannya. Sanggupkah kalian menanggung murka Baginda?!”

Mendengar hal itu, Yasmin Hatun tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan tangan berhiaskan cincin permata. “Kau kira ... Baginda akan peduli pada budak rendahan sepertimu? Sadar diri lah, Esma. Kau, hanyalah kenikmatan sesaat untuk Baginda. Singkirkan budak buruk rupa ini dari hadapanku ... sekarang juga.”

Langkah algojo kembali menyeret Esma. Sudut bibir Yasmin pun sontak terangkat sinis, “selamat bertemu ajalmu, Budak Rendahan. Itulah balasan bagi budak yang lancang berkhayal merebut kasih Baginda dariku.”

“Lepas!” teriak Esma, lalu menatap Yasmin sengit. “Dengar baik-baik, Yasmin! Aku bersumpah, jika aku berhasil menaiki takhta ... kau adalah orang pertama yang akan ku buat binasa!”

.

.

.

Beberapa bulan sebelumnya, nasib mengharuskan puluhan budak melangkah gontai di jalanan berdebu. Wajah mereka pucat, selain takut, masih tersisa jejak lelah akibat berhari-hari terombang-ambing di kapal laut yang pengap.

Setiap wajah memantulkan kisah perih masing-masing, seolah setiap tetes keringat mereka adalah saksi bisu dari perjalanan panjang menuju lorong takdir yang sudah menanti.

PLAK!

“Percepat langkah kalian, budak-budak bodoh!”

Tongkat kayu menghantam betis seorang gadis hingga terjerembab. Lututnya menyeret tanah berdebu, wajahnya mengerang menahan sakit. Tapi, belum sempat ia meringis, bentakan kasar lebih dulu membuat ia bergidik ngeri.

“Berdiri! Cepat jalan, atau akan kupukul hingga kakimu remuk!”

Dengan sorot mata bengis, pengawal bertubuh tinggi itu menatap rombongan budak seakan mereka hanyalah hewan ternak. Tongkat panjang di tangannya kembali terangkat, siap kembali menghantam gadis tadi yang dianggapnya memperlambat perjalanan ke Istana. Namun, sebelum kayu itu mendarat di kaki sang gadis—

“Jangan sakiti dia!”

Seorang gadis dengan rambut panjangnya yang kusut serta wajah dipenuhi debu, menghalang dengan berani. Sepasang mata hijau zambrudnya berkilau di bawah terik matahari, menyorot tajam ke arah pengawal.

Namanya Esma, seorang gadis yang terlahir sebagai putri seorang penggembala sederhana di kaki bukit Ruthenia. Di daerah asalnya, namanya bukan sekadar nama biasa. Sejak kecil, ia dikenal sebagai gadis yang berani melawan para pemuda yang kerap merampas hasil panen rakyat desa. Ketika para perempuan lain memilih menunduk, Esma justru berdiri paling depan, melindungi yang lemah dengan suara lantang.

Namun, keberanian itu tak mampu menolongnya ketika bencana menimpa. Tahun itu, desa kecil tempatnya tumbuh harus membayar upeti kepada penguasa wilayah. Emas dan hasil bumi sudah tak cukup untuk menebus pajak yang mencekik. Maka, jalan terakhir pun dipilih, menyerahkan anak-anak gadis mereka sebagai tanda tunduk. Esma, dengan kecantikan paripurna nya, dipilih menjadi salah satu upeti hidup—yang akan dipersembahkan sang penguasa negeri.

“Jangan sakiti dia?” Pengawal mendesis, matanya menyipit marah. Tongkat yang semula hendak menghantam kaki gadis lain kini terarah pada Esma. “Apa wajah cantikmu ingin menggantikan posisi kakinya, hah?”

Esma mengangkat dagunya sedikit, suaranya bergetar samar. “Tuanku, bukankah kami ini dibawa sebagai persembahan untuk sang Sultan? Bukankah sudah ada titah, tubuh para gadis-gadis muda tidak boleh membawa luka sedikit pun?”

Sorot hijau zamrud matanya bergeming meski tongkat itu hampir menyentuh wajahnya.

“Jika menurut Tuan—gadis ini menghambat perjalanan, biarlah hamba yang membantunya berjalan. Yang terpenting, kami tidak boleh tertinggal langkah, bukan?” kata Esma lagi dengan berani.

Rahang sang pengawal mengeras. Ia menggeram pelan, jelas tak suka dibantah oleh seorang budak. Namun, ucapan Esma tak bisa ia sanggah, perintah istana lebih tinggi dari amarah pribadinya.

Tongkat di tangannya diturunkan perlahan. Namun, sebelum ia melangkah mundur, ujung kayu itu sempat menekan dagu Esma dengan kasar.

“Mulutmu terlalu pintar untuk seorang budak,” desisnya dingin. “Jika kau tidak bisa menjaga lisan, kau akan binasa di dalam istana Sultan Bey Murad.”

Esma menunduk hormat. “Nasehat Tuan akan selalu hamba ingat.”

Si pengawal mengibaskan jubahnya, lalu meludah ke tanah sebelum kembali mengawasi barisan. “Jalan terus! Jangan ada yang tertinggal!”

Esma menarik napas panjang, menahan sakit di bawah dagunya. Tapi, ia segera meraih lengan gadis yang tadi hampir dipukul, membantunya berdiri tegak.

“Ayo, jangan takut,” bisiknya lembut. “Kita akan segera sampai. Kalau boleh tau, siapa namamu?”

Gadis itu menelan ludah, matanya masih berkaca-kaca karena ketakutan. Suaranya lirih, hampir tenggelam oleh derap langkah rombongan.

“Alena ... namaku Alena.”

Esma mengangguk pelan, menggenggam lengan mungil itu lebih erat seolah memberi janji perlindungan.

“Esma, panggil aku Esma” balasnya singkat, matanya menatap lurus ke depan. “Asalku dari Ruthenia. Dari mana asalmu?“

“Podolia,” jawab Alena lirih.

“Podolia? Baiklah, Alena, mulai sekarang ... jangan pernah tertinggal dariku. Kita akan bertahan ... bersama.”

Alena menunduk, bibirnya gemetar tapi tersungging senyuman tipis untuk pertama kalinya sejak perjalanan itu dimulai.

...***...

Setibanya di gerbang istana, barisan budak itu dipaksa melangkah dengan tertib. Satu per satu melewati pintu gerbang yang menjulang tinggi—berhias ukiran kaligrafi emas yang berkilau diterpa cahaya mentari.

Dari balik gerbang, terbentang halaman luas yang dipenuhi taman-taman indah. Pohon cemara berbaris rapi bak penjaga setia, sementara bunga-bunga mawar merah dan putih bermekaran, menebarkan aroma halus yang memanjakan indera.

Mata para budak terkesima, terlena oleh keindahan istana, seolah-olah baru saja melangkah masuk ke dunia lain. Mereka tidak tau, segala intrik telah menunggu mereka.

Di kejauhan, tatapan para pelayanan segera tertuju pada kecantikan Esma yang menyeruak, meskipun tubuhnya berbalut pakaian kumal. Ada yang melirik penuh iri, ada yang berbisik-bisik dengan dengki.

“Pasti dia sedang berpikir kalau kecantikannya itu anugerah,” gumam Fatma, pelayan senior dengan sorot mata tajam dan hati mendengki. “Dia belum tau saja, di dalam istana ini ... wajah cantik justru bisa menjadi kutukan—apalagi jika sampai menarik murka Yasmin Hatun.”

Fatma melangkah maju, langkahnya mantap, dagunya terangkat seakan dialah penguasa di pelataran itu. Ia menghampiri rombongan budak yang baru masuk, matanya langsung menyorot Esma dari kepala hingga kaki.

Ia mendekat, jarak wajahnya tinggal sejengkal dari Esma. Aroma keringat dan minyak murahan menyengat, tapi Esma tetap menahan napas, menatap lurus tanpa gentar.

“Cepat masuk! Jangan buang waktu berdiri di sini seperti patung!” Bentak Fatma sambil menepuk-nepuk tangannya, menyuruh para budak baru menyebar mengikuti para pelayan lain.

Esma sudah hendak melangkah pergi bersama Alena. Namun, tiba-tiba Fatma menarik kasar lengannya dengan paksa. Esma hampir terjerembab, tapi ia segera menahan keseimbangannya.

“Kau,” desis Fatma di dekat telinganya, suaranya dingin, sarat akan ancaman. “Ikut aku.”

Tanpa memberi kesempatan untuk bertanya, Fatma menyeret Esma melewati koridor belakang istana, menuju bangunan yang berdiri agak terpisah dari aula utama. Aroma jerami basah dan kotoran hewan segera menyambut mereka.

“Selamat datang di istal,” ucap Fatma dengan senyuman miring. “Dengar baik-baik, Manis. Semua budak memulai dari bawah, tak peduli wajahmu seperti bidadari. Begitu kau melangkah masuk ke istana, setiap jengkal tubuhmu harus berguna. Sekarang, kau bersihkan kandang kuda ini sampai berkilau. Jangan harap kau akan mendapat sepotong roti kalau pekerjaanmu tak memuaskan.”

Bukan tanpa alasan Fatma begitu membenci kecantikan Esma. Selama bertahun-tahun ia hidup di harem, ia memupuk mimpi menjadi lebih dari sekadar pelayan. Ia mendamba diangkat sebagai selir, mungkin suatu hari melahirkan seorang pangeran yang bisa mengubah nasibnya. Namun, apalah daya, Sultan Bey Murad sedikitpun enggan melirik wajahnya.

Tahun ini, Fatma bahkan sudah berani merayu Mansur Ağa, sang kepala kasim harem, agar namanya dipertimbangkan masuk sebagai kandidat. Tapi kini, melihat kecantikan Esma yang menyeruak meski berbalut pakaian kumal, darah Fatma berdesir. Saingan barunya datang tanpa ia duga, dan jauh lebih cantik dari dirinya.

‘Wajahmu memang manis ... tapi mari kita lihat, apakah kecantikan itu masih berarti setelah kau berkubang dengan kotoran kuda.’ Fatma membatin penuh dengki, lalu meninggalkan Esma seorang diri.

.

.

Sore hari, setelah tugasnya selesai, Esma keluar dari istal dengan langkah gontai. Tubuhnya masih berbau kuda, tangannya perih karena bekerja tanpa henti. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Esma berniat mencari udara segar sebentar, karena jika ia lekas kembali ke istana—sudah pasti tenaganya kembali diperah.

Di tepi jalur berbatu yang mengarah ke arena latihan kuda, ia berhenti di sebuah pohon besar. Angin sore menyapu lembut rambutnya yang kusut. Esma bersandar pada batang pohon itu, memejamkan mata sejenak. Untuk pertama kalinya sejak pagi, ia merasa ada sedikit ruang untuk bernapas.

“Tulang-tulangku rasanya mau patah,” gumamnya lirih.

Namun, ketika menyadari senja kian pekat, Esma pun merapikan helai rambut yang menutupi wajahnya, lalu gadis itu lekas berbalik hendak kembali ke istana. Akan tetapi, tubuhnya mendadak membeku.

Hanya beberapa langkah darinya, berdiri seorang pria tampan dengan busur terentang. Tubuhnya tegap, wajahnya berbingkai rahang kokoh. Alis tebal menaungi sepasang mata tajam berwarna kelam. Ia tampak seperti patung dewa perang yang hidup, terlihat gagah sekaligus berbahaya.

Dan kini, ketampanan itu sirna. Berganti dengan sorot mata dingin yang mengerikan, saat anak panah yang tadinya mengancam Esma, melesat cepat di udara.

JLEB!

“Akkhh!”

*

*

*

Bersambung~

ASS2

JLEB!

“Akkhh!”

Esma menjerit tertahan ketika anak panah itu melesat laju di atas kepalanya. Seketika lututnya lemas gemetar, tubuhnya ambruk di tanah berbatu.

Dengan napas tercekat, gadis itu mendongak. Matanya membelalak tatkala melihat seekor ular besar tergantung mati di dahan pohon dengan anak panah menancap di kepalanya.

Barulah ia menyadari—hewan itu tadi tepat berada di atas kepalanya, siap mematuk ketika ia bersandar.

“Panah itu ... menyelamatkan aku ...,” gumamnya parau.

Gadis bersurai hitam itu memberanikan diri menatap sosok pahlawan nan rupawan. Namun, pesona sang pria yang nyaris tak masuk akal itu membuat Esma tak berkedip. Gadis itu seperti terhipnotis.

‘Tampannya.’ Wajah Esma memerah.

Namun detik berikutnya, suara berat dan nyaring membuat Esma segera tersentak sadar.

“Tundukkan kepalamu, Budak!”

Dari arah belakang, Mansur Ağa—kepala kasim harem, melangkah cepat. Suaranya menggema seakan ia berkuasa.

“Berani sekali kau, budak rendahan, menatap langsung ke wajah Baginda Bey Murad!”

Kata-kata itu menyambar telinga Esma layaknya panah petir.

“Baginda?” Bibir Esma menganga. Namun, pandangannya belum turun sedikitpun, masih terpana.

Sementara itu, pria tampan yang berdiri di depannya, yakni Sultan Bey Murad—penguasa seluruh negeri, menatap Esma tanpa ekspresi.

PLAK!

Mansur Ağa menepuk keras punggung Esma yang tak juga menjaga pandangan. Gadis itu tersentak, lekas menundukkan kepala dalam-dalam. Ia tak berani lagi menatap pria itu, meski hatinya masih berdegup kencang.

Sultan Bey Murad melangkah tenang melewati gadis berpenampilan kumal itu. Atmosfer langsung terasa sesak, seolah udara di sekitar ikut menahan napas.

Di belakangnya, Mansur Ağa segera membungkuk hormat, tubuhnya nyaris sejajar dengan tanah.

“Semoga langkah Baginda selalu diiringi keberkahan,” ucapnya dalam nada penuh takzim.

Langkah Sultan Bey Murad mendadak berhenti. Mansur Ağa mendongak sedikit, heran.

Sultan Bey menoleh sejenak ke arahnya, lalu mendekat. Suaranya rendah, tetapi terdengar jelas oleh kasim setianya itu.

“Pastikan peristiwa ini tak sampai terhembus ke telinga Yasmin Hatun,” titahnya pelan, namun penuh wibawa.

Mansur Ağa menelan ludah, lalu segera menunduk dalam. “Titah Baginda, hamba junjung sepenuh jiwa.”

Sultan Bey Murad kembali beranjak, meninggalkan tempat itu dengan langkah mantap dan aura tak tergoyahkan.

Begitu bayangan Sultan menghilang, wajah Mansur Ağa berubah keras. Ia menoleh pada Esma dengan tatapan setajam belati.

“Kau ...,” desisnya dengan suara menekan, “sekali lagi kau lancang mengangkat wajahmu menatap ke arah Baginda, maka aku sendiri yang akan mencungkil kedua matamu itu! Ingat baik-baik.”

Esma menundukkan wajahnya dalam-dalam, kedua tangannya meremas ujung pakaiannya sambil berpikir keras. Ia menyahut tenang, tanpa bergetar.

“Hamba mohon ampun, Tuanku. Tiada sedikit pun niat hamba untuk lancang menatap Baginda. Hamba hanya manusia hina yang baru saja terlepas dari ajal, maka tatapan hamba tak lebih dari rasa syukur kepada penolong yang dihadirkan Tuhan melalui panah Baginda.”

Ia berhenti sejenak, memindai penampilan pria di hadapannya sambil menduga-duga seberapa tinggi posisinya di istana. Esma kembali melanjutkan ucapannya dengan lebih lembut.

“Jika hamba bersalah, biarlah hamba dihukum. Namun hamba percaya, Tuan yang bijaksana ini tentu memahami, seorang budak tiada pernah berhak menyimpan wajah Sultan dalam ingatan, selain sebagai berkah yang mengingatkan pada betapa mulianya Baginda.” Sengaja Esma memoles ego Mansur dengan menyebutnya bijaksana, barangkali ia bisa membuat kasim berkuasa itu melunak walau sejenak.

Benar saja, setelah Esma berucap demikian, sorot tajam di mata Mansur Ağa perlahan meredup. Bibirnya yang semula menegang, kini menahan senyum.

“Hmm,” alisnya terangkat sebelah. Suaranya lebih lembut dari sebelumnya, meski masih menyimpan nada angkuh. “Jadi menurutmu, aku ... terlihat bijaksana?”

Mansur Ağa menegakkan tubuhnya, dadanya membusung, jelas-jelas terbuai oleh kata-kata Esma. Jemarinya yang tadi mengepal kini bergerak menyisir jenggot tipisnya, mencoba menyembunyikan rasa senang yang membuncah. Namun sorot matanya tetap berusaha mempertahankan wibawa, seolah ia enggan terlihat terlalu lemah oleh pujian seorang budak.

Esma menundukkan kepalanya sedikit, menyembunyikan kilatan licik yang hampir muncul di matanya.

‘Kau mudah dirayu rupanya ...,’ batinnya, lalu cepat-cepat berdiri.

Dengan sopan, ia pun menjawab. “Bagaimana mungkin hamba tidak melihat kebijaksanaan Anda, Tuanku? Tatkala Baginda berbalik dan menyampaikan titah hanya kepada Anda, hamba segera mengerti ... betapa besar kepercayaan Baginda kepada Tuan. Sungguh, hanyalah orang pilihan yang akan diberi amanah sebesar itu.”

Mansur Ağa sontak tersenyum lebar, pipinya sedikit mengembang. Ia tertawa singkat, lalu mengusap dadanya dengan gaya dibuat-buat.

“Ternyata, matamu cukup jeli dalam menilai,” ucapnya, setengah bangga pada dirinya sendiri.

Diam-diam, jemari Mansur merayap. Dari balik jubahnya, kasim itu mengeluarkan sepotong kain kecil yang membungkus tiga potong roti gandum kering. Ia menyodorkannya dengan gerakan sok berwibawa.

“Ambil ini,” katanya. “Tidak semua budak mendapatkannya. Anggap saja hadiah kecil karena kau tau bagaimana menimbang kata dengan cerdas. Tapi ingat ... jangan sekali-kali kau menyalahgunakan kemurahan hatiku.”

Esma menunduk, menerima roti itu dengan kedua tangan. “Terima kasih, Tuanku,” jawabnya, suaranya lembut namun matanya menyiratkan tekad.

“Setelah menghabiskan roti-roti itu, segeralah kembali ke harem. Banyak pekerjaan yang sudah menanti,” kata Mansur tegas sebelum akhirnya meninggalkan Esma.

Sepeninggalan Mansur, alih-alih lekas menghabiskan roti pemberian sang kasim, gadis itu justru terpaku menatap roti di tangannya. Aroma manisnya seolah lenyap, tergantikan oleh bayangan wajah Bey Murad. Rahang yang kokoh, dada bidang yang bersembunyi di balik jubah, serta mata elang Bey Murad yang tajam, sungguh membuat jantung Esma berdebar tak karuan. Roti itu mendadak terasa hambar, tak mampu mengalahkan debaran hebat yang kini menggelegar dalam dadanya.

“Bey Murad ...,” bisiknya lirih, pipinya merona hingga ke telinga.

...***...

Sudah beberapa hari Esma menjalani kehidupannya di dalam istana. Ia segera memahami satu hal, kehidupan di balik dinding-dinding megah ini jauh lebih keras daripada bayangannya. Setiap pagi, para budak harus bangun sebelum fajar menyingsing, membersihkan luasnya lantai marmer hingga berkilau, menyikat karpet tebal, atau menimba air untuk keperluan harem. Setiap kesalahan, sekecil apapun, akan berbuah bentakan, tamparan, bahkan hukuman berdiri berjam-jam tanpa makan.

Di dalam hirarki yang kejam itu, mereka yang lebih lama mengabdi—merasa memiliki kuasa tak tertulis atas budak baru. Esma, dengan kecantikannya yang mencolok, menjadi sasaran empuk. Fatma, pelayan senior yang terkenal sinis, hampir setiap hari menyulitkannya.

“Ini belum bersih! Ulangi lagi!” Serunya keras ketika Esma sudah memeras kain pel lantai hingga tangannya merah.

Bukan tanpa sebab Fatma bersikap demikian. Beberapa hari lalu, dia pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri, Mansur Ağa memberikan hadiah kecil untuk Esma pada hari pertama ia tiba di istana. Tiga potong roti. Hal yang mustahil, mengingat kasim itu terkenal kikir dan berlidah tajam, hampir tidak pernah bersikap baik pada pelayan, apalagi budak rendahan. Sejak saat itu, Fatma menyimpan bara cemburu di hatinya.

Dan sore itu, bara di dada pelayan itu kian memanas ketika melihat pemandangan di depan matanya. Kecantikan Esma berhasil mencuri perhatian Sultan Bey Murad yang tengah melintas di taman.

Sang Sultan menghentikan langkah, matanya tertuju lama pada sosok gadis bersurai hitam yang tengah menyapu dedaunan kering di atas permukaan air kolam. Maniknya tak berkedip, seolah waktu terhenti—hanya Esma yang menjadi pusat perhatiannya.

Fatma menelan ludah. “Budak Sialan ....” Desisnya sambil mencengkeram gagang kendi yang ia bawa.

Pelayan berhati dengki itu menggertakkan giginya, sorot matanya menajam.

“Esma ... lihat saja nanti, malam ini ... nasibmu akan segera berakhir. Siapkan dirimu, wahai Wanita Penggoda.”

*

*

*

ASS3

Mentari senja memancarkan cahaya keemasan, menyelimuti taman istana dengan kehangatan yang menenangkan. Sultan Bey Murad, dengan langkah berwibawa, berjalan di antara mawar-mawar yang bermekaran. Di sisinya, Panglima Orhan mengikuti dengan setia, mendengarkan dengan saksama setiap perkataan sang Sultan.

“Oleh karena itu, kita harus memperkuat perbatasan selatan. Kirimkan pasukan tambahan dan pastikan setiap pos dijaga dengan ketat,” titah tegas Sultan Bey Murad.

Panglima Orhan mengangguk, “Titah Baginda akan segera dilaksanakan. Hamba akan memastikan keamanan perbatasan selatan menjadi prioritas utama.”

Namun, di tengah perbincangan serius mengenai strategi dan keamanan negara, langkah Sultan Bey Murad tiba-tiba terhenti. Maniknya terpaku pada sosok yang tengah berdiri di tepi kolam, sibuk menyapu dedaunan kering di permukaan air.

Gadis dengan surai hitam yang tergerai bebas, tampak begitu anggun di bawah cahaya senja. Sultan Bey Murad tak dapat mengalihkan pandangannya dari si pemilik senyuman menggugah. Ada sesuatu dalam diri Esma yang menariknya, sebuah pesona yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Orhan, yang sedari tadi fokus pada pembicaraan, menyadari perubahan sikap sang Sultan. Ia mengikuti arah pandang Baginda, dan alisnya terangkat sedikit melihat sosok Esma. Ia tahu betul, Sultan Bey Murad bukanlah pria yang mudah terpesona.

Dengan sorot mata yang masih menatap Esma, Sultan Bey Murad melanjutkan perkataannya. “Pastikan setiap pedagang yang melintas diperiksa dengan teliti. Kita tidak boleh lengah terhadap kemungkinan adanya penyelundupan atau mata-mata.”

Jelas Orhan menyadari, pikiran sang Sultan tampak terbagi antara urusan negara dan sosok gadis di tepi kolam. Pria itu tahu, ia tak memiliki hak untuk bertanya ataupun berkomentar mengenai urusan pribadi Sultan. Namun, sebagai seorang yang setia dan berpengalaman, ia merasa perlu untuk mengingatkan Baginda.

“Tentu, Baginda. Semua perintah akan hamba laksanakan secepat mungkin,” jawab Panglima Orhan, lalu menambahkan dengan hati-hati, “Semoga Baginda selalu dilindungi oleh Sang Kuasa. Ketertarikan Baginda pada hal-hal duniawi jangan sampai melalaikan tugas dan tanggung jawab sebagai pemimpin.”

Sultan Bey Murad terdiam sejenak, lalu menghela napas pelan. Ia tahu, Panglima Orhan hanya ingin yang terbaik untuknya dan untuk kerajaan. Namun, ia tidak bisa memungkiri bahwa sosok Esma telah membangkitkan sesuatu yang baru dalam dirinya. Sesuatu yang sudah lama terkubur di bawah beban kekuasaan dan tanggung jawab.

“Aku mengerti kekhawatiranmu, Orhan,” jawab Sultan Bey Murad, akhirnya. “Terima kasih atas nasihatmu. Aku tidak akan membiarkan diriku terlena.”

Ia mengalihkan pandangannya dari Esma, mencoba fokus kembali pada perbincangan mengenai urusan negara. Meskipun, bayangan gadis itu tetap terukir jelas di benaknya.

Panglima Orhan mengangguk lega. Ia tahu, meskipun dikenal tegas dalam memerintah, Sultan Bey Murad adalah pemimpin yang bijaksana dan bertanggung jawab. Ia percaya, Baginda akan mampu menjaga keseimbangan antara urusan pribadi dan kepentingan kerajaan.

.

.

Malam itu, di sebuah ruangan yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk istana, Panglima Orhan memanggil Mansur Ağa. Wajahnya serius, sorot matanya menyelidik.

“Mansur Ağa, ada yang ingin kutanyakan padamu,” ucap Orhan tegas.

Mansur Ağa, yang selalu sigap dan penuh hormat, membungkuk sedikit. “Tentu, Tuanku Panglima. Budakmu yang rendah ini siap menjawab semua pertanyaan.”

“Aku melihat Sultan Bey Murad tampak tertarik pada seorang budak di taman tadi sore,” kata Orhan, tanpa basa-basi. “Budak bermata hijau zamrud. Apakah kau tau siapa yang kumaksud?”

Mata Mansur Ağa melebar sedikit. Ia segera menyadari siapa yang dimaksud Orhan. Hanya ada satu budak di harem yang memiliki mata seindah itu, Esma.

“Tentu, Tuanku,” jawab Mansur Ağa, cepat. “Hamba tau betul siapa yang Tuanku maksud. Namanya Esma, baru beberapa hari yang lalu dia tiba di istana.”

Orhan mengangkat satu alisnya. “Ceritakan padaku tentang dia. Aku ingin tau segala hal tentang kepribadiannya, asal-usulnya, dan apa pun yang kau ketahui tentangnya.”

Mansur Ağa menarik napas dalam-dalam. Ia tahu, pertanyaan ini bukan sekadar rasa ingin tahu biasa. Panglima Orhan adalah orang kepercayaan Sultan, dan ketertarikannya pada Esma pasti memiliki alasan yang lebih dalam.

“Budak itu berasal dari Ruthenia, Tuanku,” Mansur Ağa memulai ceritanya. “Dia seorang gadis desa yang dijual sebagai budak karena desanya tidak mampu membayar upeti. Kabarnya, dia memiliki keberanian yang luar biasa.”

“Keberanian?” Orhan kembali mengangkat alisnya. “Apa maksudmu?”

Mansur Ağa terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Hamba mendengar desas-desus, Tuanku. Konon, dalam perjalanan menuju istana, Esma sempat melawan pengawal yang memukuli seorang budak lain. Dia berani membela yang lemah, meskipun itu berarti mempertaruhkan dirinya sendiri.”

Panglima Orhan terdiam, ia sedang membayangkan sosok Esma, gadis bermata indah yang berani melawan ketidakadilan. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya.

“Menarik,” gumam Orhan. “Jadi, dia bukan hanya cantik, tapi ... juga memiliki jiwa pemberani, begitu maksudmu?”

Mansur Ağa mengangguk. “Benar, Tuanku. Namun, hamba juga mendengar bahwa dia memiliki lidah yang tajam dan mulut yang pintar. Dia pandai berbicara dan membela diri, yang bisa jadi berbahaya jika tidak dikendalikan.”

Panglima Orhan menatap Mansur Ağa dengan tatapan tajam. “Apa maksudmu dengan ‘berbahaya’?”

Mansur Ağa menelan ludah. “Hamba hanya khawatir, Tuanku. Esma adalah orang asing di istana ini. Dia belum tau aturan dan adat istiadat yang berlaku. Jika kita tidak berhati-hati dan mengirimkannya langsung ke ranjang Baginda saat beliau memintanya, dia bisa membuat masalah bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain.”

Orhan mengangguk paham. Ia tahu, Mansur Ağa hanya menjalankan tugasnya sebagai kepala kasim harem, menjaga ketertiban dan keamanan di dalam istana.

“Sebagai antisipasi,” lanjut Orhan. “Bawa para budak itu menempuh pendidikan. Ajari mereka adat istiadat, tradisi, dan bahasa kita. Jangan biarkan mereka berbicara dengan bahasa asal mereka. Kau mengerti?”

Mansur Ağa mengangguk dan berkata, “tentu, Tuanku.”

“Kau boleh pergi,” ujar Panglima perang yang terkenal cerdik dalam strategi.

Mansur Ağa membungkuk hormat, lalu bergegas meninggalkan ruangan. Ia merasa lega karena berhasil menyampaikan semua yang ia ketahui tentang Esma. Namun kegelisahan segera menyusul. Ia sadar, ketertarikan Sultan Bey Murad pada gadis itu bisa mengubah segalanya di dalam istana. Terlebih jika Yasmin Hatun—istri sah Baginda, sampai mencium kabar ini.

“Oh Tuhan, istana ini bisa berubah menjadi lautan darah dalam sekejap.” Sekedar membayangkannya saja membuat Mansur bergidik ngeri.

Baru saja Mansur Ağa hendak melangkah meninggalkan lorong istana yang lengang, dari arah berlawanan seorang pengawal melangkah cepat menghampirinya.

“Mansur Ağa!” seru pengawal itu sambil memberi hormat singkat. “Yang Mulia memanggil Anda. Beliau menantikan Anda di ruangannya.”

Mansur spontan menghentikan langkahnya. Wajahnya seketika pucat pasi, matanya berputar ke langit-langit istana yang menjulang tinggi.

“Ya Allah ... jauhkanlah hamba dari segala marabahaya,” gumamnya lirih, tangannya refleks menepuk dadanya sendiri. “Baru sebentar hamba bisa bernapas lega, sudah ditarik lagi ke sarang singa.”

Dengan langkah berat dan wajah penuh keengganan, ia pun mengikuti sang pengawal menuju ruangan Sultan Bey Murad.

...***...

Malam kian larut, suasana harem perlahan hening—para budak satu persatu telah terbuai di alam mimpi. Namun, suara gebrakan keras membangunkan mereka.

BRAK!

Pintu kayu besar terbanting ke dinding istana. Zeynep Hatun, seorang kepala harem, masuk dengan langkah tergesa-gesa. Gurat wajahnya terlihat murka.

“BANGUN KALIAN SEMUA!” Suara lantangnya memecah kesunyian. Di belakangnya, dua orang pelayan wanita menyusul masuk, membawa lentera dengan tatapan curiga.

Para budak dengan sigap bangkit, saling bertukar pandang, seolah menyampaikan pertanyaan tanpa kata.

“Ada yang berani mengotori kehormatan harem dengan perbuatan hina,” suara Zeynep Hatun menggema, menusuk tiap telinga. “Seorang pelayan mengadu kehilangan cincin permatanya. Dan kita akan mencari tau siapa pencurinya ... malam ini juga!”

Ia menatap tajam ke arah barisan budak yang gemetar ketakutan. Lalu suaranya kembali meninggi. “GELEDAH SEMUANYA!”

Dua pelayan segera maju. Mereka membongkar bantal, menyibak lipatan kain, dan meraih barang-barang kecil yang terselip. Hingga akhirnya, benda yang dikabarkan hilang itu tersingkap dari dalam sarung bantal. Ruangan yang tadinya sunyi senyap seketika berubah gaduh.

Sang pelayan buru-buru menyerahkan benda itu pada Zeynep Hatun. Kepala pengawas harem itu menatap tajam ke arah para budak, sorot matanya menyala marah.

“Tempat tidur siapa ini?!” tanyanya dingin.

Para budak saling melirik, tubuh mereka serentak menegang, mulut mereka bungkam. Tak ada satu pun yang berani menjawab. Bukan semata karena gentar pada tajamnya suara Zeynep Hatun, melainkan karena mereka tak sanggup menyebut nama pemilik dipan itu—sosok yang sejauh ini mereka kenal sebagai pribadi yang berbudi luhur, murah hati, dan kerap menolong tanpa pamrih.

“Jadi ... kalian lebih memilih bungkam?” Zeynep Hatun berkacak pinggang. “Pelayan!Bawa budak-budak ini ke penjara bawah tanah. Besok pagi, seret mereka keluar istana untuk menerima hukuman cambuk. Atau bila perlu, potong tangan mereka di hadapan semua orang!”

Tepat setelah Zeynep Hatun berkata demikian, Esma pun melangkah maju, menundukkan kepalanya dengan hormat.

“Ampun beribu ampun, Zeynep Hatun. Sesungguhnya, Anda tidak perlu menyiksa mereka yang tak bersalah. Dipan itu adalah tempat peraduan hamba. Namun, demi Tuhan yang menjadi saksi, hamba bersumpah ... hamba tak pernah sekali pun, mencuri benda itu.”

“BOHONG!” Fatma yang tiba-tiba muncul dari balik dinding istana, berseru lantang. “Jangan tertipu dengan sumpah palsunya, Zeynep Hatun! Mulutnya memang selalu lihai dalam bertutur kata, tapi, jangan percaya barang seucap pun! Dia pencurinya, aku sangat yakin!”

*

*

*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!