BAB 3

"Hoaaaaaaammmm!"

Abel merenggangkan otot sembari menguap lebar. Gara-gara ultimatum Bian semalam, ia jadi harus bangun kelewat pagi demi nongkrong di depan gerbang. Tujuannya hanya untuk mengecek perlengkapan anak gugus masing-masing, tapi kok ya harus menyiksa diri seperti ini?

"Kayaknya yang bakal kena hukum Bian gue deh, Jan."

"Kenapa gitu?"

"Lo lihat aja gimana bentukan gue sekarang. Lemas dan tidak bertenaga, pucat dan kurang asupan nasi kuning favorit kita semua. Yakin deh, jangankan kasih komando PBB buat anak-anak, mau teriakin yel-yel aja kayaknya suara gue kagak nyampe."

"Halah pret! Ntar kalau udah lihat si Laksa juga ijo lagi itu mata."

"Ett, jangan meremehkan rasa ngantuk gue dong! Gini-gini gue sempet bikin bekel meskipun ujungnya malah diusir dari dapur."

"Bikin huru-hara apalagi lo?"

"Mau goreng endog tapi endognya diceplok duluan sebelum minyaknya masuk wajan."

"Emang buduhi!"

Sama seperti dugaan Anjani, semangat Abel seketika berubah jadi semangat 45 setelah Laksa datang. Cowok bermata sipit itu mendekat sembari mengemut permen. Satu hal yang pasti, aroma citrus menguar kuat dari tubuhnya. Abel, 'kan, jadi pengen deket-deket biar matanya melek terus.

"Selamat Pagiiiiiii."

"Pagi."

"Mulai ganjen dah tuh. Kata gue juga apa? Melek, 'kan, matanya kalau udah lihat Laksa."

"Namanya juga ketemu sama ayang, Jan. Kalau mata nggak ngejreng pasti bibir reflek senyam-senyum. Dah hafal banget gue sama kebiasaan si Abel takobel-kobel. Curiga banget bentar lagi kita tumpengan," ujar Dito.

"Et, suka bener kalau ngomong. Ntar, ye, gue ajakin kalian tumpengan tapi pake tumpeng mainan."

"Dih, pelit."

Laksa yang masih tertahan, akhirnya protes juga. Dengan tangan terselip di kantong celana, dia pandangi Abel dengan alis naik sebelah.

"Udah belum ngocehnya? Gue mau lewat."

"Aww. Jangan main lewat-lewat gitu aja dong, minimal ceritain dulu tadi udah sarapan pakai apa. Kakak Abel, 'kan, penasaran sama kebiasaannya Megantara Laksa."

"Gue baru tau jadi pembimbing gugus harus sekepo itu."

"Itu mah bukan kepo, Lak. Tapi modus doang. Jawab gih, takutnya anak dia jadi ileran setelah lahir nanti." Anjani jadi tertawa karena celotehan Dito. Memang sama-sama gila, jadi maklum saja kalau kebiasaannya suka asbun.

"Dikiranya gue hamil!" 

Abel mendengus, tak urung tetap mengangkat kepala untuk berhadapan dengan Laksa. Yah, namanya juga botol yakult vs menara sutet.

"Bawa perlengkapan apa?"

"Kayak ketentuan OSIS."

"Coba gue cek dulu. Jangan sampai ada yang ketinggalan terus kena hukum sama anak OSIS. Gugus kita udah ditandain gara-gara lo ngobrol sendiri sama Abi kemarin. Jadi jangan bikin masalah lagi."

Laksa mendengus. Pada akhirnya ia tetap membuka isi tasnya sekalipun dengan wajah datar. Tidak suka saja jika barang pribadinya disentuh-sentuh oleh orang lain apalagi bentukannya kayak si Abel Kalula.

"Ih, pinter banget nggak ada yang ketinggalan. Langka nih cowok yang bisa dengerin instruksi kayak lo begini."

"Kalau langka, langsung masukin penangkaran aja, Bel."

"Apa sih, Dito? Ikut campur banget soal urusan rumah tangga orang lain. Aku nggak suka, ya, lihatnya."

Dito langsung geleng-geleng. "Emang stres."

"Ke mana aja, Dit? Kok baru nyadar sekarang?" tanya Anjani.

"Gue kira nggak sesinting ini."

"Enak aja dikatain sinting sama biangnya sinting."

"Udah belom?" tanya Laksa. Muak juga kelamaan ada di antara mereka.

Abel mengangguk sok-sokan menggemaskan. "Tapi ada satu sih yang belom."

"Pa'an?"

"Gandengan sama lo di pelaminan."

"Masih jam segini, mabok kecubungnya nanti dulu."

"Oh, bilang aja kalau lo kepengen ketemu sama gue lagi. Ya, elah. Baru hari kedua nih, Bos, masa udah mau bikin kisah kasih di sekolah aja? Buru-buru amat, mau ke mana sih?"

Laksa langsung melirik Dito. "Kandangin temen lo. Kayaknya dia beneran sinting."

"Perawat RSJ juga angkat tangan kalau bentukan pasiennya kayak dia. Apalah gue yang anak baik tampan dan bersahaja ini?"

"HUEKK!"

"Mending lo masuk, Lak. Udah nggak ada yang bener di sini," ujar Anjani.

"Gue juga masih waras buat nggak ikut sinting sama kalian," gerutunya dengan langkah lebar.

Sekilas, Abel pandangi punggung lebar Laksa dengan senyum mengembang. Takjub? Pasti. Tapi lebih dari itu, dia jadi kepengen nyender di sana untuk waktu yang lama. Pasti empuk dan menenangkan banget deh.

"Oy, Kak. Perlengkapan gue perlu dicek juga nggak nih? Lihatin punggung temen gue mulu," ujar Abi yang entah sejak kapan sudah berdiri di hadapan mereka bertiga. Dia bahkan sempat ikut-ikutan memandangi Laksa juga.

"Eh, ada anak gugus gue yang gantengnya nomer dua. Selamat pagi, Fabian Dhanunendra."

Abi geleng-geleng tidak percaya. "Bau-bau mau deketin buat dapetin temen gue, ada banget nih. Curiga banget bentar lagi bakal dijadiin kambing congek."

"Emang Laksa masih jomblo?" tanya Anjani.

"Nggak tau sih. Gue cuma ngarang aja biar temen lo tambah kegirangan."

"Rese lu!" maki Abel.

"Jyakh, udah berharap, ya?" Abi menunjuk Abel dengan wajah tengil. "Sebenarnya bisa-bisa aja sih, tapi mungkin aja seleranya Laksa bukan lo."

"Emang seleranya Laksa yang kayak gimana?"

"Yang agak warasan dikit, misalnya. Btw, kaos kaki lo tinggi sebelah, Kak. Dan dengan cuaca yang bakal cerah bersinar ini, kayaknya parfum lo bakal matiin orang lain deh. Nyegrak banget soalnya."

"Hah?"

Abi melambai dengan senyum mentereng—setengah ngakak. Begitu dia berlalu, Dito dan Anjani mulai mengendus-endus.

"Buset! Kembang tujuh rupa juga kalah semerbak ama bau parfum lo, Bel." 

Meskipun katanya semerbak, Dito tetap menjepit hidungnya juga. Sekarang mulai menggeser posisinya pelan-pelan, ternyata bau yang sedari tadi mengganggu penciuman berasal dari kawan sintingnya ini.

"Bel, kayaknya lo perlu mandi ulang deh."

Abel tersenyum tipis. Dia hampir menangis. "Emang sebau itu, ya?"

"Nyegrak banget woelah. Jangankan Laksa, gue sama Dito aja udah kepengen muntah darat. Kalau deket-deket sama lo waktu cuaca terik, kayaknya gue bakal pingsan deh, Bel. Jauh-jauh dari gue, ya?"

"JANIII, GUE HARUS GIMANAAA??"

Matahari menyingsing semakin tinggi, para siswa baru juga telah berbaris sesuai gugus masing-masing. Kakak pendamping sendiri, berbaris memanjang di bagian depan, menyisakan Abel yang tengah senggol-senggolan dengan Anjani terkait bau parfum yang aduhaiii, bikin adek pusing, Bang.

"Selamat pagi semuanya," sapa Bian lewat pengeras suara.

"PAGIIII."

"Di hari kedua MPLS ini, kita akan belajar baris-berbaris untuk meningkatkan kedisiplinan. Masing-masing peleton akan berisi 30 orang dengan dua kakak pendamping. Selama proses PBB dimohon untuk mematuhi peraturan yang berlaku."

Bian sempat mengedarkan pandangan, sebelum menyambung kalimatnya lagi.

"Di antaranya : 1) Dilarang mengobrol di luar sesi istirahat. 2) Pastikan untuk menjaga kekompakan antar peleton. 3) Kurangi menambah gerakan yang tidak perlu. 4) Angkat tangan untuk meminta izin jika ingin bertanya atau melakukan sesuatu. Mengerti?"

"Siap mengerti, Kak!"

"Ada yang ingin ditanyakan?"

Seorang gadis dari gugus Melati mengangkat tangannya.

"Ya?"

"Anggota tiap peleton ditentukan dengan cara apa?"

"Dua gugus akan digabung menjadi satu, sisanya akan digabung ke gugus lain sesuai jumlah yang ditentukan. Jadi bagi teman-teman yang terpaksa harus berpisah dengan teman satu gugus mohon tetap kooperatif sampai kegiatan PBB selesai."

"Yaaah."

"Untuk sementara waktu, lupakan gugus masing-masing dan melebur bersama teman yang lain. Ingat, yang dibutuhkan di sini bukan hanya kedisiplinan melainkan kekompakan juga."

"Baik, Kak."

"Mohon untuk Kak Dito dan kakak-kakak yang lain segera menuju ke peleton masing-masing."

"SIAP!"

"Sana langsung samperin si Laksa. Katanya mau jadi penjual krayon buat mewarnai hari-hari dia ke depannya?"

"Jan, lo jangan rese dulu dong! Gue udah kepalang malu nih."

Anjani kembali cekikikan. "Lagian, siapa yang nyuruh lo buat nyemprot parfum segitu banyaknya sih? Srot srot dua kali juga udah wangi."

"Tadi baunya nggak kecium, makanya gue tambahin tiga kali lagi." Abel menunduk dengan bibir mengerucut sedih. "Pantesan muka Laksa langsung kelihatan nggak enak, ternyata karena hampir keracunan sama bau parfum gue. Ilfeel nggak, ya, dianya?"

"Heh, lu beneran mau caperin Laksa, ya?"

"Kenapa emangnya? Lo naksir Laksa juga?"

"Ganteng sih, tapi buat lo aja. Toh, sekalipun gue ngalah, dia juga belum tentu suka sama lo juga."

"Kampret! Mematahkan hati kecil gue banget lu."

"Ahahaha. Dah, ya, gue cabut dulu. Selamat pacaran sama si Dito sinting. Bye-bye, Hooman!"

Abel mendengus. "Gue do'ain lo jadi ngejar-ngejar Abi."

Sebagai seorang manusia tinggi jangkung, pergerakan Laksa jadi lebih mudah tertangkap mata orang lain. Perbedaan jatuhnya kaki juga sedikit lebih cepat, Dito jadi harus ekstra mengawasi kalau tidak mau membuat gerakan peletonnya jadi berantakan.

"Henti, grak!"

Dengan tangan tersilang di depan dada, Dito memindai proporsi tubuh Laksa selama beberapa kali. Itu pun disertai decakan kecil sebelum mengambil posisi duduk.

"Abi, maju, Bi."

"Mau disuruh ngapain nih?"

"Silat."

"Yah, gue bisanya kungfu doang nih. Kungfu panda."

"Maju dulu elah, belum apa-apa udah ngoceh aja lu."

"Jangan apa-apain gue lah, Bang."

"Fabian Dhanunendra!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!