Bab 5

***

Cerita malam itu.

Malam sudah benar-benar turun.

Di dalam kamar lamanya, Elara duduk bersandar di tepi ranjang dengan wajah yang masih basah oleh air mata.

Tirai tipis dibiarkan terbuka, membiarkan cahaya bulan yang samar masuk dan menyorot wajahnya yang pucat.

Di pangkuannya, sebuah album foto kecil terlihat.

Jari-jari Elara menyusuri lembar demi lembar gambar dirinya bersama Nathan, senyum mereka dulu, genggaman tangan, bahkan foto sederhana ketika mereka berdua makan malam di dapur apartemen kecil yang dulu terasa hangat.

Elara terisak.

“Kenapa harus seperti, Tuhan? Aku masih sangat mencintai Nathan. Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik, aku rela melalukan apapun demi dia, tapi kenapa harus berakhir seperti ini?” gumam Elara.

Suara tangisnya pecah lagi. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, tubuhnya berguncang menahan perasaan yang tak tertampung.

Di luar kamar, Irish berdiri terpaku di depan pintu.

Wanita tua itu sebenarnya hendak masuk, membawakan secangkir susu hangat untuk cucunya. Tangannya sudah memutar gagang pintu pelan, lalu celah pintu terbuka sedikit.

Dari sana, ia bisa melihat Elara menangis sambil menggenggam album foto itu.

Irish menahan napas, matanya ikut berkaca-kaca. Hatinya sakit melihat cucunya hancur seperti itu.

Namun ia tahu, ada kalanya luka harus dihadapi sendiri dulu sebelum orang lain bisa masuk menguatkan. Perlahan, Irish menutup kembali pintu, membiarkan Elara dengan dunianya malam itu.

Namun langkah Irish tak langsung pergi. Ia bersandar di dinding dekat pintu, menutup mata sebentar.

“Ya Tuhan, aku hanya ingin Elara kembali bangkit. Jangan biarkan hatinya hancur terlalu dalam.” ucap Irish.

Di dalam kamar, Elara masih bicara dengan dirinya sendiri. Suaranya bergetar, tapi jelas terdengar putus asa.

“Sepertinya aku yang bodoh, Nathan. Aku percaya kau akan menjagaku. Aku percaya kita bisa selamanya. Tapi ternyata, aku salah. Aku hanya istri yang tidak pernah cukup buatmu.” ucap Elara.

Ia menatap fotonya bersama Nathan sekali lagi, lalu meremasnya hingga hampir sobek.

Tapi seketika itu juga, ia menarik tangannya, memeluk foto itu erat-erat di dadanya.

“Aku membencimu, tapi aku jauh dari segala kata benci , aku tetap mencintaimu. Kenapa harus serumit ini?” isak Elara.

Air matanya mengalir tanpa henti, membasahi bantal yang akhirnya ia peluk. Elara terbaring miring, matanya menatap kosong ke arah jendela.

“Apa aku bisa hidup tanpa Nathan? Apa aku bisa?” gumamnya lirih, meski ia tahu tidak ada yang mendengar.

Di luar kamar, Irish masih berdiri. Suara Elara samar terdengar. Ia menutup mulut dengan tangan gemetar, menahan tangisnya sendiri.

Akhirnya ia berbisik pelan, seakan mengirim suara melewati pintu kayu itu.

“Elara, sayang, kau pasti bisa. Kau lebih kuat dari yang kau kira. Jangan membiarkan seorang pria yang buta hatinya merenggut cahaya hidupmu. Grandma selalu di sini, selalu.” ucap Irish dengan suaranya yang kecil sekali.

Lalu Irish melangkah pergi ke kamar miliknya.

***

Keesokan paginya.

Cahaya matahari perlahan menyelinap masuk lewat celah tirai, menerangi kamar yang semalam penuh tangisan.

Elara masih terbaring di ranjangnya, matanya sembab, pipinya basah karena air mata yang tak berhenti sampai ia tertidur.

Album foto semalam masih tergeletak di sampingnya, terbuka pada halaman di mana Nathan tersenyum sambil merangkulnya, tapi itu cerita lama.

Ketukan pelan terdengar di pintu.

“Elara, sayang, boleh Grandma masuk?” suara Irish lembut.

Elara menghela napas berat, tidak menjawab. Ia hanya membalikkan tubuhnya membelakangi pintu. Namun, Irish tidak menyerah.

Perlahan pintu dibuka, dan wanita tua itu masuk sambil membawa nampan berisi segelas susu hangat, roti, dan buah potong.

Irish meletakkannya di meja kecil di sisi ranjang, lalu duduk di tepi ranjang cucunya. Ia menatap wajah Elara yang masih enggan menoleh.

“Elara, kau harus makan sedikit. Seharian kemarin kau tidak makan apapun. Kalau kau terus begitu, tubuhmu sakit, sayang.” ucap Irish.

Suara Irish membuat hati Elara bergetar. Perlahan ia membuka mata, tapi tetap tak menoleh.

“Aku masih belum lapar, Grandma.” ucap Elara membalas.

Irish mengusap punggung cucunya pelan.

“Kalau bukan buat dirimu, lakukan untukku. Aku tidak sanggup melihatmu jatuh sakit, Elara.” ucap Irish.

Elara akhirnya berbalik, menatap wajah Irish dengan mata bengkak.

“Kenapa, Grandma? Kenapa dia bersikap seperti ini padaku? Aku mencintainya sekuat yang aku bisa.” suaranya pecah lagi, lalu ia menutup wajah dengan kedua tangan.

Irish menarik cucunya ke dalam dekapannya.

“Sssttt, sudah, sayang. Jangan salahkan dirimu. Kau mencintai dengan tulus, itu bukan kesalahan. Kalau dia tidak bisa melihat ketulusanmu, berarti dia yang buta, bukan kau Elara.” ucap Irish.

“Tapi…aku takut, Grandma,” Elara berbisik di pelukan itu. “Takut kalau aku tidak akan pernah dicintai lagi seperti aku mencintai dia.” ucap Elara terisak.

Irish tersenyum kecil, meski matanya berkaca-kaca.

“Kau lupa siapa yang paling dulu mencintaimu? Aku. Sejak kau bayi sampai sekarang. Dan percayalah, di luar sana masih ada cinta yang jauh lebih tulus menunggumu. Tuhan tidak pernah tidur.” ucap Irish menenangkan.

Elara terdiam, menatap wajah keriput Grandma nya itu. Ada ketenangan yang perlahan merayap ke hatinya.

“Grandma…” ia menggenggam tangan Irish erat. “Kalau aku sudah benar-benar berpisah dari Nathan, boleh kan aku tetap di sini, bersama Grandma?” tanya Elara.

Irish tersenyum haru, mencium kening Elara.

“Kau tidak akan pernah sendirian, sayang. Rumah ini selalu jadi rumahmu. Aku akan selalu jadi tempat pulangmu.” ucap Irish.

Air mata kembali mengalir, tapi kali ini terasa lebih ringan. Elara memeluk Grandma nya erat-erat, seolah takut kehilangan satu-satunya orang yang tersisa dalam hidupnya.

Irish menepuk lembut punggung cucunya.

“Ayo, sekarang makan sedikit. Kita mulai hari ini bersama-sama, ya. Setiap luka butuh waktu untuk sembuh, tapi kau tidak akan menjalani itu sendirian.” ucap Irish.

Elara mengangguk pelan, lalu bangkit dengan bantuan Irish. Suasana pagi itu masih terasa berat, tapi ada sedikit cahaya harapan yang muncul di hati Elara, karena ia tahu, masih ada cinta yang tidak pernah meninggalkannya.

Tentu semua berasal dari Irish.

**

Beberapa hari setelah malam penuh tangisan itu, Elara mulai menemukan titik baru di rumah kecil yang ditempati bersama Irish.

Hidupnya sederhana, berbeda jauh dari kehidupan ketika bersama Nathan, tetapi justru kehangatan itulah yang membuat hatinya perlahan terobati.

Pagi-pagi sekali, Irish sudah biasa duduk di dapur, menyalakan kompor tua, menyiapkan sarapan sederhana berupa bubur gandum atau roti panggang.

Elara sering kali datang dengan rambut masih acak-acakan, wajah lelah, namun ada usaha kecil untuk tersenyum.

“Pagi, Grandma.” ucap Elara suatu pagi sambil menarik kursi.

Irish menoleh, tersenyum hangat.

“Pagi, sayang. Duduk, bubur hampir matang. Kau mau teh atau susu?” tanya Irish.

Elara menarik napas, tersenyum tipis.

“Teh aja, itu cukup segar.” ucap Elara.

Irish menuangkan teh hangat ke dalam cangkir, lalu meletakkannya di hadapan Elara.

“Kau tahu? Senyummu pagi ini lebih manis daripada gula. Itu tanda kau sudah lebih baik.” ucap Irish mengajak Elara bercanda.

Elara terkekeh kecil, mengaduk tehnya.

“Mungkin karena aku kelelahan menangis terus, Grandma. Air mataku kini hampir habis.” balas Elara juga tersenyum.

Irish tertawa lembut, mengusap tangan cucunya.

“Air mata itu bukan tanda kelemahan, Elara. Itu tanda kau punya hati yang hidup. Jangan malu menangis, tapi jangan biarkan itu menenggelamkan mu.” ucap Irish.

Hari demi hari, Irish selalu menemukan cara kecil untuk menguatkan cucunya. Kadang dengan mengajaknya berjalan ke taman dekat rumah, sekadar menikmati udara segar. Kadang dengan menceritakan masa mudanya yang penuh perjuangan.

Suatu sore, saat mereka duduk di teras rumah sambil menikmati angin, Irish tiba-tiba berkata.

“Elara, dulu aku juga pernah merasa dunia ini kejam. Waktu Grandpa mu meninggal, aku kira hidupku selesai. Tapi lihat? Aku masih di sini, dan Tuhan memberiku alasan untuk terus hidup, yaitu kau.” ucap Irish.

Elara menoleh, matanya berkaca-kaca.

“Grandma, aku takut sendirian setelah semua ini selesai. Setelah perceraian itu benar-benar terjadi.” ungkap Elara.

Irish menggenggam tangan cucunya erat.

“Kamu tidak sendirian, sayang. Aku ada. Tuhan ada. Dan percayalah, ketika satu pintu tertutup, pintu lain akan terbuka. Kau hanya perlu sabar menunggu, kebahagiaan pasti ada.” ucap Irish.

Elara diam sejenak, menatap langit sore yang mulai memerah.

“Aku ingin kuat, Grandma. Aku tak mau saat nanti di depan hakim, aku terlihat hancur. Aku mau tunjukkan kalau aku bisa berdiri meski tanpa Nathan.” lanjut Elara.

Irish tersenyum bangga.

“Itu baru cucu Grandma. Ingat, harga dirimu tidak bergantung pada dia. Kau berharga karena dirimu sendiri.” ucap Irish lagi.

Malam-malam mereka pun penuh percakapan sederhana. Kadang Irish menemani Elara membaca buku, kadang hanya duduk bersama di ruang keluarga sambil menonton acara televisi yang kadang membosankan.

Namun kehadiran Irish membuat rumah kecil itu terasa hangat.

Suatu malam, Elara berkata pelan.

“Grandma, kalau nanti aku benar-benar resmi bercerai, apa aku bisa mulai dari nol lagi?” tanya Elara.

Irish menatap matanya lekat.

“Tentu saja bisa. Kau masih muda, masih punya banyak jalan. Perceraian bukan akhir hidup, Elara. Itu hanya akhir dari satu bab, dan awal dari bab baru yang bisa kau tulis lebih indah.” ucap Irish meyakinkan.

Elara tersenyum tipis, lalu memeluk Irish erat.

“Terima kasih, Grandma. Kalau bukan karena Grandma, mungkin aku udah hancur sepenuhnya.” ucap Elara.

Irish menepuk punggung cucunya.

“Kau kuat, sayang. Kau hanya butuh diingatkan.” balas Irish.

Hari-hari itu berjalan dengan sederhana, sarapan bersama, pergi ke pasar, berjalan ke taman.

Nyatanya setiap momen kecil bersama Irish adalah batu pijakan yang perlahan membuat Elara bangkit. Ia mulai bisa tertawa kecil, mulai bisa tersenyum, meski luka di hatinya belum benar-benar sembuh.

Dan jauh di dalam dirinya, Elara tahu, ketika hari perceraian itu tiba, ia akan lebih siap, karena ia tidak lagi sendirian.

"Setelah bercerai, aku akan mencari pekerjaan yang cocok untukku Grandma. Aku juga punya tabungan untuk kita." ucap Elara.

Irish hanya tersenyum, mengangguk dalam diam.

Bersambung…

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!