Tetangga Baru, Masalah Baru?

Naya buru-buru membuka pintu kontrakan, hampir saja kunci di tangannya jatuh karena panik. Begitu berhasil masuk, ia langsung menutup pintu rapat-rapat, lalu menjatuhkan diri ke lantai ruang tamu dengan napas masih terengah.

“Ihh, sumpah ya… masih ada aja orang yang begituan,” gerutunya sambil memeluk plastik nasi uduk erat-erat. Bulu kuduknya merinding, bukan karena takut, tapi karena geli campur kesal.

Ia menepuk-nepuk pipinya sendiri. “Astaga, Nay… baru pindah sehari, udah dapet tetangga genit model gitu. Kayak di drama-drama aja.”

Naya lalu menoleh ke plastik di tangannya, menghela napas panjang. “Untung aja nasi uduk gue selamet. Kalo sampai jatuh… bisa makin parah tuh modusnya.”

Perutnya tiba-tiba berbunyi kencang. Ia menepuk-nepuk perutnya sambil mendecak. “Duh, drama pagi-pagi begini bikin lapar dua kali lipat.”

Dengan cepat, Naya membuka plastik nasi uduk, aroma gurih langsung menyeruak. Ia meraih sendok sekali pakai, lalu menyuap sambil masih mengomel sendiri.

“Gila… itu om-om beneran pede banget sih. Mana gombalnya receh pula. Ihhh, merinding!”

Naya menyendok suapan terakhir nasi uduk, lalu bersandar di dinding sambil mengelus perut. “em… enak banget, parah. Fix! Ini bakal jadi langganan gue tiap pagi,” gumamnya dengan wajah puas.

Begitu sadar bungkus plastik dan sendok sekali pakai masih berserakan, Naya bangkit malas-malasan. “Oke, saatnya jadi anak kontrakan rajin.” Ia membawa semua sampah ke dapur, membuang ke tempatnya, lalu menyeka meja dengan tisu seadanya. Setelah dapur rapi lagi, Naya menghela napas panjang. “Yess… rumah kecil, perut kenyang, hidup pun tenang.”

Sementara itu, di luar, langkah kaki Arga terdengar mantap menyusuri jalan kompleks. Keringat tipis membasahi pelipisnya, kaos training yang dikenakan pun melekat di tubuh tegapnya. Meski napasnya teratur karena terbiasa lari, pikirannya melayang.

Ingatan tentang gadis di rumah sebelah muncul begitu saja. Gadis itu Naya.

Sore kemarin, saat Arga sedang angkat beban kecil di halaman rumahnya, ia mendengar suara gaduh dari arah kontrakan sebelah. Penasaran, ia menoleh. Di sana, Naya tampak sedang berjuang mengangkat sebuah kardus besar. Langkahnya goyah, wajahnya serius, tapi justru terlihat kocak karena bibirnya mengomel sendiri.

Arga hanya berdiri, menatapnya dalam diam. Senyum tipis sempat muncul di sudut bibirnya. “Gadis aneh,” batinnya waktu itu, lalu ia kembali ke latihannya tanpa banyak pikir.

Namun, pagi ini… lain cerita.

Barusan ia malah bertabrakan langsung dengan Naya. Wajah polosnya yang kaget, cara ia buru-buru minta maaf, bahkan ekspresi paniknya saat dipuji receh semua itu berputar di kepala Arga.

Ia tersenyum tipis di sela-sela larinya, kali ini lebih lama. “Lucu juga, tetangga baru,” gumamnya pelan, tapi wajahnya tetap dingin seperti biasa.

Langkah Arga makin mantap, tapi ada sesuatu di hatinya yang terasa ringan. Seperti ada hiburan kecil yang datang tiba-tiba di rutinitasnya yang monoton.

***

Siang itu, Naya bertekad menyelesaikan misi berikutnya: menata sisa barang-barang yang masih berantakan. Ia lalu menatap dapur kecil di pojok kontrakan dengan penuh semangat.

“Oke, dapur cantik, mari kita bikin kamu layak huni,” katanya sambil membuka kardus besar yang berisi alat masak.

Satu per satu, ia mengeluarkan piring plastik warna-warni, mug-mug dengan desain random, dan sendok garpu yang dikumpulkan sejak zaman kos dulu. “Hmm… piring biru buat makan sendiri, piring pink buat… ya nggak tahu, siapa tahu nanti ada tamu,” gumamnya sambil menyusunnya rapi di rak kecil dekat wastafel.

Wajan kecil yang mulai menghitam di bagian bawah juga ikut ia letakkan di kompor satu tungku. “Nih wajan, setia banget nemenin gue dari kos-kosan. Jangan pensiun dulu, ya.”

Begitu semua alat dapur rapi, Naya menepuk tangannya puas. “Yesss! Dapur sederhana ala chef kontrakan, sukses.”

Ia lalu kembali ke ruang tamu. Kardus lain sudah menunggu untuk dibongkar. Begitu dibuka, isinya bikin wajah Naya melembut beberapa bingkai foto kecil, boneka beruang lusuh, dan hiasan dinding sederhana.

Naya tersenyum saat memegang salah satu bingkai. Foto dirinya bersama sahabat SMA. “Aduh, kangen banget sama kalian,” gumamnya pelan. Ia menaruh bingkai itu di atas meja kecil. Satu bingkai lagi berisi foto keluarganya, yang akhirnya ia pasang di rak dinding.

“Lumayan, rumah jadi lebih hidup,” katanya sambil mundur beberapa langkah, menatap hasil karyanya.

Namun, matanya langsung berhenti di gorden ruang tamu yang kusam, warnanya sudah pudar, bahkan ada benang yang terurai di ujungnya. “Hmm… gini amat, ya. Bikin suasana rumah kayak horor.”

Tanpa pikir panjang, Naya mengambil gorden baru yang sudah ia beli dari pasar seminggu lalu. Warnanya krem lembut, sederhana tapi bersih. Ia membuka kursi lipat, lalu naik setengah hati-hati, setengah ngawur.

“Ya Allah, jangan sampe gue jatuh, baru juga pindah,” gumamnya sambil mengaitkan gorden baru ke rel. Sesekali ia harus meraih ujung kain yang susah dipasang, sampai tubuhnya hampir oleng.

Begitu gorden akhirnya terpasang, Naya turun sambil menghela napas lega. Ia menepuk-nepuk tangannya, lalu berdiri di tengah ruang tamu dengan wajah puas.

“Wah, beda banget! Ganti gorden jadi agak mendingan,” katanya, tersenyum lebar. Sinar matahari siang pun menembus lembut lewat kain gorden baru itu, membuat ruangan sederhana itu terasa lebih hangat.

Begitu semua rapi, Naya akhirnya menjatuhkan tubuhnya ke kasur tipis di kamar. Punggungnya langsung protes, rasanya pegal-pegal setelah seharian bongkar barang.

“Ya ampun… pindahan tuh bener-bener olahraga gratis,” gumamnya sambil meregangkan tangan ke atas.

Ia sempat berniat cuma rebahan sebentar, tapi begitu pipinya nempel bantal, matanya langsung kalah. Dalam hitungan menit, napasnya mulai teratur, wajahnya tenang, dan dunia pun terasa menjauh.

Di luar kamar, waktu terus berjalan. Matahari mulai bergeser, menyorot lembut lewat gorden baru yang tadi ia pasang. Kontrakan itu jadi lebih hidup, meski penghuninya terlelap.

Dari balik jendela, samar-samar terdengar suara laki-laki beraktivitas di halaman sebelah. Suara hantaman bola basket ke lantai, ritmenya teratur, diselingi teriakan kecil, “Yes!” setiap kali bola masuk ke ring. Sesekali, terdengar pula tawa rendah yang seolah bercampur dengan hembusan angin sore.

Itu suara Arga tetangganya yang terlihat cuek tapi entah kenapa auranya selalu bikin penasaran.

Naya di kamar berguling pelan, mendengkur kecil tanpa sadar. Dalam mimpinya, ia sedang duduk di dapur barunya, makan mie goreng sambil nonton drama Korea favorit. Sementara di dunia nyata, suara pantulan bola dan hembusan angin sore jadi latar yang seakan menghubungkan dua dunia sederhana kamarnya yang tenang dan halaman tetangganya yang penuh energi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!