3. Ketemu calon mantu.

Memang sudah jadi kebiasan Umi Salimah wajahnya memang sedikit judes, namu hatinya baik, tutur katanya juga sebenarnya lemah lembut jika di beberapa orang yang menurut dirinya serek saja.

Setelah selesai pelajaran Zakia dan Melani keluar dari ruangan madrasah Diniah, kebetulan mereka berpapasan denga Bu nyai mereka, Nyai Salimah.

"Bu Nyai..." Melani dan Zakia menyalami Umi Salimah.

"Kalian baru saja selesai pelajaran?" ujar Umi Salimah sembari tersenyum tipis.

"Iya ... Umi." Suara lembut Zakia membuat Umi Salimah nampak kagum, sorot matanya nampak ranum, menunduk penuh sopan santun saat berhadapan dengan Bu Nyai mereka.

"yah sudah kami masuk dulu yah Umi, mari Umi." Ujar Zakia berpamitan pada Umi Salimah. karena mereka mau masuk ke gedung kamarnya.

"Iyah monggo silahkan ..." Umi Salimah terseyum tipis, niatnya kali ini benar benar matang akan menjodohkan Zakia dan Gus Kais.

"Pokoknya Zakia harus jadi mantu ku." Umi Salimah tersenyum tipis.

Sementara itu di rungan rapat Kantor Diniah, Kiyai Syarif nampaknya sedang memimpin rapat tersebut.

"Bagimana apakah kalian setuju gajih di naikan tapi jam pelajaran kalian mengajar di perpanjang dari dua jam menjadi tiga jam?" Kiya Syarif menatap para Ustadz di ruangan itu.

"Kenapa harus di perpanjang Kiyai?" Ucap Samsudin nampaknya merasa tidak bisa jika harus tambah jam kerja meskipun gajih mereka di tambahkan.

"Karena kita kekurangan Ustadz Samsudin. Hanya ada lima Ustadz disini, sedangkan ada delapan kelas jadi maksud saya yang satu jam itu di bagi menjadi kelas sore, jadi ada yang memasuki kelas sehabis Ashar ada juga yang masuk kelas habis Dzuhur"

Para Ustadz tentunya saling bertukar pendapat, karena yang seharusnya tambah dua atau satu Ustadz lagi malah harus menambah jam mengajar

"Kenapa tidak putra Kiyai saja yang turut andil mengajar di pesantren ini, lagi pula Gus Kais kan lulusan Cairo jadi para murid nantinya akan mendapatkan mata pelajaran baru." Usul Samsudin karena nampak nya ia yang paling keberatan, sebab dirinya biasanya sehabis mengajar akan LIVE di Aplikasi disana ia berjualan Baju Muslim dan Sarung.

Kiyai Syarif hanya bisa menarik nafas dalam, usul Samsudin ada benarnya juga. tapi jikalau saja Gus Kais mau mengajar mungkin sudah dari dua tahun lalu setelah ia baru saja lulus menempuh pendidikan keduanya di Kairo.

"Soal itu sudah saya pikirkan anak-anak, jadi kalian tidak perlu risau, lagi pula pergantian jam kerja ini akan ganti gantian, tidak setiap hari hanya Ustadz itu itu saja. nantinya kalian bakalan dapat gilirannya." Kiyai Syarif menyilangkan tangan.

"Yah sudah rapat ini saya tutup, Assalamualaikum..." Kiyai Syarif yang merasa pening langsung keluar dari ruangan rapat

Belum lagi nanti jika di rumah ia akan tambah pusing kalau berhadapan dengan anak laki-laki, satu'satunya itu.

"Assalamualaikum Umi." Abah yang baru saja pulang dari rapat Diniah, nampak menyapa Umi Salimah yang sedang duduk di kursi rotan depan rumah nya.

"Waalaikumsalam Abah. Abah kenapa wajah nya di tekuk begitu?" Ucap Umi Salimah menyalami tangan suaminya yang wajah tuanya nampak terlihat tidak mood.

"Kesel aja Umi, Ustadz Samsudin nampaknya ngak mau tambah jam kerja padahal Abah sudah tambahan gajih mereka tapi mereka kayanya sedikit sungkan."

"Abah yang sabar Ustadz Samsudin memang tidak salah Abah, karena jam kerja mengajar para santri kan segitu, yang seharusnya tambah Ustadz saja. tapi kayanya belum ada santri yang sudah mumpuni Abah semuanya masih Sanawiah, Umi juga sebenarnya bingung Abah. karena yang seharusnya mengajar adalah anak kita, tapi ia malah nampaknya hanya sibuk dengan dunianya sendiri." Umi nampak sedih menatap ke arah suaminya.

"Iya Umi, Umi yang sabar yah, mungkin ini juga ujian buat kita Umi." Abah mengusap lembut tangan istrinya, meskipun sudah berumah tangga selama tiga puluh satu tahun tapi mereka tetap masih harmonis.

"Tidak Abah, kali ini kita ngak boleh sabar, umur Kais sudah mau tiga puluh tahun, kita harus lebih keras lagi mendidik nya Abah. apalagi Umi bener-bener ngak suka sama pacaran nya Kais. Dia benar-benar tidak punya sopan santun." Umi menyipitkan matanya mengingat kejadian tadi di meja makan.

"Pokok nya secepatnya Umi akan menjodohkan Kais, Abah. Umi takut Kais tersesat dan salah jalan."

"Memang nya Umi sudah ada calon nya?" Abah Syarif menarik nafas berat, karena entah siapa sebenarnya perempuan yang akan di nikahan dengan anaknya itu.

"Zakia Amrita, Abah. Umi yakin ia mampu merubah sifat Kais. Umi yakin sekali Abah."

Dibalik keyakinan Umi Salimah. ada Abah yang melongo karena tidak percaya Kais akan di nikahan dengan Santri Wati yang umurnya sangat jauh dengan anaknya.

"Umi yakin, Zakia akan mau dengan Kais?" Abah menatap Umi Salimah ragu.

"Secepatnya lebih baik Abah. agar wanita itu tahu diri dan tidak mendekati anak kita lagi." mata Umi Salimah menatap nyalang penuh harap dengan keyakinan nya.

.

.

Didalam kamar yang sunyi setiap malam Zakia selalu menangis saat Melani sudah terjaga.

"Ibuk, Bapak aku rindu." tangan Zakia mendekap foto kedua orang tuanya di dadanya.

Sejak umur sepuluh tahun kehidupan Zakia sudah terlalu pahit karena kedua orang tuanya Meningal dunia, Zakia hidup bersama Pakde dan Bude nya di Salatiga.

Sejak itulah Zakia di paksa dewasa oleh keadaan. karena Budenya sering marah jika Zakia tidak membantu pekerjaan rumah, bahkan setiap pulang sekolah Zakia langsung berjualan Kue, karena jika tidak Bude nya akan marah. bahkan ia tidak sampai menempuh pendidikan SMP karena setelah itu ia harus jaga toko membantu keuangan Bude dan Pakde nya.

"Boleh ngak jumpa sebentara saja, meskipun hanya dalam mimpi." Zakia mengusap lembut wajah kedua orang tuanya di foto.

Jemari lentiknya basah saat air mata kembali menetes, karena kerinduan itu begitu mendalam. sekarang usinya sudah menginjak delapan belas tahun.

Bahkan Zakia bisa masuk ke pesantren Al-Munawar. saja karena mendapatkan Beasiswa dari Guru mengaji nya di kampung.

Saat Zakia dinyatakan mendapatkan Beasiswa, Bude dan Pakde nya nampak senang. karena mereka menganggap Zakia adalah beban untuk mereka, padahal sejak tujuh tahun hidup bersama Pakde dan Bude nya, Zakia tidak menjadi beban karena ia yang membantu ekonomi mereka, bahkan kedua sepupunya bisa melanjutkan sekolah SMP itu juga karena Zakia turut membantu dari hasil ia kerja jaga toko.

"Hidup ini berat banget Bapak, Ibu. boleh tidak Zakia menyerah saja." suaranya sampai terdengar paruh.

Ia menangis meratapi nasibnya yang malang, kehidupan pahit sejak kecil sudah ia rasakan, dan di balik senyum ceria nya setiap hari, sebenarnya ia menyimpan luka yang cukup dalam, meskipun dekat dengan Melani. tapi Zakia tidak terlalu bercerita soal masalah pribadi.

Terpopuler

Comments

vj'z tri

vj'z tri

umi fans berat kia 🤭🤭🤭🤭🤭

2025-10-04

0

Wang Lee

Wang Lee

Lanjut

2025-09-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!