Tawaran KUA Secepat Kilat

Sambil menenteng plastik belanjaan, Naya terus menggumam dalam hati.

“Ya Tuhan, semoga om-om itu udah nggak nongkrong di situ lagi. Gue cuma pengen pulang dengan damai, masak, terus tidur. Nggak minta yang aneh-aneh kok…”

Tapi begitu langkahnya mendekati kontrakan, pandangannya terhenti. Tepat di depan rumah mewah bercat putih itu, sosok tinggi besar masih berdiri santai bersandar pada pagar besinya. Keringat di pelipisnya sudah mengering, tapi aura cool-nya tetap sama.

“Sumpah… demi apa dia masih di situ?” bisik Naya, matanya melebar. Jantungnya mulai berdebar nggak jelas antara kesal dan deg-degan.

“Duh, gimana nih… pura-pura nggak liat aja kali ya…” gumamnya, buru-buru menunduk, menempelkan pandangan ke jalan seolah ada semut yang lebih menarik perhatian daripada tetangganya itu.

Tapi suara bariton tenang terdengar lagi, menusuk telinganya.

“Habis belanja?”

Langkah Naya langsung terhenti sepersekian detik. Dengan berat hati ia mendongak, dan benar saja tetangga nya sedang menatap nya, senyum tipis terlukis di wajahnya.

“Iya,” jawab Naya cepat, matanya kembali melirik ke arah plastik belanjaannya, lalu menunduk lagi.

Arga menggeser posisi berdirinya, kedua tangannya menyilang di depan dada. Tatapannya tidak lepas dari Naya. “Boleh nggak saya nyicipin masakan kamu?” tanyanya santai, nadanya seperti orang minta tolong biasa, tapi ada sedikit godaan terselip di sana.

Naya nyaris keselek ludahnya sendiri. Ia buru-buru merapatkan plastik belanjaan ke dadanya, seperti sedang melindungi harta karun. “Hah?! Nyicipin? Masak apaan?!” serunya kaget, lalu cepat-cepat menambahkan, “Eh, maksudnya… nggak bisa, saya masaknya ala kadarnya doang. Nggak level buat… di cicipi orang lain.”

Arga terkekeh pelan, hampir tak terdengar, tapi cukup untuk bikin Naya makin salah tingkah. “Nggak apa-apa. Saya kan nggak minta restoran bintang lima. Masakan sederhana juga bisa enak kalau yang masak niat.”

Wajah Naya langsung memerah, bukan karena tersanjung, tapi karena merasa digoda terang-terangan. “Astaga… orang ini niat banget sih ngegodain!” rutuknya dalam hati.

Ia lalu mempercepat langkahnya menuju kontrakan. “Pokoknya nggak! Saya nggak pernah bagi-bagi makanan ke orang asing,” ucapnya tanpa menoleh lagi.

Arga hanya menatap punggungnya yang tergesa, senyum tipis masih setia di sudut bibirnya. “Hm… orang asing, ya?” gumamnya lirih, seolah-olah kalimat itu punya makna tersendiri.

“Kalo gitu… kita ke KUA aja.”

Naya sontak berhenti, matanya melotot, lalu menoleh pelan ke arah Arga yang masih berdiri santai di depan pagar rumahnya. Senyum tipis pria itu nyaris bikin jantung Naya lompat keluar.

“APA??!” Naya hampir teriak, plastik belanjaannya sampai berayun keras karena tangannya refleks bergerak. “KUA?? Astaga… Pak… eh, Om… atau siapa pun lah! Kita bahkan baru ketemu dua kali! Dua kali! Yang pertama nabrak, yang kedua ketemu pas belanja. Terus tiba-tiba… KUA?!”

Arga tetap cuek, sama sekali nggak terpengaruh oleh suara Naya yang naik satu oktaf. Ia bahkan sempat mengambil botol minum, meneguk sedikit, lalu menatap Naya lagi dengan ekspresi datar tapi genit.

“Ya kan biar gampang. Kalau udah resmi, saya nggak perlu minta izin buat nyicipin masakan kamu.”

Naya langsung bergidik, wajahnya memerah setengah mati. “Astaga, orang gila ternyata tetangga gue!” gumamnya lirih, buru-buru berjalan ke arah kontrakan.

“Eh, tunggu…” Arga kembali bicara sebelum Naya sempat jauh. “Tenang aja, saya nggak buru-buru kok. Saya kan tipe yang sabar. Tapi tawaran KUA-nya tetep berlaku.”

“YA AMPUN!!!” seru Naya frustasi.

“Ya Allah… baru pindah sehari, udah ditawarin ke KUA. Apa-apaan sih ini hidup gue…” batin Naya.

“Ih, Papa nggak boleh genit-genit sama Kakak ini!”

Naya menoleh, ternyata seorang bocah laki-laki mungil berusia sekitar lima tahun berdiri di ambang pintu. Pipinya chubby, matanya bulat jenaka, sambil memeluk boneka dinosaurus kesayangannya.

Raka maju dengan langkah kecil tapi penuh percaya diri, lalu menunjuk ke arah ayahnya. “Inget umur, Pa. Papa udah tua!”

Arga langsung terbatuk kaget, wajahnya merah padam. “Hei, Raka! Siapa yang ngajarin ngomong gitu, hah?”

Naya yang awalnya canggung mendadak ngakak nggak tahan. “Hahaha! Aduh, bener juga kata anak Om, Om. Inget umur tuh, udah tua,” ucap Naya sambil menutup mulut, menahan tawa.

“Ya ampun… kalian ini kompak banget menjatuhkan saya,” Arga mendengus kesal sambil mengacak rambut Raka.

Tapi bocah kecil itu masih lanjut, “Papa itu kayak dinosaurus… udah tua tapi sok keren. Nanti Kakak nggak mau lho kalo Papa genit-genit gitu.”

“RAKA!” Arga menatap putranya dengan wajah frustrasi, sementara Naya sudah hampir terjatuh saking ngakaknya.

“Aduh… perut aku sakit ketawa. Ternyata om punya anak kocak banget sih, Om,” kata Naya sambil mengusap air mata di sudut matanya.

Arga hanya bisa geleng-geleng kepala, tapi ada senyum tipis yang nggak bisa ia sembunyikan saat melihat Naya tertawa lepas di depannya.

Raka menyilangkan tangan kecilnya di dada, wajahnya serius banget padahal masih bocah lima tahun. “Udah, Kakak pergi aja. Biar Raka yang urus Papa. Papa tuh harus dijagain biar nggak genit-genit lagi.”

Naya langsung ngakak, tangannya refleks menutup mulut. “Hahaha! Aduh, bener juga kata kamu, Raka. Papa kamu ini harus dijagain biar nggak sembarangan godain orang.”

Raka mengangguk mantap. “Iya, Kak. Soalnya Papa suka bikin malu. Raka nggak mau Papa jadi om-om aneh.”

Arga menghela napas, wajahnya menegang tapi masih berusaha terlihat cool. “Raka…” panggilnya pelan.

Tapi Naya malah menimpali sambil melangkah sedikit, menjaga jarak. “Tuh, dengerin tuh, Om. Anak sendiri aja udah bilang om-om aneh. Saya mah jujur aja ya, ilfil kalau ada cowok genit apalagi… ya, umurnya jauh di atas saya.”

Arga terdiam, cuma menatap Naya dengan rahang mengeras. Ia mencoba menahan gengsi, padahal hatinya lumayan tersenggol.

Raka menoleh ke Naya lagi sambil tersenyum bangga. “Tenang Kak, Raka bakal benerin Papa kok. Papa nggak akan gangguin Kakak lagi.”

Naya mengacungkan jempol pada Raka. “Sip, Kakak dukung kamu, Raka. Papa kamu harus direformasi dulu sebelum bisa diajak ngobrol normal.”

Arga mengusap tengkuknya, setengah kesal setengah malu. “Yaelah, pada kompak banget bikin saya jadi bahan roasting.”

Naya cuma nyengir tipis, tapi dalam hati tetap bergumam: Ya ampun, apes banget kontrakan gue sebelahan sama om-om genit kayak gini.

Begitu percakapan selesai, Naya buru-buru pamit. “Oke, kalau gitu kakak masuk dulu. Makasih ya, Raka, udah jagain Papa kamu.” Ia melambaikan tangan pada bocah kecil itu sambil melempar senyum tipis, lalu langsung berbalik menuju kontrakannya.

Begitu pintu tertutup, Naya langsung menjatuhkan diri di sofa dengan wajah kusut. Ia menaruh kantong belanja di meja dan menghela napas panjang.

“Ya Tuhan… sumpah gue apes banget!” gerutunya sambil menepuk kening sendiri. “Baru pindah sehari aja udah ketemu sama tetangga model om-om genit begitu. Ihh, merinding banget gue.”

Naya berdiri, berjalan mondar-mandir di ruang tamu sambil meluapkan kekesalannya. “Masih sempet-sempetnya ngomong soal peluk segala. Apa coba maksudnya? Udah tua, masih aja gombal receh. Nggak banget deh!”

Ia membuka plastik belanjaannya dengan kesal, meletakkan sayur dan tempe di dapur, lalu bergumam sambil menirukan gaya Arga. “‘Boleh nggak saya nyicip masakan kamu?’… Ck, ck, ck. Hellow, Pak! Masakan bukan buat dijadiin bahan modus. Ampun dah!”

Setelah selesai menaruh barang, Naya menghempaskan tubuh ke kasur di kamarnya. Ia menarik selimut sampai ke dagu, wajahnya masih masam.

“Pokoknya mulai sekarang, gue harus hati-hati. Jangan sampe ketemu tuh om-om genit lagi. Kalo bisa, lewat jalan belakang aja deh kalo mau ke warung.”

Tapi setelah terdiam sejenak, Naya malah ketawa kecil sendiri. “Eh, tapi lucu juga sih anaknya. Raka tuh pinter banget roasting bapaknya. Untung ada dia, kalau nggak gue bisa trauma punya tetangga model begitu.”

kemudian ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah dapur, tapi dalam hati masih bergumam kesal: Sumpah ya, gue ilfil banget sama Om Om. Titik.

sesampainya di dapur Nayla mengambil sebuah gelas bening. Ia menuangkan air dari galon perlahan, suara gemericik air terdengar jelas di ruangan sunyi itu.

Tanpa pikir panjang, ia meneguk air itu sampai habis, dinginnya langsung mengalir di tenggorokan dan membuat tubuhnya sedikit lebih segar. Setelah selesai, ia meletakkan gelas di meja sambil menghela napas panjang.

“Hhh… lumayan. Kepala jadi agak enteng,” gumamnya lirih, lalu menatap kosong ke arah jendela yang tertutup gorden.

Setelah menaruh gelas di meja, Naya berjalan pelan menuju kamarnya. Langkahnya masih terasa berat, seakan tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari lelah pindahan kemarin. Ia mendorong pintu kamar yang setengah terbuka, lalu masuk sambil mengusap wajahnya.

Begitu sampai di dalam, ia langsung menjatuhkan diri ke atas kasur. “Hhh… enaknya kasur,” gumamnya sambil meregangkan badan. Matanya menatap langit-langit, kosong, seperti sedang memikirkan banyak hal sekaligus.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!