Logic Not Found

"Bukti?" Aurora menaikkan sebelah alisnya. Ia mendongakkan wajah, lalu tertawa getir tanpa humor. Suaranya terdengar kering, membuat beberapa kepala di meja sebelah menoleh. "Lucu sekali! Bagaimana caranya mendapatkan bukti dari seorang pria yang sudah ketahuan suka selingkuh dengan banyak wanita tidak benar? Itu sudah termasuk bukti!"

"Tidak! Pasti ada bukti lain!" Siti bangkit berdiri dari kursinya. Matanya membelalak, napasnya tersengal seakan-akan ingin segera berlari keluar. "Saya harus bertanya pada mas Suryo untuk bertanya langsung padanya!"

"Eh! Jangan!" seru Aurora panik. Refleks, ia pun berdiri dan meraih lengan Siti agar tidak beranjak. "Ibu Siti, kau itu adalah manusia tipe feeling. Semua keputusanmu berdasarkan perasaan dan empati. Justru itu bahaya!" Dengan cepat, ia menuntun Siti kembali ke kursi. "Coba sekarang ibu Siti duduk tenang... Tarik napas... Lalu buang!"

Siti menurut. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan seperti instruksi Aurora. Namun, ketenangan itu hanya tampak di permukaan. Tatapannya masih berkaca-kaca, bibirnya bergetar menahan tangis. "Tapi saya tetap tidak tenang! Saya tidak percaya jika tidak ada bukti langsungnya seperti pemeriksaan medis langsung."

Aurora ikut duduk kembali. Ia mengangguk pelan, mencoba memahami kegelisahan Siti. "Itu benar. Tapi kita juga tidak bisa bertanya pada pak Suryo tentang penyakitnya. Karena... Coba ibu Siti adalah pak Suryo. Apa yang akan pak Suryo lakukan jika ditanyai tentang penyakit HIV?"

Siti terdiam sejenak. Ia menunduk, kedua tangannya meremas rok dengan gelisah. Lalu perlahan mengangkat wajahnya, menatap Aurora dengan keyakinan yang memercik. "Jika saya adalah mas Suryo yang memang benar tertular penyakit HIV, maka saya akan..." suaranya bergetar, "memberitahukan kebenarannya pada keluarga saya karena tidak ingin keluarga saya ikut tertular."

Aurora menatap Siti lama, lalu menepuk keningnya sendiri dengan kasar. Astaga... Tubuhnya meronta frustasi, high heels-nya menghentak lantai keras-keras hingga menghasilkan bunyi tak-tak-tak yang bergema di seluruh restoran. Beberapa pengunjung langsung menoleh, ada yang berbisik-bisik, ada pula yang melirik tajam.

Aurora semakin gelisah. Semakin banyak mata yang menancap padanya, semakin sempit ruang geraknya terasa. Dengan cepat ia kembali menjatuhkan diri ke kursi, menundukkan kepala dalam-dalam. Wajahnya memanas. Tatapan mereka... ah, ini neraka bagi introvert sepertiku!

---

"Baiklah, Teman-teman, beri saran! Bagaimana caranya menjelaskan pada orang feeler?" suara batin Aurora bergema, menyalakan rapat darurat di ruang otaknya.

Seketika seluruh divisi logika dalam dirinya berdiri serempak. Mereka mengangkat papan demo tinggi-tinggi dengan tulisan besar: "Logic not found".

Divisi logika sebab-akibat, yang biasanya jadi ujung tombak, hanya menatap papan itu dengan wajah malas bercampur jengkel. "Syibal Sekiya!"

---

"Ibu Aurora, maksudku adalah..." Aurora menarik napas panjang, mencoba memahami otak Siti. "Seperti yang kita semua sudah tahu. Pak Suryo adalah istri ibu Siti. Saya adalah selingkuhannya. Ternyata, beberapa teman saya juga termasuk selingkuhan pak Suryo. Jadi pertanyaannya, apa selingkuh adalah pekerjaan yang sangat membutuhkan kebohongan?"

Siti terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk lemah. Ekspresi wajahnya terlihat sedih, seperti menahan tangis.

"Nah, jadi kita sudah tahu bahwa pak Suryo adalah seorang pria yang sering berbohong untuk selingkuh." Aurora kembali menarik napas panjang, berusaha keras tidak menciptakan kesalahpahaman komunikasi diantara dirinya dan Siti. "Jadi, jika ada yang bertanya, misalnya istri atau selingkuhan pak Suryo tentang penyakit HIV, apakah pak Suryo akan berbohong atau berkata jujur?"

Siti terdiam. Namun saat dia angkat bicara, Aurora dengan cepat mencegahnya. "Nah konsekuensi jika pak Suryo berkata jujur adalah ditinggalkan istri atau selingkuhannya. Yang mana pak Suryo tidak mau merasakannya. Jadi, besar kemungkinan pak Suryo akan berbohong."

"Tapi, kita tidak boleh menuduh orang lain tanpa bukti, kan?" tanya Siti dengan yakin meski raut wajahnya terlihat ragu.

---

Aurora divisi roasting tiba-tiba berdiri dari kursinya. Matanya membulat tajam, namun bibirnya melengkungkan senyum lembut bak malaikat penolong. Suaranya keluar tenang, berlapis manis, tetapi kata-katanya bagai belati yang menusuk.

"Wah! Sangat perasa sekali, karakter bernama Siti ini. Sudah diselingkuhi berkali-kali, tetap tidak percaya bahwa suaminya HIV. Padahal tanpa suaminya tertular HIV juga, jika sudah ketahuan selingkuh, sudah menjadi alasan yang kuat untuk bercerai. Tapi sepertinya otak Siti ini memiliki kelainan. Dimana bagian amigdala di otaknya berfungsi terlalu baik secara abnormal sementara bagian lobus frontal tidak bisa berfungsi dengan semestinya karena tertutupi sifatnya yang sangat baik hati seperti malaikat masokis."

Begitu kalimat itu meluncur, ruangan debat yang semula riuh seketika membeku. Semua Aurora menahan napas, menatap Aurora divisi roasting dengan tatapan terkejut, seperti baru saja mendengar penghakiman akhir. Senyuman manis yang dipakainya hanya memperburuk atmosfer—kalimat sarkas yang pedih itu justru terdengar lebih menusuk ketika disampaikan dengan nada selembut itu.

Aurora-aurora lain menoleh bersamaan ke arah Aurora divisi ide kreatif.

Divisi ide kreatif mengangkat kedua bahu dengan raut canggung, seperti anak sekolah ketahuan mencontek. "Mau bagaimana lagi? Karena karakter utama wanita novel drama rumah tangga itu harus seperti yang diucapkan divisi roasting, karena itu aku hanya menjalankan tugas untuk menciptakan karakter wanita seperti kebutuhan pasar."

Divisi logika sebab-akibat langsung menyambar momen itu. Ia berdiri di depan papan tulis besar, kapur di tangan, wajah penuh determinasi. Suasana ruang debat otak Aurora kembali ramai, tapi kali ini seperti kelas darurat yang penuh ketegangan. Coretan-coretan abstrak mulai memenuhi papan, garis bersilangan, lingkaran-lingkaran tak jelas yang hanya bisa dipahami olehnya sendiri.

"Tidak ada cara lain! Kita ambil jalan pintas!" serunya lantang. Tangannya bergerak cepat, menggambar sesuatu yang lebih menyerupai peta perang ketimbang diagram logika. "Jadi, seperti yang disampaikan divisi ide kreatif tadi, karakter Siti diciptakan karena trend pasar. Trend pasar, butuh drama. Bukan logika. Maka kita menciptakan karakter Siti. Siti adalah seorang wanita naif yang... Yah sudah disebutkan divisi roasting tadi."

Ia mengetuk papan tulis dengan keras, lalu menoleh pada semua Aurora dengan sorot mata serius. "Jadi, bagaimana caranya untuk menyadarkan Siti bahwa Suryo adalah pria yang buruk untuk dijadikan pasangan?"

Tangan logika sebab-akibat kembali bergerak, menulis cepat di papan. Kemudian ia berhenti, senyumnya lebar, penuh kemenangan. "Yup benar! Second male lead!" Ia berbalik dengan dramatis, menatap seluruh ruangan. "Beruntungnya, Siti kita berikan sedikit buff kepintaran dimana dia masih bisa membuka hati pada second male lead yang kita siapkan dan melupakan male lead yang toxic itu."

Dari pojok ruangan, Aurora divisi pertanyaan random mengangkat tangan. Sorot matanya penuh keraguan, tapi ia nekat bicara. "Dimana kita menemukan second male lead jika di novel asli, tidak ada banyak informasi tentang second male lead selain dia cinta mati dengan Siti dan bersedia menerima Siti dan anak-anak apa adanya?"

Ruangan kembali tegang, semua Aurora menunggu jawaban.

Divisi logika sebab-akibat menoleh perlahan, seakan akan mengucapkan kalimat yang bijak. Namun setelah hening sesaat, ia hanya menghela napas panjang. "Pertanyaan bagus!" katanya akhirnya. "Saya juga tidak tahu."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!