Aruna duduk termenung di pinggir jendela, menatap langit senja yang mulai memerah. Rindunya pada Rafael begitu dalam. Ia teringat saat-saat di mana Rafael menggenggam tangannya dengan penuh kasih, suara lembutnya yang menguatkan saat dunia terasa berat. Tapi kini, jarak dan waktu memisahkan mereka, meninggalkan ruang kosong yang hanya bisa diisi oleh bayangan dan kenangan.
Setiap kali Aruna merasakan gelisah, ia mengingat pelukan Rafael yang hangat, menenangkan, dan penuh pengertian. Pelukan itu pernah menjadi tempat Aruna melepaskan segala rasa dan menumbuhkan harapan baru. Rindu Aruna kini tak hanya soal ingin bertemu, tapi juga tentang percaya bahwa ada kedamaian menunggu di balik jarak dan waktu ini.
Walau kadang air mata jatuh tanpa bisa ditahan, Aruna menolak untuk larut dalam kesedihan. Ia memilih menulis surat tanpa dikirim, menyimpan kata-kata yang belum sempat terucap, seperti menyulam benang-benang kepercayaan dan kesabaran yang perlahan akan mempererat tali hubungan mereka. Rindu ini, baginya, bukan sekadar kesedihan, tapi juga kekuatan untuk menunggu dan percaya pada apa yang belum terjadi.
Aruna dan Rafael butuh waktu untuk menyembuhkan dan menguatkan diri masing-masing. Hingga saat itu tiba, rindunya akan menjadi teman setia yang mengingatkan betapa berharganya setiap detik yang pernah mereka bagi, dan betapa indahnya masa depan yang akan mereka ciptakan bersama.
Rafael juga merasakan rindu yang begitu dalam pada Aruna. Setiap malam, pikirannya dipenuhi wajah Aruna yang lembut, suaranya yang menenangkan, dan tawa yang selalu bisa membuatnya tersenyum. Dalam kesendirian. Rindunya pada Aruna bukan hanya keinginan bertemu, tapi juga harapan untuk saling menguatkan dan menyembuhkan luka bersama.
Aruna merasa aneh dan gelisah saat melangkah ke rumah sakit jiwa, bertanya-tanya dalam hati apakah ini memang pilihan yang tepat untuknya. Campuran harapan dan ketakutan membuat perasaannya campur aduk. Dia ingin sembuh, tapi takut menghadapi kenyataan yang mungkin ada di depan. Namun, ada sedikit keberanian yang memompa semangatnya maju, karena ini adalah langkah pertama menuju perubahan.
Rafael menggenggam tangan Aruna lembut, menatap matanya dengan penuh cinta, "Percayalah sayang, rumah sakit jiwa ini bukan tempat yang menyeramkan. Di sini, kita akan mendapatkan pengalaman baru, bersama aku, kita lewati semua ini. Aku selalu ada di sisimu, tak peduli apapun yang terjadi."
Aruna duduk tenang, bersandar lembut di bahu Rafael saat mereka menunggu giliran dipanggil dokter. Ruang tunggu sepi dan tidak banyak pasien. Kehadiran Rafael membuat Aruna merasa aman dan nyaman. Meski ada kegelisahan yang mengintip, namun bersama Rafael seolah semua kegelisahan itu menjadi hilang.
Setelah menunggu dengan sabar, akhirnya Aruna dipanggil masuk ke ruangan dokter bersama Rafael. Di sana, suasana terasa hening namun penuh harapan saat mereka mulai berkonsultasi. Dokter menjelaskan dengan lembut bahwa Aruna didiagnosis mengalami anxiety disorder, yaitu gangguan kecemasan yang membuatnya sering merasa cemas berlebihan hingga sulit dikendalikan.
Meski awalnya berat, dokter menjanjikan dukungan dan penanganan yang tepat agar Aruna bisa perlahan pulih dan menjalani hidup lebih tenang. Rafael memegang tangan Aruna erat, memberi semangat bahwa mereka akan menghadapi semuanya bersama-sama.
Aruna duduk terpaku di sudut ruangan, napasnya mulai tersengal, dan jantungnya berdetak tak beraturan seolah mau meloncat keluar dari dadanya. Kecemasan yang selama ini tersembunyi perlahan berubah menjadi gelombang panik yang menggulung dirinya tanpa henti. Matanya menatap kosong ke arah dinding, namun pikirannya berlari liar. Bayangan terburuk, ketakutan tak jelas, dan kekhawatiran yang tak beralasan saling bertabrakan tanpa ampun.
Tangannya gemetar, tubuhnya mulai berkeringat dingin, sementara kepala berdenyut nyeri karena tekanan yang seolah memaksa otaknya untuk berhenti berpikir. Semua suara di sekitar semakin membingungkan, seolah dunia di luar telah memudar menjadi kabut, meninggalkannya terperangkap dalam pusaran kecemasan.
Aruna merasa sensasi sesak yang menekan dada, membuatnya sulit mengambil napas dalam-dalam. Ia mencoba untuk tenang, tapi setiap tarikan napas seakan semakin sulit dan berat. Suara detak jantung yang menghentak di telinganya malah membuatnya makin panik. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tersangkut di tenggorokan. Kepala terasa berputar, pandangan mulai kabur, dan ada rasa lemah yang menjalar hingga ujung jari dan ujung kaki seakan tubuhnya ditarik ke dalam jurang gelap yang tak berujung. Dalam kecamuk pikirannya, Aruna merasa sedang kehilangan kendali penuh atas dirinya sendiri, seperti terjebak dalam ruang sempit tanpa jalan keluar.
Dalam kepanikan itu, ia teringat kata-kata tentang anxiety disorder yang baru saja didiagnosis dokter. Kesadaran bahwa ini adalah kondisi medis membuatnya sedikit sadar, tapi juga menambah beban di dadanya. Bayangan apa jadinya hidup jika ketakutan ini terus menghantui setiap langkahnya? Namun di tengah kegelapan itu, ada secercah harap kecil bahwa dengan dukungan dan penanganan, ia bisa melewati masa sulit ini.
Rafael yang melihat perubahan Aruna dengan cepat meraih tangannya, memberi sentuhan lembut yang seperti mengatakan, "Kamu nggak sendirian." Perlahan, Aruna mencoba menarik napas dalam-dalam sesuai instruksi Rafael, meskipun setiap helaan terasa menantang. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini hanya badai dalam pikirannya dan bahwa ia akan melewatinya. Tapi perasaan gelisah dan ketakutan itu terus menguar, membuatnya merasa rapuh
Momen itu, meski berat dan menakutkan, jadi titik awal bagi Aruna untuk menyadari bahwa anxiety disorder bukanlah sesuatu yang harus ia lawan sendirian. Ia mulai membuka diri pada terapi, latihan relaksasi, dan harapan bahwa perlahan tapi pasti, hidupnya akan kembali seimbang dan damai.
Aruna berjuang melawan anxiety disorder yang sering menyerang tanpa ampun. Awalnya, ia merasa gelisah yang biasa, tapi lama-kelamaan kecemasan itu berubah jadi rasa takut yang menekan sampai sulit bernapas. Saat serangan datang, jantungnya berdetak sangat kencang, tangan dan kakinya gemetar, dan pikirannya dipenuhi bayangan negatif yang membuatnya merasa terisolasi dari dunia.
Namun Aruna tidak mau menyerah. Ia mulai mencari tahu tentang kondisinya dan mencoba berbagai cara untuk mengendalikan dirinya. Salah satu langkah pertamanya adalah belajar mengenali tanda-tanda awal kecemasan agar bisa mengambil nafas dalam dan menenangkan diri sebelum panik melanda. Aruna rutin melakukan latihan pernapasan, yaitu menarik napas dalam empat hitungan, menahan sejenak, lalu menghembuskan perlahan-lahan, yang membantu menurunkan ketegangan dalam tubuhnya.
Selain itu, Aruna juga mencoba terapi kognitif perilaku di mana ia belajar mengubah pikiran-pikiran negatif menjadi lebih positif dan realistis. Saat muncul suara di kepalanya yang berkata "kamu nggak bisa," Aruna berusaha menggantinya dengan kalimat "aku sedang berjuang dan aku bisa melewatinya." Walau awalnya sulit, lama-lama ia merasa lebih kuat dan lebih percaya diri menghadapi kecemasannya.
Aruna juga mulai menerapkan gaya hidup yang lebih sehat, seperti olahraga ringan tiap pagi, tidur cukup, dan makan makanan bergizi. Setiap langkah kecil itu terasa berat di awal, tapi memberi perubahan besar bagi kesehatannya secara keseluruhan. Ia juga memutuskan untuk membatasi konsumsi kafein dan media sosial yang sering memperparah kecemasannya.
Momen paling berat adalah ketika serangan panic muncul tiba-tiba di tempat umum. Aruna merasa dunia seperti berputar, dan ia hampir pingsan. Tapi kali ini, ia mengingat semua pelajaran yang sudah dipelajari yaitu bernapas dalam-dalam, berbicara pada dirinya sendiri dengan lembut, dan mencari tempat tenang untuk duduk. Perlahan, rasa panik itu mereda dan Aruna bisa melanjutkan aktivitasnya tanpa takut terseret lagi.
Perjalanan Aruna menghadapi anxiety disorder memang panjang dan penuh tantangan. Tapi dengan kesabaran, semangat, dan dukungan orang-orang di sekitarnya, ia berhasil mengendalikan kecemasannya, bahkan belajar mengubah ketakutan menjadi kekuatan. Aruna yakin bahwa meski gangguan ini selalu ada, ia tidak akan biarkan anxiety disorder mengendalikan hidupnya lagi. Hidupnya mulai penuh warna, harapan, dan keberanian untuk terus maju.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments