BAB 4

Abi malah cengengesan. Begitu sampai depan, Dito memintanya melakukan gerak dasar PBB sesuai tempo yang benar. Kalau mengikuti tempo Laksa yang asal-asalan itu, bisa-bisa barisan paling belakang langsung pingsan dadakan.

"Nah, gini nih contoh gerakan yang benar dan tepat. Temponya sesuai detikan jam. Tak. Tak. Tak.  Selain enak dilihat, yang belakang juga nggak akan takut ngos-ngosan."

"Nah, bener tuh!"

"Laksa, mentang-mentang lo tinggi dan jadi penjuru, plis nyantai aja geraknya. Barisan minion di belakang susah nyamain tempo kalau lo mode prajurit perang kayak gitu," ujar seseorang yang lain.

"That's it!" Dito menjentikkan jarinya dengan senyum mentereng. "Sama seperti yang udah diomongin sama Kak Bian sebelumnya, sesi MPLS kayak gini butuh kerja sama dan kekompakan antar anggota. Yang jadi penjuru jangan seenaknya, yang jadi ekor pun nggak boleh lelet mentang-mentang ketutupan sama depannya."

"Suruh Laksa cobain temponya Abi dulu lah, Kak. Kalau maksa lanjut, yang ada barisan-barisan minion ini pada pingsan semuanya."

"Sesi PBB tetap berlanjut. Laksa biar diajarin secara mandiri sama Kak Abel."

"Ah, itu mah bukan latihan tapi mau pacaran," ejek Abi. "Meleng dikit langsung mojok berdua tuh!"

"Kenapa malah dilempar ke gue?"

"Suara cempreng lo itu nggak akan mampu nembus 29 orang. Daripada kayak tikus kejepit, mending lo urus Laksa aja. Gue tahu lo udah nunggu momen ini sejak lama."

"CIEEEEE~"

"Kak Abel beneran ngejar berondong nih?"

"Kak, MPLS dulu nggak sih? Pacarannya bisa belakangan."

"To, lo beneran semangat banget kalau harus ngejekin gue, ya?"

Meskipun terdengar sebal, aslinya Abel salah tingkah juga.

"Kesempatan bagus nih! Kapan lagi coba semesta mau dukung kesintingan lo?"

"Kak, nitip temen gue, ya. Diajarin loh, bukan malah dipacarin." Abi semakin gencar mengejek sampai-sampai Laksa memberikan death glare padanya.

Death Glare : Tatapan Mematikan

"Berisik ah, Bi. Kalau beneran jadian, yang dapat PJ duluan juga lo."

"CIEEEEE."

"PIW PIW PIW."

Laksa mendengus. "Emang nggak ada yang waras."

"Keluar dari barisan sebelum dipelototin sama Bian. Gue lagi nggak mood adu mulut sama dia."

Abel membawa Laksa pada sudut lapangan yang tidak begitu terjangkau orang-orang. Bukan karena modus, tapi dikeluarkan dari barisan pasti agak menyentil harga dirinya juga.

"Lo udah pernah ikut PBB sebelumnya?"

"Nggak minat juga."

"Sebenarnya secara patah-patah atau pemberian beban udah oke banget, cuma tempo lo agak sedikit kecepetan."

"Gue denger omongannya Dito."

"Berhubung udah denger omongan Dito, ini saatnya buat praktik sama gue. Kalau berhasil samain tempo sama yang lain, nanti gue kasih hadiah deh."

"Gue bukan anak kecil."

"Emang yang boleh dikasih hadiah cuma anak kecil doang? Manusia-manusia keren juga butuh diapresiasi lho."

"Kasih poin minus aja."

"Anak gugusnya Abel Kalula nggak boleh pantang menyerah kayak gini. Coba dulu. Mumpung cuma berdua nih, sekalipun lo salah-salah terus juga nggak akan dimarahin sama yang lain. Gue penjurunya, lo yang ngikutin tempo dari gue. Oke?"

"Cepetan."

Abel memulai dengan gerakan jalan di tempat. Pelan, pasti, tertata dan rapi. Laksa masih agak kesusahan karena perbedaan tinggi keduanya.

"Nikmatin temponya. Kiri. Kiri. Kiri. Ikutin intruksi gue. Kiri. Kiri. Kiri. Atur posisi jatuhnya kaki, jangan ke depan atau ke belakang, tetap di tempat biar barisannya enggak belak-belok."

"Temponya masih kecepatan tapi udah agak mendingan. Kiri. Kiri. Kiri. Lihat telapak tangan gue. Samain tinggi kaki lo sama tangan gue biar gerakannya sesuai rata-rata air. Kiri. Kiri. Bagus. Makin nikmatin temponya."

"Yak, makin bagus gerakannya. Dilambatin dikit, samain sama tempo kaki gue. Kalau masih kesusahan, hitung dalam hati sesuai detik jam. Nggak usah buru-buru, kita nggak lagi kejar-kejaran sama waktu. Kiri. Kiri. Kiri. Selama gerakan lo rata-rata air, pasti temponya bakalan sama persis kayak yang lain. Kiri. Kiri. Kiri. Bagus. Keren progressnya."

Setelah mencoba beberapa kali, Laksa berhasil menyamakan tempo meskipun harus dilatih lebih lama lagi.

"Lo tahu nggak, kenapa jadi penjuru peleton itu susah?"

"Ribet."

"Bener. Ribet. Selain jadi anggota paling tinggi, penjuru juga bertugas menentukan tempo gerakan serta kerapian barisan. Jadi gimana visualisasi peleton tergantung sama penjuru selain kekompakan antar anggota."

"Gue nggak mau jadi penjuru."

"Emang nggak. Tapi proporsi badan lo yang senderable ini bikin lo harus ambil peran itu sekalipun nggak mau. Lagian jadi penjuru tuh keren tau."

"Gue bukan anak kecil yang sekalinya diiming-imingi permen bakal langsung luluh."

"Gue, 'kan, udah bilang kalau lo lebih cocok jadi bapak dari anak-anak gue ketimbang jadi anak-anak yang selalu lo keluhkan itu. Jadi, ayo dinaikin lagi semangatnya. Bisa kok. Buktinya latihan beberapa kali udah kelihatan progresnya. Bentar lagi pasti bisa gabung sama yang lain lagi."

Laksa melengos dengan dengusan kecil. Merasa jika omongan Abel hanya bualan manis semata.

"Peleton extraordinary punya kita nunggu lo buat jadi penjurunya loh. Yuk, kita latihan lagi."

Abel mengulurkan tangan dengan senyum hangat, berusaha membujuk dengan senyum di wajahnya.

"Yuk?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!