Ruangan itu dipenuhi cahaya putih yang lembut. Cermin besar di sisi kanan memantulkan sosok-sosok yang sedang berdiri berhadapan, dikelilingi beberapa hanger berisi gaun dan jas pengantin.
Tiny berdiri di atas podium kecil, mengenakan gaun putih sederhana dengan potongan A-line. Wajahnya berbinar, dan ia memutar pelan tubuhnya di depan cermin.
“Eh, cantik nggak?” tanyanya, meski jelas-jelas sudah tahu jawabannya.
Andika yang sedang merapikan dasi tuxedo di depan cermin lain menoleh sebentar, lalu tersenyum. “Banget.”
Tiny langsung nyengir lebar. “Ih, kamu liatin terus sih. Ntar aku GR loh.”
“Ya memang sengaja biar kamu GR.”
Tiny terkekeh geli. Ia lalu memandang bayangannya sendiri di cermin. Gaun itu tampak pas di tubuh mungilnya. Lengan panjang, detail renda di bagian dada, dan potongan leher berbentuk hati. Tidak berlebihan, tapi tetap manis. Sesuai dengan kepribadiannya.
Penata rias mendekat, memperbaiki bagian pinggang gaunnya. “Ini perlu dikencangkan sedikit ya, Kak Tiny. Biar lebih ngepas.”
“Boleh. Tapi jangan terlalu ketat. Aku mau makan habis ini,” celetuk Tiny cepat.
Andika tertawa. “Jangan bilang kamu udah lapar lagi.”
“Ya iyalah!” Tiny mendengus. “Aku fitting, kamu fitting. Tapi perut aku doang yang bener-bener kerja keras nahan laper.”
Andika menggeleng pelan. Sekilas, ia memandangi Tiny diam-diam lewat pantulan cermin. Tatapan itu... penuh makna.
Sekilas, ia membayangkan hari itu—hari akad nanti. Tiny duduk di pelaminan, tersenyum, memakai gaun seperti ini. Di sampingnya... dirinya. Bersama. Sah.DaAndika menghela napas dalam-dalam. Tak disadari, ada rasa haru yang mulai merayap diam-diam.
Tiny menangkap tatapan itu. “Eh, kamu kenapa sih? Kok jadi melow?”
Andika mengalihkan pandangan sejenak, lalu menjawab pelan, “Nggak apa-apa. Cuma... bahagia aja.”
Tiny menatapnya sebentar. Suaranya lebih pelan kali ini. “Aku juga, Ndi.”
Keduanya kembali diam. Hanya suara gesekan halus kain dan bunyi jarum jahit yang sesekali terdengar.
Saat fitting hampir selesai, Tiny kembali bersuara, kali ini sambil mengayunkan gaunnya pelan. “Nanti kita foto-foto ya. Mumpung lagi pake baju kayak gini. Biar bisa pamer ke anak cucu nanti.”
Andika tersenyum. “Biar mereka tahu mamanya cerewet dari dulu?”
Tiny mencibir, “Biar mereka tahu papanya dulu ganteng. Sekarang juga masih sih, tapi... ya gitu.”
Andika tertawa. Tiny ikut tertawa juga, meski dalam dadanya... ia merasa ini semua terlalu indah. Terlalu hangat. Terlalu lengkap.
Seolah-olah… Kebahagiaan ini terlalu sempurna untuk bertahan lama.
Tiny turun perlahan dari podium, dibantu sang penjahit. Gaunnya sudah dilepas, kini ia mengenakan dress santai berwarna pastel. Wajahnya masih tampak cerah, pipinya memerah karena terlalu sering tertawa tadi.
Ia berjalan menghampiri Andika yang kini duduk di sofa panjang, masih mengenakan setelan jas yang tinggal sedikit lagi pas di tubuhnya.
“Bisa nggak sih kamu jangan ganteng-ganteng banget?” ucap Tiny sembari duduk di sampingnya, menyenderkan kepala di bahu pria itu.
Andika tersenyum simpul. “Aku juga mau bilang gitu ke kamu barusan.”
Tiny tergelak pelan, lalu mengelus dadanya sendiri. “Aduh... jantung aku nggak kuat denger itu. Manis banget.”
Andika hanya memandangi gadis di sampingnya, lalu berkata pelan, “Aku suka banget liat kamu tadi di cermin.”
Tiny mengangkat wajahnya. “Yang pake gaun pengantin tadi?”
Andika mengangguk. “Iya. Rasanya kayak... mimpi yang jadi kenyataan.”
Tiny menatapnya sejenak, sebelum akhirnya berkata pelan, “Kalau mimpi, jangan bangun ya. Aku betah di sini.”
Andika tak menjawab. Hanya meraih tangan Tiny dan menggenggamnya erat. Sentuhan yang mungkin biasa, tapi kali ini terasa lebih dalam.
Seorang staf butik datang menghampiri, membawa dua botol air mineral. Tiny langsung menyambarnya satu.
“Haaah... ini dia penyelamatku. Pantesan pusing. Haus banget ternyata,” ucapnya sambil meneguk cepat.
Andika berkata pelan. “Kamu itu makhluk paling jujur sedunia kalau soal makanan dan minuman.”
Tiny mengangguk santai. “Ya iyalah. Hidup terlalu singkat buat pura-pura kenyang.”
Setelah semuanya beres, keduanya kembali berdiri. Andika membetulkan bagian lengan jasnya, sementara Tiny merapikan poni yang mulai acak-acakan.
“Setelah ini kita ke mana?” tanya Andika.
Tiny berpikir sejenak, lalu menjawab dengan cepat, “Ke tempat makan dong. Aku udah mikir menu apa dari tadi.”
“Padahal baru minum tadi,” cibir Andika.
“Minum mah beda. Itu buat nyelamatin nyawa. Ini buat nyenengin hati,” Tiny menimpali dengan nada sok serius.
Andika tertawa lagi. Entah kenapa, setiap candaan Tiny—meskipun absurd—selalu berhasil membuat dadanya lebih ringan.
Sebelum keluar dari butik, Tiny sempat menatap gaun yang tadi ia kenakan. Tatapannya lembut, agak dalam.
“Semoga aku beneran bisa pake itu di hari H nanti...” gumamnya lirih.
Andika yang berdiri di sampingnya hanya menatap sejenak, lalu meraih jemari Tiny. “Kamu pasti pakai itu. Aku yang dampingin.”
°°°°
Setelah keluar dari butik, langit sudah mulai redup. Sore perlahan berubah menjadi senja. Udara cukup sejuk, cocok untuk berjalan santai berdua.
Tiny menggandeng lengan Andika dengan ringan. “Kita ke mall, yuk? Aku pengen jalan-jalan aja. Cuci mata.”
Andika melirik, tersenyum. “Cuci mata? Emang kamu kotorin di mana?”
Tiny mencibir. “Ih, maksudnya tuh biar refreshing. Otakku tuh udah panas gara-gara fitting, deg-degan, dan lapar semua jadi satu.”
Andika tertawa kecil. “Ya udah, yuk. Aku ikut aja.”
Mereka berdua pun meluncur ke pusat perbelanjaan yang tidak terlalu jauh dari butik. Begitu masuk ke dalam, Tiny langsung menunjukkan antusiasmenya seperti anak kecil diajak ke taman hiburan.
“Liat deh! Toko aksesoris itu lucu banget. Eh eh, itu ada baju yang lucu juga!” Suara Tiny melengking pelan, penuh semangat.
Andika hanya mengikuti dari belakang. Matanya tak pernah jauh dari sosok gadis mungil di depannya yang terus menunjuk-nunjuk sana-sini.
Mereka berhenti di sebuah toko stationery kecil. Tiny langsung masuk, matanya berbinar melihat pulpen warna-warni, buku catatan lucu, dan stiker menggemaskan.
“Aku mau beli ini deh buat nulis lirik,” ujarnya sambil mengangkat buku kecil berwarna ungu muda.
“Udah mulai nulis?” tanya Andika, mendekat.
Tiny mengangguk. “Baru coret-coret dikit sih. Tapi temanya tentang jatuh cinta sama orang yang... awalnya biasa aja, tapi lama-lama bikin candu.”
Andika menaikkan alis. “Kayak kamu ke aku?”
Tiny pura-pura jijik. “YAKH, ge-er banget sih.”
Andika tertawa kecil. “Ya bener, kan?”
Tiny tidak menjawab. Tapi pipinya yang memerah pelan sudah cukup jadi jawaban.
Setelah membeli beberapa barang lucu, mereka melanjutkan jalan ke lantai atas untuk mencari tempat makan. Tiny memilih tempat yang cozy, tidak terlalu ramai, dan punya lighting hangat.
Mereka duduk di dekat jendela kaca, memandang lalu lintas yang mulai padat di luar sana.
Tiny membuka menu dengan mata bersinar. “Aku pesan spaghetti! Sama kentang goreng. Sama es teh manis. Sama—”
“Pelan-pelan,” potong Andika. “Lambung kamu belum tentu seluas daftar pesananmu.”
Tiny nyengir. “Tapi hatiku luas buat kamu.”
Andika terdiam sejenak. Senyumnya pelan, tapi dalam.
“Udah yuk, makan,” ujar Tiny tak sabar sambil menutup menu. “Perut aku udah demo dari tadi.”
Tak butuh waktu lama, makanan datang. Mereka makan sambil sesekali tertawa. Tiny tak henti-henti mengomentari rasa makanan, plating, bahkan sendoknya. Andika hanya mendengarkan, terkadang menimpali. Tapi yang pasti—ia menikmati setiap menit bersama gadis itu.
Setelah selesai makan, mereka tak langsung pulang. Mall masih ramai, dan lampu-lampu di lorong terasa hangat. Tiny kembali menarik tangan Andika, mengajaknya berjalan keliling.
“Liat deh, lucu banget tuh boneka!” katanya, menunjuk etalase toko mainan.
Andika mengikuti arah tunjuknya, lalu mengangguk. “Lucu, kayak kamu.”
Tiny tersipu, tapi menutupinya dengan mendesis pelan. “Duh, gombalan kamu mulai nyelip-nyelip nih.”
Mereka terus berjalan sampai akhirnya di ujung lorong mall, sebuah suara ramai terdengar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments