"Penyakit... HIV?" tanya Siti dengan tatapan tidak percaya, mengulang kata-kata Aurora dengan suara tercekat. Wajahnya pucat, hampir tak mampu menerima kenyataan. "Tapi, dari mana kau tahu?"
Aurora tak segera menjawab. Pandangannya beralih ke arah lain, seolah berusaha menghindari sorotan mata Siti. Tangannya terulur, mengetuk meja dengan gerakan cepat namun penuh penyesalan, seakan-akan ingin menghukum dirinya sendiri karena sudah terlalu gegabah membuka mulut.
Di ruang rapat batin Aurora, ketegangan langsung meledak.
"Siapa itu tadi yang memberi ide untuk langsung mengatakan saja alasan terbesar kenapa kita harus memberitahu Siti?" suara moderator menggema keras, menusuk seperti palu sidang yang menghantam meja. Tatapannya tajam, menelusuri setiap wajah Aurora yang duduk di kursi masing-masing.
Dalam sekejap, seluruh Aurora di ruangan itu—yang identik namun berbeda-beda ekspresinya—serempak mengangkat jari, menunjuk satu sosok Aurora. Tatapan mereka penuh tuduhan, menusuk bagai panah yang tidak memberi ruang untuk lari.
Udara seolah membeku. Lampu di atas kepala bergetar pelan, menambah kesan mencekam. Moderator menggerakkan lehernya perlahan, beralih menatap Aurora yang ditunjuk. Tatapan intimidatifnya menusuk, seolah berkata: tidak ada jalan keluar.
"Baiklah," suara moderator berat, dingin, "karena kau sudah menyarankan agar kita langsung mengucapkan alasan terbesar, sekarang... silakan jelaskan kenapa kau memilih jawaban itu!"
Aurora yang ditunjuk berdiri perlahan. Kursinya berderit panjang, suara gesekan logam yang membuat bulu kuduk merinding. Ia menunduk, memberi hormat dengan penuh formalitas, lalu menegakkan tubuhnya.
"Baik. Terima kasih karena sudah memberi kesempatan pada saya untuk mengemukakan pendapat saya." Suaranya stabil, namun aura ruangan semakin tegang. Aurora itu memperkenalkan diri dengan sikap profesional, "Sebelumnya, perkenalkan. Saya adalah Aurora divisi bagian analisis penyakit dari artikel di media sosial. Saya dapat mengetahui beberapa penyakit yang umum digunakan dalam drama. Salah satunya adalah HIV."
Moderator mengangguk pelan, namun sorot matanya tetap menguji. "Baiklah, divisi bagian analisis penyakit dari artikel di media sosial, sekarang, silakan ambil alih."
Aurora menarik napas dalam, lalu kembali pada tubuh aslinya. Tatapannya kini lebih tajam, lebih berwibawa. Ia berbicara pada Siti dengan ketenangan seorang dokter yang sedang menyampaikan vonis.
"Jadi, ibu Siti," katanya dengan nada tenang, nyaris dingin. "Alasan kenapa ibu harus segera bercerai dengan suami ibu adalah karena ibu berisiko tertular penyakit yang belum ada obatnya itu lewat hubungan seksual. Jika ibu sakit, tentunya kasihan juga anak-anak ibu. Karena seperti yang ibu katakan sebelumnya, ibu memiliki dua anak yang masih membutuhkan perhatian orang tua, terutama ibu. Karena itu, saya mohon bahwa ibu mempertimbangkan saran saya untuk bercerai dengan Pak Suryo."
Kalimat itu jatuh seperti petir. Ruangan terasa sunyi, udara seakan hilang sesaat. Namun Siti mengangkat wajahnya, menatap Aurora dengan kebingungan yang semakin dalam.
"Soal penyakit HIV, saya tahu itu," ucapnya dengan suara bergetar. "Tapi yang ingin saya tahu adalah, dari mana kau dapat informasi bahwa suami saya terkena penyakit HIV? Apa pertanyaan saya kurang jelas?"
Suasana di ruang batin Aurora kembali pecah.
"Sudah ceroboh, tuli pula!" ucap salah satu Aurora sambil tetap santai menyesap boba milk tea. Cairan berwarna cokelat itu berguncang pelan, kontras dengan nada suaranya yang penuh ejekan.
"Hei kau! Divisi roasting! Diam!" teriak Aurora lain dengan gusar, menghantam meja.
Divisi analisis penyakit hanya memutar bola mata, jelas-jelas malas menanggapi kekacauan. "Ini semua gara-gara moderator kita. Bukannya fokus menjawab pertanyaan lawan bicara, malah sibuk dengan hal lain."
Tiba-tiba, lampu sorot putih terang menyorot ke tengah ruangan. Moderator tampak tersungkur di lantai, wajahnya penuh rasa bersalah. Suaranya parau, teredam oleh keputusasaan.
"Benar! Aku ini memang tidak berguna. Ganti saja Aurora lain untuk menjadi moderator!"
Salah seorang Aurora tiba-tiba menepuk meja rapat di dalam kepalanya. Tatapannya serius, suaranya tegas namun terkendali. "Baiklah, kalau sudah begini, biar saya saja yang melanjutkan!" katanya mantap. Dia berdiri dari kursinya, menarik napas dalam, lalu menatap moderator dan Aurora lain dengan penuh keyakinan. "Sebelumnya, perkenalkan! Saya adalah Aurora dari divisi logika hukum sebab-akibat. Untuk jawaban dari pertanyaan ini, serahkan saja pada saya!"
Moderator yang sempat goyah langsung duduk kembali, mengangguk. Seluruh ruangan mendadak hening, seolah memberi jalan pada Aurora divisi ini untuk mengambil alih panggung.
Aurora kembali menatap Siti di dunia nyata. Tatapannya berubah: lebih profesional, dingin, dan terukur. Gerakannya terkontrol, tidak ada lagi getar tangisan pura-pura tadi.
"Baiklah, ibu Siti. Mohon maaf karena jawaban saya yang tidak memuaskan," ucapnya dengan nada tenang, namun penuh wibawa. Tangannya menyentuh meja perlahan, seolah menegaskan tiap kata yang keluar dari bibirnya. "Tapi sebelumnya, izinkan saya bertanya pada ibu Siti. Ibu Siti memiliki teman seperti apa?"
Siti mengerutkan kening, tidak menyangka mendapat pertanyaan balik. Dia mengulang pelan, mencoba memastikan maksud Aurora. "Teman seperti apa?" Siti termenung sejenak, sebelum akhirnya menjawab dengan jujur. "Teman-teman saya tidak banyak. Teman-teman saya biasanya berasal dari kalangan ibu-ibu yang suka mengantar dan menjemput anak mereka di sekolah, yah... Sama seperti saya."
Aurora langsung tersenyum tipis, senyum seorang analis yang menemukan celah logika. "Tepat sekali! Manusia ini memang biasanya memiliki teman yang sefrekuensi dengan preferensi mereka. Ibu-ibu yang suka mengantar dan menjemput anak sekolah, akan berteman juga dengan ibu-ibu yang juga suka mengantar dan menjemput anak mereka karena mereka sering bertemu di lingkungan atau komunitas yang sama," jelasnya, kalimatnya runtut dan penuh keyakinan.
Aurora mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya menurun jadi lebih personal namun semakin menusuk. "Begitu juga dengan saya... yang merupakan seorang anak dari gundik, dan sekarang sedang berprofesi sebagai gundik. Tentu saja, teman-teman saya adalah sesama profesi haram—gundik, pelakor, pelacur, LC, dan sebagainya."
Kata-kata itu membuat udara di sekitar meja mendadak terasa dingin. Siti tercekat, kedua tangannya refleks meremas roknya di atas pangkuan.
"Jadi, maksudnya... Aurora mendapatkan informasi dari teman sesama profesi wanita penggoda ini?" tanya Siti dengan ekspresi ragu. Ada ketakutan dan kejujuran di wajahnya.
Aurora tidak lagi menahan diri. Matanya membulat penuh semangat, bibirnya menyeringai tipis seperti pemburu yang baru saja menemukan kelemahan mangsanya. "Iya! Apalagi ternyata suami ibu Siti tidak hanya berselingkuh dengan saya. Jadi beberapa teman saya juga termasuk selingkuhan suami ibu! Suami ibu itu sugar daddy best seller di kalangan para wanita penggoda, loh!" Aurora mengucapkannya lantang, setiap kata terasa seperti palu yang menghantam. "Makanya tidak heran bisa terkena penyakit HIV!"
Siti terperanjat hebat, tubuhnya bergetar. Matanya melebar, seolah tersambar petir di siang bolong. Suara napasnya mulai tersengal, tangannya refleks menekan dada kirinya yang terasa sesak. "Ja- jangan berbohong!" suaranya melengking, penuh keputusasaan. "Apa buktinya jika semua ucapanmu benar?!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments