3 Menjual Mie instan

Arzhel menahan napas, membaca deskripsi yang terpampang:

[Kitab kuno yang mengajarkan seni menyatu dengan peran. Siapa pun yang mempelajari teknik ini mampu memerankan tokoh apa pun dengan sempurna—tidak sekadar akting, melainkan benar-benar ‘menjadi’ sosok dalam naskah. Kepribadian, suara, gerak tubuh, bahkan aura dapat menyesuaikan sesuai peran yang dibawakan.]

Arzhel membeku. Matanya berkilat.

Impian masa kecilnya, mimpi sederhana yang selalu ia bawa sejak menonton film di layar lebar untuk pertama kalinya seakan mendekat di ujung jari.

Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol Beli.

📱 [Pembelian berhasil! 💰-300 Koin Ilahi]

Saldo berkurang. Namun sebelum ia bisa menyesali, cahaya emas memancar di udara. Tepat di depannya, sebuah gulungan kuno muncul perlahan, seolah turun dari dunia lain.

Arzhel terkesiap, buru-buru mengulurkan tangan dan menangkapnya. Gulungan itu terasa nyata—halus, dingin, seperti sutra yang sudah berusia ribuan tahun.

“Ini… nyata?” gumamnya, kagum dan ragu bercampur jadi satu.

Tangannya gemetar saat ia membuka gulungan itu. Namun begitu terbentang, gulungan itu mendadak terbakar tanpa api. Arzhel tersentak, hampir menjatuhkannya, tapi abu halusnya justru lenyap menembus kulitnya.

Arzhel berdiri membeku. “Apa yang barusan…?”

📱  [Notifikasi: Profilmu telah diperbarui.]

Jantung Arzhel berdegup. Ia buru-buru membuka notifikasi itu.

Tampilan baru muncul:

 

👤 Profil Pengguna

Nama: Arzhel

Gelar: —

Teknik:

📜 Seni Peran Sejati

📌 Catatan penting: Panel kemampuan bersifat privasi, hanya bisa dilihat oleh pengguna.

Postingan: 0

 

Arzhel menelan ludah, matanya tak berkedip menatap layar. 'Teknik peran sejati… milikku?'

Perlahan, ia menyentuh dadanya. Ada sesuatu yang berubah—tak terlihat, tapi terasa. Seakan di dalam dirinya, sebuah pintu baru telah terbuka. Ia belum mengerti cara menggunakannya, tapi firasatnya mengatakan teknik itu nyata.

“Aku mengerti..." Gumamnya, "Sepertinya siapapun yang menciptakan aplikasi ini salah mengira aku sebagai dewa, jadi dia memasukanku sebagai pengguna aplikasi ini."

Semakin ia menatap layar, semakin sadar—aplikasi ini jelas bukan buatan manusia biasa. Dan kemungkinan besar… ia memang salah dikira seorang dewa.

“Kalau begitu…” Arzhel menatap profilnya, rasa waspada mulai merayap. “Kalau ada dewa yang curiga aku cuma manusia… aku bisa habis.”

Ia menggulir ke bagian profil dan mengetik cepat, mengganti namanya. Sesuai visinya ke depannya, Arzhel akan menjual banyak barang modern kepada para dewa, oleh karena itu satu nama terlintas di pikirannya.

✏️ Nama: Arzhel, Dewa Modern✈️

🔔 [Belum ada yang menggunakan nickname ini, anda bisa menggunakannya]

"Bagus," ucapnya sambil menekan tombol konfirmasi.

Sementara gelarnya masih kosong, dan panduan singkat di layar mengatakan gelar hanya akan muncul jika ia mendapat prestasi di aplikasi.

“Dewa Modern, ya… Cukup keren.” Ia tertawa kecil, tapi cepat meredam suaranya, seakan takut ada yang mendengar.

Jam di dinding sudah menunjuk hampir setengah dua belas malam. Tubuhnya masih remuk karena jatuh berkali-kali di lokasi syuting siang tadi.

Arzhel menguap lebar. “Besok aku masih harus ke set lagi… Ah, bodo amat.”

Ia menaruh ponsel di meja samping kasur dengan hati-hati, seperti menyimpan benda paling berharga di dunia.

Matanya perlahan terpejam, dengan satu pikiran terakhir yang berputar di benaknya:

“Kalau ini nyata… mungkin, mungkin saja… aku benar-benar bisa jadi aktor besar.”

Dan malam itu, Arzhel tertidur dengan senyum samar di wajahnya—untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

....

 🌅Pagi Hari

Arzhel terbangun dengan mata masih berat. Ia langsung menoleh ke samping, meraih ponselnya. Layar menyala. Ikon emas itu masih ada—E-Market Ilahi.

“Syukurlah…” gumamnya lega. “Bukan mimpi.”

Ia duduk, meregangkan tubuh, lalu cepat-cepat menuju kamar mandi kosan. Air dingin menyentuh wajahnya, sedikit menyegarkan rasa penat. Setelah mandi seadanya, ia kembali ke meja mungil tempat barang-barangnya berantakan.

Di laci, hanya ada stok penyelamat anak rantau—mie instan. Kardus yang hampir kosong, dengan sisa beberapa bungkus.

Arzhel menghela napas panjang. “Kalau ini bisa dijual… mungkin bisa jadi ladang emas.”

Tanpa pikir panjang, ia mengambil tiga bungkus mie instan dan menaruhnya di meja. Ponselnya segera ia buka, masuk ke menu Jual. Kamera otomatis menyala, memindai mie itu satu per satu.

✨ [Scan berhasil]

Tiga bungkus mie instan menghilang seketika, lenyap dari meja, berpindah ke layar ponselnya.

Arzhel buru-buru mengetik deskripsi dengan gaya setengah bercanda:

“Mudah disajikan! Tinggal tuangkan air panas, masukkan bumbu, tunggu sebentar, dan jadi.

🍜 Mie Instan Khas Dewa Modern, siap disantap kapan saja dan dimana saja. Harga: 30 Koin Ilahi."

Arzhel sempat melihat-lihat harga makanan di market ilahi seperti yang disarankan Dewa Kejujuran sebelum dia menetapkan harga, rata-rata makanan dan minuman disana adalah sekitar 10 sampai 20

Arzhel menimbang sejenak. Ia sempat melihat-lihat market sebelumnya—harga makanan rata-rata hanya 10 sampai 20 koin. Tapi ia sengaja menaruh harga yang lebih tinggi."

“Kalau ada dewa rakus yang tidak mau ribut memasak dan maunya yang praktis-praktis, mereka pasti tetap membelinya,” ucapnya sambil menyeringai kecil.

Namun setelah menunggu beberapa menit, layar tetap sepi. Tidak ada notifikasi pembelian.

Arzhel menghela napas, menyandarkan ponsel di meja. “Yah… ternyata mereka juga seperti manusia. Berpikir seribu kali ketika melihat sesuatu yang mahal."

Ia melirik jam dinding. Hampir waktunya berangkat. Dengan buru-buru, ia mengenakan kemeja putih polos yang sering dia pakai. Celana panjang hitam sederhana, dan sepatu yang solnya mulai menipis.

Ia berdiri di depan kaca kecil yang tergantung miring di dinding kosannya. Rambutnya ia rapikan dengan sisir, meski beberapa helai tetap membandel.

“Setidaknya, kelihatan sedikit rapi.”

Tas disampirkan ke punggung, ia keluar dari kosannya yang pengap. Jalan kaki sebentar, sampai di halte bus, lalu lanjut naik kereta bawah tanah.

Gerbong ramai penuh pekerja kantoran, anak sekolah, dan sesama perantau. Arzhel berdiri sambil berpegangan pada tiang, tubuhnya masih terasa pegal akibat terjatuh berkali-kali di syuting kemarin.

Namun kini, ada secuil rasa optimis yang ia bawa. Ponselnya, aplikasi itu, dan… teknik peran kuno yang entah bagaimana, kini mengalir dalam dirinya.

Sesampainya di lokasi syuting, Arzhel menarik napas panjang. Dari luar, set terlihat ramai: kru sibuk memasang kamera, lampu sorot menyala, dan aktor-aktor utama berkeliaran dengan wajah penuh percaya diri.

Arzhel melangkah masuk, mencoba menyingkirkan rasa lelahnya.

Sutradara mereka hari itu adalah pria paruh baya dengan tubuh tambun dan suara serak bernama Pak Raymond. Ia terkenal galak, tapi justru malas memberi arahan detail pada para pemeran figuran.

“Dengar, kalian hanya tumbal, paham?” katanya ketus sambil menunjuk sekelompok pemeran sampingan, termasuk Arzhel dan Daniel, temannya. “Nanti aktor utama menyerang, kalian teriak, jatuh, mengeluarkan ekspresi menderita. Begitu saja. Jangan ribet. Kamera bukan buat kalian.”

Beberapa orang mengangguk lesu, termasuk Arzhel.

Setelah briefing singkat itu, mereka digiring ke ruang ganti untuk memakai seragam: jas putih bersih yang menandakan mereka anggota organisasi musuh dalam cerita.

Jas yang terlihat gagah, tapi ironisnya hanya dipakai untuk adegan 'sekali hantam langsung tumbang.'

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!