Mereka terus berjalan sampai akhirnya di ujung lorong mall, sebuah suara ramai terdengar.
“Eh, itu Elvan sama Elvi, ya?” bisik Tiny, menyipitkan mata.
Benar saja—dua anak kembar beda gender yang berusia satu tahun itu sedang berlarian kecil sambil tertawa keras. Salah satu dari mereka menabrak kaki Tiny.
“Eh, bocil!” seru Tiny, tertawa sambil memegangi si kecil.
Tak lama, muncullah Gery dan Alicia, berjalan tergesa menyusul si kembar.
Tiny langsung menyapa, “Kak, ke sini juga?”
Gery yang lebih dulu menjawab dengan ekspresi sok coolnya yang khas, “Iya. Lo nggak nampak?”
Tiny mendelik. “Kan basa-basi,” sahutnya.
Andika yang berdiri di samping Tiny hanya tersenyum kecil, menyaksikan interaksi akrab kakak beradik ipar itu.
Ia lalu mengangguk sopan ke arah Alicia dan tersenyum.
Alicia membalas senyumnya hangat, meski sorot matanya masih setengah mengawasi kedua anaknya.
Gery yang berdiri tak jauh dari mereka, berdehem pelan. Tatapannya tajam ke arah Andika, lalu berpindah ke Alicia. Melihat istrinya membalas senyum pria lain saja sudah cukup membuat alarm posesifnya menyala.
Dengan nada santai tapi mengandung kode, Gery bertanya, “Udah fitting baju, Ndi?”
Andika mengangguk. “Udah. Barusan aja.”
Saat itu juga, Elvan dan Elvi mulai menangis bersamaan. Rupanya saling tarik mainan, dan seperti biasa—tak ada yang mau mengalah.
“Ya ampun... mulai deh,” ucap Alicia panik sambil menunduk ke arah anak-anaknya.
Gery hanya geleng-geleng, lalu berkata cepat pada Andika dan Tiny, “Udah ya, kita duluan. Bocil mode on.”
Alicia hanya sempat melambaikan tangan pelan. “Hati-hati pulangnya.”
“Siap, Kak,” jawab Tiny dengan cengiran lebar.
Setelah kepergian Gery dan Alicia, Tiny dan Andika kembali menyusuri lorong mall yang mulai sepi.
Tiny menoleh ke Andika, lalu berkata dengan nada khasnya, “Ribet banget ya ngurus bocil. Apalagi kembar. Aku baru liat aja udah capek hati.”
Andika terkekeh pelan. “Makanya, kita latih dulu dari boneka.”
Tiny memanyunkan bibirnya, pura-pura ngambek. “Aku nggak mau anakku nanti kayak boneka. Aku maunya... kayak kamu aja.”
Andika terdiam sejenak, lalu menatapnya dalam. “Aku bisa, kok... jadi ayah yang baik.”
Tiny menatap mata pria itu, lalu menggamit lengannya dengan senyum malu-malu. “Aku percaya.”
Tak lama kemudian, Andika menghela napas singkat. “Tiny, yuk ikut aku ke tempat lain. Aku mau tunjukin sesuatu.”
Tiny menaikkan alis. “Kemana? Udah malem, tau.”
“Dekat kok. Lima belas menit dari sini,” jawab Andika kalem. “Ayo ya? Sekalian angin-angin dikit.”
Tiny akhirnya mengangguk. Ia penasaran, dan dalam hatinya selalu saja ada rasa percaya penuh kepada Andika.
°°°°
Langit sudah gelap ketika mobil Andika masuk ke sebuah kawasan elite yang tenang. Pohon-pohon besar berjajar rapi di kanan-kiri jalan. Lampu-lampu taman menyala lembut, memberikan kesan damai.
Mobil berhenti di depan sebuah rumah mungil yang dikelilingi pagar kayu dan tanaman hijau. Desain rumah itu unik—bernuansa alam, dengan sentuhan rustic, banyak jendela besar, dan lampu-lampu kuning hangat yang menyala dari dalam.
Tiny membelalakkan mata. “Ih... ini tempat apa?”
Andika turun duluan, lalu membukakan pintu untuk Tiny. “Ayo turun dulu.”
Tiny turun, masih tak berhenti menatap ke sekeliling. “Aku... suka banget,” bisiknya, masih terpana.
Andika mengeluarkan kunci dari sakunya, lalu membuka pintu kayu mungil itu.
Begitu masuk, aroma kayu dan lavender menyambut mereka. Lantai dari parket, dinding sebagian besar dari jendela kaca lebar, dan langit-langit tinggi dengan lampu gantung berbentuk bola rotan.
Di sudut, ada rak buku kecil, bean bag, dan satu gitar akustik bersandar di dinding.
Andika memandang Tiny sebentar, lalu berkata pelan, “Ini rumah singgah. Tempat aku datang kalau butuh tenang. Tapi sejak kenal kamu, aku ngerasa tempat ini harus punya suara.”
Tiny menoleh cepat, matanya berkaca-kaca. “Kamu... mau tempat ini buat kita berdua?”
Andika mengangguk. “Buat kita. Buat kamu kalau mau nulis lagu, nyanyi, atau... nangis sesekali.”
Tiny tertawa kecil sambil menyeka sudut matanya. “Kok aku jadi terharu sih?”
Andika berjalan ke arah dapur kecil, lalu kembali dengan dua gelas cokelat panas. Ia menyerahkan satu ke Tiny.
Tiny duduk di bean bag, menatap sekeliling. “Ini tempat paling tenang yang pernah aku datangi. Apalagi bareng kamu, hehe.”
Andika ikut duduk di lantai, bersandar di sisi bean bag-nya. “Kalau suatu hari kita butuh kabur sebentar dari dunia... kita ke sini ya.”
Tiny menatap pria di sampingnya. “Janji ya?”
“Janji.”
Di luar, angin malam bergerak pelan, menggoyang dedaunan.
Dan di dalam rumah kayu kecil itu, dua jiwa sedang belajar mengabadikan rasa... Di antara diam, dan percaya.
Andika menyesap cokelat panasnya perlahan. Ia menoleh ke arah Tiny, yang masih menikmati aroma ruangan dan suasana tenang di sekeliling mereka.
Tapi tak lama kemudian, ia berkata lembut, “Keluar yuk. Nggak baik kelamaan berduaan di ruangan kayak gini.”
Tiny spontan menoleh, tersenyum jail. “Kamu takut aku ngegoda kamu ya?”
Andika mengerjap cepat. “Hah?”
Tiny tertawa keras, suaranya yang cempreng memantul lembut di antara dinding kayu. “Bercanda, Sayang. Ya udah, ayok. Jalan lagi gimana?”
“Ke mana?” tanya Andika sambil berdiri, meletakkan gelasnya ke meja kecil.
“Ke tempat pasar jajanan, dong. Yang waktu itu kita beli sate bakar itu lho,” ujar Tiny sambil berdiri juga, matanya berbinar. “Aku pengen jajanan yang pedes-pedes.”
Andika tersenyum. “Ayok. Di sana banyak banget jajanan. Tapi jangan nyari pedes doang. Nanti lambung kamu protes.”
Tiny memonyongkan bibir. “Duh, kamu tuh ya... dari calon suami udah mirip kayak calon dokter. Kan jadinya makin cinta~”
Mereka keluar dari rumah singgah itu. Tiny sempat menoleh sebentar sebelum masuk ke dalam mobil.
Ia berbisik pelan, nyaris tak terdengar, “Nanti aku tulis lagu tentang tempat ini...”
Mereka tertawa—seakan dunia ini hanya milik berdua. Seakan waktu akan selalu bersedia menunggu mereka...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments