“Asmodai, penguasa kegelapan, terimalah pengantinmu…”
Suara itu bergetar, bercampur dengan bunyi gong kecil yang entah dari mana asalnya.
Liora ingin bangkit, ingin melarikan diri, tapi tubuhnya kaku, seolah diikat tak kasat mata.
Pria tua itu akhirnya berhenti membaca, lalu menunduk hormat pada sosok berambut panjang itu. “Dia telah menjadi istri Anda, Yang Mulia.”
Sosok itu menatap Liora. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu di baliknya, sesuatu yang sulit ditebak, antara ancaman dan takdir.
Liora hanya bisa menangis tanpa suara, terjebak dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan.
Malam itu, garis hidupnya berubah selamanya.
*****
Udara lembap menusuk setiap celah paru-paru, seolah dunia baru itu tidak mengenal matahari. Dinding-dinding batu hitam menjulang, dihiasi ukiran yang tampak hidup, merayap seperti akar yang menggeliat di kegelapan. Obor yang menyala di sepanjang lorong hanya memberi cahaya merah redup, menebar bayangan panjang yang menari dengan angin dingin.
Di tengah aula besar, seorang gadis terbaring di atas ranjang berhias ukiran naga hitam. Rambutnya yang hitam panjang terurai kusut, wajahnya pucat, bibirnya kering. Dialah Liora, pengantin paksa yang dipersembahkan keluarganya. Jiwanya belum sepenuhnya sadar, tubuhnya masih berada di ambang antara dunia manusia dan kerajaan arwah.
Liora terbangun perlahan. Pandangannya buram, dadanya naik-turun seperti orang yang baru saja terseret keluar dari kuburan. Nafasnya terputus-putus, dan tubuhnya terasa seperti ditindih batu besar. Ia tidak segera mengerti di mana dirinya berada.
Langit-langit di atasnya berukir relief aneh, sosok setengah manusia dengan wajah cacat, bersayap gelap, dan mulut yang menganga menelan sesuatu. Lampu-lampu kristal hitam menggantung dari rantai panjang, menyala dengan api hijau kebiruan yang tidak seharusnya ada di dunia manusia.
Di kanan dan kirinya berdiri dua wanita. Mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya menatapnya seolah sedang mengawasi seekor binatang yang bisa melompat kapan saja. Tatapan mereka dingin, mata mereka terlalu tajam untuk sekadar pelayan.
“Dia sudah sadar?” Suara berat seorang wanita tua terdengar.
Sosok itu memasuki ruangan, Nyonya Veyra, kepala dayang. Bajunya merah maroon gelap, renda hitam membalut leher dan pergelangan tangannya. Kulitnya pucat, matanya bagaikan batu obsidian, dan langkahnya tidak menimbulkan suara di lantai marmer hitam.
“Belum sepenuhnya, Nyonya Veyra,” jawab salah satu dayang dengan suara bergetar.
Liora mencoba bangkit, tapi seluruh sendi tubuhnya sakit seakan ditusuk jarum. Napasnya memburu, dan ketakutan yang tidak bisa dijelaskan menyergapnya.
Di sisi lain istana, pada singgasana yang menjulang seperti tulang belulang naga, Azrakel duduk. Api hitam berputar di sekitar kursinya, dan udara di ruang itu seperti terus bergetar. Ia mengenakan topeng hitam yang menutup sebagian besar wajahnya, hanya menyisakan sepasang mata, mata merah berkilat yang memantulkan cahaya darah.
“Apakah dia sudah sadar, Veyra?” suaranya berat, rendah, dan menindih udara.
“Belum, Yang Mulia,” jawab Nyonya Veyra, menunduk dengan hormat.
“Biarkan ia menyesap ketakutannya lebih lama. Rasa gentar itu akan mengikatnya pada tempat ini.”
Suasana di ruang takhta begitu mencekam. Bayangan di dinding bergerak sendiri, meski tidak ada yang lewat. Dari jauh, terdengar bisikan-bisikan, seperti seribu suara hampa yang meratap dari dasar jurang.
Gosip mulai menyebar di istana. Dayang, prajurit, hingga penasihat berbisik tentang selir baru Raja Azrakel. Katanya ia manusia. Ada yang bertanya-tanya apakah wajahnya melebihi selir lain, ada yang berspekulasi ia hanya pion untuk ritual kelam. Tidak ada yang berani membandingkannya dengan selir pertama, karena selir pertama dikenal sebagai wanita tercantik di seluruh Azzarkh.
Ketika masuk, langkahnya membawa aroma bunga bercampur dupa. Rambut hitamnya panjang, mahkota hitam berhiaskan safir gelap bertengger di kepalanya. Senyumannya indah sekaligus menyeramkan.
“Apakah selir keenam sudah sadar, Yang Mulia?” tanyanya lembut.
“Belum. Veyra melaporkan ia masih terikat dalam pusingnya,” jawab Azrakel singkat.
“Mungkin tubuhnya sedang beradaptasi dengan atmosfer istana ini. Manusia selalu rapuh ketika pertama kali menginjakkan kaki di bawah sini.”
Liora yang tadi masih setengah sadar, kini tersentak bangun. Ingatan tentang ritual di rumah tua kembali menabrak kesadarannya, asap dupa, mantera yang dipaksa diucapkan, perasaan jiwanya ditarik paksa dari tubuh. Ia menjerit.
“Aaarghhh!”
Vaelis, dayang bergaun hijau zamrud, berlari mendekat. “Nona, tenanglah!”
“Siapa kalian?!” Liora meronta, suaranya melengking.
“Kami dayang istana, ditugaskan menjaga Anda,” jawab Dreya dengan suara datar. Jubah hitam berlapis peraknya berkilat samar ketika ia bergerak.
Liora terdiam sejenak, menatap dinding-dinding ruangan. Ukiran kepala iblis menghiasi pilar-pilar, sementara tirai beludru hitam bergoyang meski tidak ada angin. Aroma logam, darah kering, meresap di udara. Ia merasa bukan berada di dunia manusia.
“Ini… di mana?” tanyanya, suaranya kecil tapi gemetar.
“Di Azzarkh, kediaman Yang Mulia,” sahut Vaelis.
“Azzarkh? Siapa yang mulia itu?" Tanya Liora, tanda tanya penuh di dalam kepalanya.
"Ini di alam antara hidup dan mati. Yang Mulia, dia adalah penguasa alam ini." jawab Dreya.
Liora menelan ludah, dadanya sesak. “Apa? Dunia orang mati?”
Liora membatu, pikirannya melayang. Jadi... Dia di nikahkan dengan hantu oleh keluarga itu. Dan, ayahnya juga menyerahkan dirinya dengan sukarela.
Liora ingin bertanya lebih jauh, namun pintu terbuka. Nyonya Veyra masuk, membawa sebuah cangkir hitam berisi ramuan kental berasap.
“Baguslah kau sudah sadar.” Ia duduk di tepi kasur, menyerahkan cangkir itu. “Minumlah. Ini akan meredakan sakit dan pusingmu.”
Liora menatap cairan pekat itu dengan curiga. Asapnya berwarna hijau, baunya pahit seperti akar busuk.
“Bagaimana kalau ini racun?” batinnya.
Namun tatapan Nyonya Veyra dingin tapi tak jahat. Akhirnya, ia meneguk ramuan itu. Rasa getir menyiksa lidahnya, membuat tenggorokannya terbakar, tapi perlahan nyeri di tubuhnya mereda.
“Ramuannya… benar-benar mujarab,” gumam Liora lemah.
Nyonya Veyra tersenyum samar, lalu berkata, “Kau kini berada di bawah kekuasaan Raja Azrakel. Kau bukan lagi manusia biasa. Kau adalah selir yang mulia.”
Liora tersentak. “Aku? Menikah dengan… hantu dan aku juga menjadi hantu, apakah aku sudah mati?”
“Bukan hantu. Raja kita bukan sekadar arwah gentayangan. Ia penguasa kegelapan, pengikat jiwa, pengendali bayangan. Dan, kau, kau belum mati.”
Liora terdiam. Pikirannya berputar, menolak, tapi logika tak menemukan jalan keluar. Dia menikah dengan hantu, tapi dia tidak mati. Sungguh di luar logikanya.
Setelah itu, Nyonya Veyra memperkenalkan kedua dayang.
“Ini Vaelis, dayangmu yang ramah. Dan ini Dreya, dayang sekaligus pengawal pribadimu. Mereka berdua akan selalu ada di sisimu.”
Vaelis membungkuk, gaunnya yang hijau berkilauan. Dreya hanya menunduk sedikit, ekspresinya dingin tanpa senyum.
Liora semakin bingung. Mereka semua memperlakukannya bak seorang putri, tapi perasaan di dalam dadanya hanyalah teror.
Tiba-tiba, suara berat menggema dari luar:
“Raja tiba!”
Pintu besar berukir tengkorak terbuka. Udara dingin masuk, lilin-lilin padam seketika. Langkah kaki berat terdengar mendekat.
Vaelis dan Dreya segera menunduk, kaku seperti patung. Nyonya Veyra juga merendahkan diri.
Liora menatap, jantungnya berdetak cepat. Sosok tinggi itu masuk, Azrakel. Tubuhnya diselimuti jubah hitam panjang, dan wajahnya tertutup topeng pekat dengan ukiran retakan. Dari balik celah mata topeng, cahaya merah menyala, menembus jiwa.
Setiap langkahnya mengeluarkan suara rantai yang bergeser. Ruangan tiba-tiba dipenuhi desiran angin dingin, seolah-olah ribuan roh ikut masuk bersama sang raja.
Liora hanya bisa terdiam, terjebak di antara rasa takut dan tak percaya. Sementara aula besar itu dipenuhi keheningan mencekam, seolah seluruh Kerajaan Azzarkh menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi pada pengantin manusia yang baru saja menjadi milik Raja Azrakel.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments