(3) You Hurt Me

Rafael menarik Aruna dengan kasar hingga tubuhnya terhuyung ke belakang. Aruna meringis kesakitan, suaranya bergetar saat berkata, "Sakit, kamu nyakitin aku." hati Aruna terluka olch perlakuan itu. Rafael menatapnya dengan tatapan dingin, membuat suasana menjadi semakin tegang dan penuh emosi.

Rafael menarik Aruna semakin erat, napasnya memburu. "Kenapa kamu terus lari dariku, Aruna?" suaranya penuh amarah tapi juga ada kepedihan. Aruna terisak, mencoba melepaskan diri meski tangannya gemetar, "Aku nggak tahan begini, Rafael. Ini bukan cinta, ini menyakitkan." Suasana jadi hening, berat, penuh luka yang tak tersuarakan.

Rafael terdiam sejenak, menyadari betapa dalam luka yang ia sebabkan. Dengan suara pelan, ia berkata, "Aku nggak pernah bermaksud nyakitin kamu, Aruna. Tapi aku juga nggak bisa terus kehilangan kamu." Air matanya mulai mengalir, membuktikan betapa perasaannya campur aduk antara marah dan sayang. Aruna menatapnya dengan mata yang masih basah, hatinya bergetar antara ragu dan harap.

Suasana hening kembali menyelimuti mereka, keduanya tahu ini bukan akhir, tapi sebuah titik awal untuk berjuang bersama atau memilih jalan masing-masing.

"Aruna, aku tahu aku pernah menyakitimu, tapi aku siap berubah. Aku berjanji untuk selalu jaga kamu."

Aruna tersenyum pelan "Rafael, aku takut terluka lagi, tapi melihatmu di sini bersamaku, ragu itu hilang." Rafael menggenggam tangan Aruna erat. "Aku nggak akan biarkan kamu jatuh sendiri lagi."

Aruna menatap mata Rafael, "Terima kasih sudah kembali."

"Sama-sama, Aruna-nya Rafael."

Aruna berdiri dari duduknya dengan wajah penuh senyum nakal, lalu berkata, "Kejar aku, Rafael." Dengan tawa riang, Rafael langsung berlari mengejar, dan pasangan itu tampak sangat romantis di tengah senja pantai yang indah.

Setelah bermain kejar-kejaran, Rafael dan Aruna duduk di tepi pantai, napas mereka masih memburu. Rafael menatap Aruna dengan lembut, "Kamu selalu sulit ditangkap, tapi aku nggak mau melepaskanmu lagi." Aruna tertawa kecil, lalu bersandar di bahu Rafael.

Rafael dan Aruna adalah dua jiwa yang terikat oleh luka dan harapan. Rafael belajar untuk lebih sabar dan memahami, sementara Aruna perlahan membuka hati meski masih penuh keraguan. Mereka berdua berusaha memperbaiki hubungan, belajar dari kesalahan, dan berjanji untuk saling menjaga serta menghargai tiap luka yang pernah ada.

Hari ini Rafael dan Aruna jogging bersama di sepanjang jalan yang berhembus angin segar. Mereka berlari pelan sambil saling memberi semangat. Di antara nafas yang terengah, mereka menikmati kebersamaan yang terasa makin hangat, seolah setiap langkah menghapus amarah dan keraguan yang sempat ada. Jogging pagi itu jadi momen kecil tapi begitu berharga.

Rafael berdiri di tengah jalan yang sepi dengan senyum nakal, berkata, "Gantian, kamu ngejar aku, Na." Aruna pun berlari mengejarnya, langkah mereka berirama di aspal. Pasangan ini tampak sangat romantis, seperti dunia berhenti hanya untuk mereka.

Rafael mengantar Aruna pulang dengan berjalan perlahan di sepanjang jalan, tangan mereka bergandengan erat seolah tak ingin melepaskan.

Akhirnya mereka sampai juga. Rafael mengecup kening Aruna sambil bilang, "Sampai ketemu besok, sayang." Aruna jadi salah tingkah.

Aruna sedang tiduran di kasur, matanya menatap langit-langit sambil tersenyum sendiri. Dia mengingat saat Rafael mencium keningnya dengan lembut, membuatnya merasa hangat dan bahagia. "Rafael, kamu benar-benar yaa, kita baru baikan loh." pikirnya sambil menahan rasa malu yang manis di hati.

Bisikan itu tiba-tiba kembali mengganggu perasaan Aruna yang sedang bahagia, membuat hatinya bergetar. Dalam hati ia berdoa, "Aku mohon, jangan sekarang..."

Aruna berbaring di kasur, berjuang menenangkan hatinya yang bergolak. Bisikan itu datang lagi, merayapi pikirannya, meruntuhkan kebahagiaan yang baru saja ia bangun dengan Rafael. Ia tahu bisikan itu adalah ketakutan dan keraguannya sendiri, suara kecil yang takut terluka lagi. Dengan napas tercekat, Aruna berusaha keras menolak. "Aku harus kuat, aku pantas bahagia, jangan biarkan rasa takut ini menguasai aku." gumamnya pelan, menahan air mata yang hampir jatuh. Aruna merasakan gelombang emosi yang bercampur aduk dalam dirinya.

Setelah berhasil menepis bisikan keraguan itu, dia mulai menyadari akar ketakutannya. Rasa takut terluka lagi yang selama ini membayangi hatinya tanpa henti. Tetapi kali ini, ia mencoba menerima rasa itu sebagai bagian dari perjalanan, bukan penghalang.

Hatinya bergetar antara harapan dan kecemasan, tapi ia memilih untuk percaya pada kehangatan Rafael dan kesempatan baru ini. "Aku boleh merasa takut, tapi aku lebih pilih bahagia," bisiknya pelan, mencoba menguatkan diri.

Aruna duduk termenung di ujung kasur, mata berkaca-kaca sambil memegang erat bantal. Kepingan-kepingan ketakutan lama muncul lagi, tapi kali ini ia mencoba menolak dengan lembut, bukan melawannya. Ia sadar, luka lama memang tak mudah hilang begitu saja, tapi bukan berarti kebahagiaan baru harus diusir. "Aku harus berani membuka hati lagi, walau takut." pikirnya dengan suara hati yang bergejolak, sambil membayangkan Rafael sebagai pelabuhan yang aman untuknya. Hatinya sedikit lega, meski jalan ke depan masih penuh liku.

Aruna terjebak dalam pusaran pikirannya sendiri, di mana bisikan itu muncul seperti bayangan gelap yang menyalakan ketakutan lama. Ia merasa seperti berada di persimpangan antara keinginan untuk terbuka dan ketakutan kehilangan kendali atas perasaannya. Di satu sisi, ada hasrat untuk berbagi beban itu dengan Rafael agar tidak sendirian menghadapi gelombang emosi yang menghantam, tapi di sisi lain muncul kekhawatiran akan penilaian dan ketidaksanggupan orang lain memahami luka tersembunyi.

Dalam diam, Aruna berusaha mengurai benang kusut perasaannya, menyadari bahwa keberanian untuk jujur bukan hanya soal berbicara, tapi juga menerima kerentanan diri sendiri. Dan ia bertanya, "Akankah aku cukup kuat untuk menembus tembok ketakutan ini, membuka hati pada Rafael, dan membiarkan dirinya benar-benar dicintai tanpa syarat?

Aruna menarik napas panjang, menyadari bahwa keputusan ini bukan hanya soal Rafael, tapi langkah besar menerima dan mencintai dirinya apa adanya.

Aruna terdiam, hatinya berdebar dan pikiran berputar cepat saat akhirnya memutuskan untuk membuka mulut. Dengan suara yang masih bergetar, ia mulai bercerita tentang bisikan-bisikan gelap yang selama ini menghantui dan membuatnya ragu. Rafael mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa menghakimi, membuat Aruna merasa diterima. Seolah beban yang selama ini tertahan perlahan terangkat. Dalam keheningan hangat itu, ia mulai memahami bahwa keberanian membuka hati bukanlah tanda kelemahan, tapi kekuatan sebenarnya yang membawanya lebih dekat pada kedamaian.

"Rafael, ada sesuatu yang selalu aku sembunyikan. bisikan-bisikan dalam pikiranku yang kadang membuatku ragu dan takut."

"Aku di sini, Aruna. Kamu nggak harus menanggung itu sendirian. Ceritakan apa pun, aku akan dengarkan."

"Aku takut... Takut kamu nggak bisa mengerti, atau malah menjauh."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!