Makan Malam

Keesokan paginya, Pandu datang kerumah kontrakan Gisva. Pria itu menggedor pintu cukup kencang sambil memanggil-manggil nama Gisva. Sejak dari pertengkaran itu, Gisva tak lagi menghubunginya membuat Pandu heran. Karena tak biasanya Gisva seperti itu, semarah apapun dia pasti kembali menghubungi kekasihnya.

"Gisva! Gisva, buka pintunya! Gisva!" teriak Pandu terus menggedor pintu kayu berulang kali, memanggil nama Gisva bak orang kesetanan.

Beberapa tetangga mulai membuka pintu dan jendela, menatap Pandu dengan tatapan kesal. Mereka terganggu dengan keributan yang dibuat pria itu.

"Berisik! Pagi-pagi sudah bikin ribut!" seru seorang ibu dari balik jendela.

Pandu tidak menghiraukan omelan tetangga. Ia terus menggedor pintu dan memanggil Gisva, menyuruhnya keluar.

"Gisva, aku tahu kamu marah sama aku. Tapi jangan kekanakan kaya gini, dengarkan penjelasanku dulu. Keluar Gisva!" Teriak Pandu.

Namun, pintu kontrakan tetap tertutup rapat. Tidak ada jawaban dari dalam. Pandu panik, dia takut kalau Gisva telah pergi.

"Gisva, kalau kamu tidak mau membukakan pintu, setidaknya katakan sesuatu. Gisva!..." teriak Pandu lagi tak berhenti menggedor.

Tiba-tiba, pintu kontrakan terbuka. Seorang wanita paruh baya keluar dengan wajah kesal.

"Kamu ini siapa sih? Pagi-pagi sudah bikin ribut!” ucap wanita itu dengan nada ketus.

“Aku mencari Gisva, calon istriku. Anda siapa?” Tanya Pandu heran.

“Gisva sudah tidak ada di sini!” teriak wanita itu sambil melotot tajam.

“Gak mungkin, dia pasti didalam.” Pandu menerobos masuk, menyenggol wanita paruh baya itu hingga hampir terjungkal.

“Hey! Lancang ya kamu. Masuk rumah orang seenaknya!” Teriak wanita itu berpegangan pada kusen pintu.

Pandu tak mengindahkan teriakan wanita itu. Ia berlari masuk ke dalam kontrakan Gisva, mencari keberadaan wanita yang dicintainya.

"Gisva! Gisva, kamu di mana? Aku tahu kamu ada di sini!" teriak Pandu sambil membuka setiap pintu kamar.

Namun, ia tak menemukan Gisva di mana pun. Kontrakan itu kosong dan berantakan, seperti baru saja ditinggalkan oleh penghuninya.

Pandu kembali menghampiri wanita paruh baya yang masih berdiri di depan pintu.

"Kemana dia pergi? Dimana calon istriku?" tanya Pandu mengguncang bahunya.

Wanita itu melepas paksa tangan Pandu. "Sudah kubilang dia tidak ada, dia sudah pergi sejak semalam. Tidak mengatakan apa-apa, dia hanya bilang mau mencari tempat baru." jawab wanita itu dengan nada ketus.

Pandu menjambak rambutnya. “Sial! Dimana kamu Gis?”

Brakk..

Pandu menendang pot bunga hingga tumpah berserakan.

Wanita itu terkejut, hingga tubuhnya bergetar. Dia takut pria itu akan melakukan hal yang lebih nekat lagi.

Pandu merogoh ponsel, terus menghubungi nomor Gisva yang tidak aktif lagi.

“Anjing. Bangsat!”

Pandu berlari menaiki mobil, dia harus mencari Gisva kemana pun.

“Gerakkan semua anak buah, cari keberadaan Gisva sekarang juga!”

...****************...

“Kak, maaf ya.”

“Maaf untuk apa?” tanya Naresh mengangkat satu alisnya.

"Maaf karena aku merepotkan. Aku sudah menginap di sini, dan sekarang aku malah menggunakan dapur Kakak tanpa izin." ucap Gisva, menunduk malu.

Naresh terkekeh pelan, "Gisva, dengarkan aku! Kamu tidak pernah merepotkan. Justru aku senang kamu ada di sini. Apartemen ini terasa lebih hidup."

Gisva tersenyum, merasa lega mendengar ucapan Naresh.

“Udah jangan malah melamun, tuh hampir gosong.” Naresh menunjuk wajan dengan dagunya.

Gisva tersentak, langsung berlari menghampiri ayam goreng yang sudah menguning. Sementara Naresh terus tertawa melihat kepanikan Gisva.

"Ya ampun, Kak Naresh! Ini gara-gara Kakak!" seru Gisva, dengan sigap membalikkan potongan ayam di wajan.

Naresh masih terkekeh, ikut mendekat ke arah kompor. "Salah sendiri melamun.”

Gisva mencebik, “Untung belum jadi arang.”

“Hahahah.”

Setelah memastikan semua masakannya matang, Gisva menata hidangan di meja makan. Ayam goreng mentega, capcay, dan nasi putih hangat, tak lupa ada juga sambal dan lalapan.

"Ayo, Kak. Sudah siap!" ajak Gisva.

Naresh duduk di kursi, matanya berbinar melihat hidangan di depannya. "Wah, ini beneran masakan kamu Gis?” Tanyanya meragukan.

“Oh, jelas dong. Ayam goreng mentega dan capcay buatan chef Gisva.”

“Jago ya kamu, aku cobain ya.” Naresh mencoba satu suapan kedalam mulutnya.

Dan Gisva menunggu reaksi Naresh dengan tak sabar.

“Wah gak kalah enak sama warteg pinggir jalan.” Puji Naresh.

“Kok warteg sih.” Gisva cemberut.

“Hahah. Bercanda, ini beneran enak Gis, kamu belajar masak dimana?”

“Yang bener kak?” Tanya Gisva masih cemberut.

“Serius Gis, selama diluar kota aku gak makan masakan rumahan kek gini. Biasanya gofood kalau gak ya makan diluar.”

Gisva tersenyum lebar mendengar pujian Naresh. "Aku belajar dari Mama, Kak. Dulu sering bantuin Mama masak di rumah." jawabnya senang.

"Pantesan enak, belajar dari ahlinya ternyata." sahut Naresh, mengacungkan jempol. "Kamu harus buka restoran nih, Gis. Pasti rame."

"Ah, Kakak bisa aja." elak Gisva, meskipun dalam hati merasa tersanjung. "Aku masak hanya untuk sendiri, bukan jualan.”

“Kalau aku minta disuapin tiap hari boleh gak?”

“Hah. Maksudnya?”

“Eh. Maaf-maaf,” Naresh menepuk mulutnya yang keceplosan. “Maksudnya masakin aku tiap hari bisa gak?”

“Kenapa, bukannya kakak bisa masak sendiri?”

Naresh menggeleng. “Aku gak bisa masak, cuma masak air sama masak mie doang.”

“Lah terus itu di kulkas banyak bahan masakan?”

“Itu mbak yang masak, biasanya tiap pagi kesini buat beres-beres sekalian masak.”

“Oh.” Gisva mengangguk, sedikit merasa bersalah karena sudah lancang menggunakan bahan-bahan di kulkas Naresh. "Eh, tapikan tadi kakak bikin nasi goreng."

Naresh cengengesan, "Sebenarnya itu lihat tutorial di medsos."

"Idih, kirain beneran jago."

"Jadi, gimana? Boleh gak aku minta dimasakin tiap hari?" tanya Naresh, menatap Gisva dengan tatapan memohon.

Gisva terdiam sejenak, menimbang-nimbang tawaran Naresh. “Tapi kan katanya sudah ada mbak.”

“Lebih enak masakan kamu sih.” Cengir Naresh.

“Dasar.” Gisva ikut tertawa.

“Gimana?”

"Ehm... gimana ya, Kak." ucap Gisva ragu.

"Ayolah, Gis. Mau ya.!”

“Tapi kan aku mau pergi…”

“Kamu mau pergi kemana memangnya?” Potong Naresh.

Gisva menggeleng.

“Udah kamu tinggal disini aja, mulai besok aku pulang kerumah. Kalau mau kerjaan, kamu bisa kerja dikantor.” Jelas Naresh, menghabiskan suapan terakhirnya.

Gisva terdiam menatap Naresh, menimbang-nimbang tawaran pria itu.

"Aku... aku gak bisa. Aku gak mau merepotkan kakak lebih jauh.”

Naresh meletakkan sendoknya, lalu menatap Gisva dengan tatapan serius. "Gisva, kamu butuh tempat yang aman dan pekerjaan baru. Disini dan di kantor adalah tempat yang aman, aku bisa memastikan kamu tetap nyaman dan terhindar lelaki brengsek itu.”

"Tapi, Kak..." Gisva ragu. “Ini terlalu banyak merepotkan.”

“Kamu pikirkan saja dulu baik-baik. Aku mau kekamar kenyang banget perutku.” Naresh menepuk-nepuk perutnya yang sedikit membuncit.

“Ya iyalah, orang kakak nambah sampai dua kali.”

“Masa sih. Nggak ah.”

“Yehh, gak percaya.”

“Kamu pasti bohong kan, sengaja mau bilang kalau aku rakus.”

“Hahahah. Apaan banget deh.”

Naresh beranjak dari duduknya, mengulurkan tangan mengacak rambut Gisva pelan. "Makasih ya, Gis. Kamu udah masakin aku makan malam yang enak.”

Naresh pergi, masuk kedalam kamar. Menyisakan Gisva yang masih terdiam dalam kebingungan.

Bersambung...

Happy reading😍😍

Terpopuler

Comments

PetrolBomb – Họ sẽ tiễn bạn dưới ngọn lửa.

PetrolBomb – Họ sẽ tiễn bạn dưới ngọn lửa.

Bikin nangis dan senyum sekaligus.

2025-10-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!