Bab 3

Jakarta

Tak seperti biasanya, hari ini terasa lebih dingin dari sebelumnya. Arabella duduk di kursi rotan depan balkon apartemennya. Secangkir kopi hitam masih utuh, belum tersentuh sama sekali. Matanya menatap kosong pada langit kelabu.

Tangannya menggenggam layar ponselnya yang memantulkan pesan terakhir dari Nyx.

"Aktivator telah tiba. Awasi dia. Jangan melanggar protokol."

Arabella mengigit bibir bawahnya dan termenung memikirkan sesuatu.

"Jika Remon sudah dikirim, itu berarti Nyx sudah tidak percaya padaku. Dan dalam tiga hari... aku harus menyelesaikan misi ini."

"Apa yang harus aku lakukan." gumam Arabella dengan wajah bimbang.

#

#

Disisi lain

Marcello duduk di ruang bawah tanah rumah tua warisan ayahnya. Dinding ruangan itu penuh dengan layar dan akses rahasia dari sistem keamanan negara dan militer.

Dibelakang dia itu berdiri seorang pria berusia sekitaran 40 tahun ke atas. Ia merupakan mantan rekan ayahnya yang kini jadi Informan rahasia.

Pria itu menyerahkan sebuah berkas sembari berucap dengan wajah dingin.

"Wanita itu bukan hanya sekedar cantik. Dia dilatih untuk menyusup, memikat, lalu menghancurkan targetnya."

Marcello mengangguk pelan mendengar ucapan pria paruh baya itu. Ia tidak marah mendengar kenyataan itu, hanya saja Ia kecewa dengan kebohongan Arabella.

"Lalu mengapa aku berharap dia benar-benar tidak ingin membunuhku." gumam Marcello menatap berkas itu.

Ia mengeluarkan ponselnya dan meminta Arabella menemuinya di restoran tempat pertama kali mereka bertemu.

#

#

#

Di restoran

Arabella datang mengenakan mantel panjang berwarna biru. Ia menyembunyikan pistol di baliknya.

Dia tahu, Marcello bisa saja menyiapkan sebuah jebakan setelah mengetahui kebohongannya. Tapi Arabella tetap datang memenuhi undangan pria itu.

Marcello duduk di meja sudut menunggu kedatangannya. Wajahnya terlihat sangat tenang, tapi tangan kirinya bersiap menekan sebuah tombol darurat di bawah meja kalau saja Arabella berniat membunuhnya.

"Aku pikir kamu sudah bosan menyewa ku." ujar Arabella sembari duduk di samping pria itu.

Marcello menatap wanita itu dalam-dalam dan mengamati raut wajahnya.

"Sudah berapa banyak orang yang kau bunuh dengan tangan mu, Bella?"

Hening

Arabella menatap wajah datar dan dingin Marcello. Ia tidak menyangka kalau pertanyaan pria itu akan mengacaukan pikirannya.

"Kalau aku jawab tidak tahu, apa kau masih akan membayar ku untuk makan malam ini?"

"Tergantung. Apakah aku pria berikutnya yang akan menjadi target mu?"

Arabella menunduk dan berucap dengan pelan. "Mungkin saja."

Marcello tertawa. Tapi tawa itu terdengar pahit dan penuh dengan kekecewaan.

#

#

#

Di luar restoran

Remon mengamati suasana di dalam restoran dari kejauhan. Ia menyalakan sebatang rokok dan membuka jaket hitam yang menutupi sabuk penuh jarum dan senjata tersembunyi di tubuhnya.

"Target dan aset sedang duduk bersama."

Dia menarik napas. Lalu mengucapkan tiga kata dari headset-nya.

"Siap untuk eksekusi."

#

#

#

Restoran tempat mereka makan malam sudah mulai gelap. Tapi Marcello belum mengijinkan Arabella pergi. Ia memutuskan membawa wanita itu ke sebuah vila pribadi keluarganya di luar kota, tempat yang dulu milik ibunya.

"Mengapa kamu membawaku kesini?" tanya Arabella dengan wajah waspada.

"Kau tidak perlu khawatir. Aku tidak akan membunuh mu setelah mengetahui kebohongan mu."

"Hanya tempat ini yang bisa membuatku jujur. Dan aku pikir kau juga akan melakukan hal yang sama."

Arabella mengangguk dan mengikuti langkah Marcello dengan ragu. Vila itu sunyi. Hanya suara detak jam tua dan gemuruh badai dari kejauhan.

Marcello membawa Arabella ke ruang tamu dan mengambil sebotol wine. Ia menuangkan wine ke dua gelas, lalu duduk di hadapan Arabella.

"Siapa nama asli mu?" tanya Marcello tiba-tiba.

"Kau menyewa wanita bernama Arabella. Kau hanya boleh tahu sampai disitu saja."

 "Tapi aku ingin tahu lebih dalam sosok wanita dibalik nama itu." balas Marcello dengan tatapan tenang.

Hening beberapa saat.

"Tak ada siapapun dibalik nama itu. Yang kau lihat dan tahu adalah semua yang tersisa."

Arabella menatap Marcello dengan wajah tenang. Namun, gerak-gerik tak nyaman wanita itu terlihat jelas di mata Marcello.

"Jawaban yang akan diucapkan oleh orang yang hidup dalam kebohongan selama hidupnya."

Arabella hanya diam dan menikmati wine yang disajikan pria itu.

Tak beberapa lama terdengar suara hujan deras dari luar. Mereka melihat kaca vila diselimuti air hujan dan angin kencang.

Marcello memutuskan menghidupkan perapian menghangatkan tubuh mereka. Mereka duduk disana sembari menatap kearah api kecil yang menari-nari didepan mereka.

Entah sudah berapa gelas wine yang masuk ke dalam tubuh mereka. Tapi mereka tetap sadar tanpa mabuk.

"Ayahku dibunuh beberapa tahun lalu," Marcello tiba-tiba mengungkapkan satu hal yang menarik atensi Arabella.

"Empat tahun lalu. Ayahku dibilang bunuh diri. Tapi aku tahu dengan jelas, kalau ayahku sedang dibungkam. Karena Ia ingin keluar dari bisnis senjata terselubung sejak lama."

"Mengapa kau menceritakan hal ini padaku?" tanya Arabella menutupi rasa terkejutnya.

"Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba mengungkapkan rahasia pahit ini padamu."

"Mungkin saja karena aku percaya padamu."

Arabella mengigit bibirnya. Ia merasa kepercayaan Marcello bisa saja jadi tali yang akan menjerat lehernya sendiri.

"Kalau aku bilang aku bukanlah wanita baik-baik, apa kamu akan percaya?"

Marcello tersenyum pahit. "Aku juga bukan pria baik. Tapi bukan itu yang membuatku tertarik padamu."

Deg

Arabella termenung mendengar jawaban pria itu.

Arabella tiba-tiba berdiri dan melangkah kearah balkon vila.

"Di luar hujan deras, apa yang kamu lakukan?" tanya Marcello saat melihat wanita itu melangkah kearah balkon.

"Aku ingin memastikan sesuatu." sahut Arabella sembari menatap lurus kearah gelapnya malam.

Arabella memeluk tubuhnya dan mengamati sekitar vila. Marcello tiba-tiba mendekatinya dan menyelimuti bahunya dengan selimut kecil.

"Kenapa harus aku?" tanya Marcello dengan suara pelan.

"Dari semua orang yang bisa kau dekati, kenapa harus aku yang menjadi target mu?"

Arabella membalikkan tubuhnya dan menatap Marcello dengan wajah tenang.

"Karena kau punya sesuatu yang harus dihancurkan."

Dari tatapan mata wanita itu, Marcello bisa melihat tatapan penuh keseriusan disana. Arabella tidak main-main, di matanya ada rahasia dan bahaya yang sewaktu-waktu bisa meledak.

Marcello menyentuh pipi putih wanita itu dan berucap dengan suara lembut. "Mungkin aku sudah mengetahui identitas mu, tapi aku ingin kamu tetap disamping ku."

Untuk sesaat, Arabella larut dalam kebersamaan mereka dan melupakan segalanya. Yang ada hanya napas Marcello, hangat tubuhnya dan rasa bersalah yang menyesakkan.

Saat Remon akan membidik mereka berdua dari kejauhan. Arabella tiba-tiba menarik tangan Marcello masuk ke dalam vila.

#

#

#

Di dalam kamar

Mereka duduk di atas ranjang dengan posisi saling membelakangi dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Perlahan mereka membalikkan tubuh mereka dan saling menatap dengan intens.

Marcello menyentuh pipi Arabella dengan lembut. "Bella, kau bukan mesin. Aku bisa merasakan apa yang kau rasakan."

Air mata kecil tiba-tiba menetes dari sudut mata Arabella. Dia benci terlihat lemah, tapi untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, Ia tidak ingin berpura-pura kuat.

"Mengapa kau membuatku bertahan, padahal kehadiran ku untuk menghancurkan mu."

Marcello tersenyum tipis dan tiba-tiba mengecup kening wanita itu dengan lembut. Tak ada desakan atau ciuman penuh napsu. Sentuhan pria itu terasa jauh lebih dalam dari apapun.

"Meskipun kau datang untuk menghancurkan ku, aku ingin keberadaan ku menjadi alasanmu untuk berhenti." sahut Marcello dengan suara lembut.

Ucapan pria itu membuat hati Arabella lebih tenang selama beberapa saat. Ia tertidur di dalam pelukan pria itu dengan napas tenang. Marcello menatapnya dalam diam.

Marcello tahu wanita itu membawa bahaya. Tapi untuk malam ini, Ia ingin melupakan identitas wanita itu. Ia ingin menatap wanita itu seperti waktu pertama mereka bertemu.

Dari kejauhan seorang pria tersenyum menyeringai dengan kamera thermal.

"Kau benar-benar larut dalam sandiwara yang kau ciptakan sendiri, Bella. Waktumu hampir habis, tapi kau tetap menyia-nyiakan sisa kesempatan yang ada."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!