Perintah itu menggantung di udara seperti vonis mati. "Bawa kokinya padaku. Besok pagi."
Isabella bangkit berdiri, gaun merahnya mengalir seperti darah segar di lantai marmer, dan meluncur keluar dari restoran tanpa menoleh ke belakang. Marco Si Banteng memberinya satu tatapan terakhir pada Leo, tatapan yang menjanjikan bahwa tidak ada jalan untuk lari sebelum mengikuti bosnya. Mereka pergi dengan meninggalkan keheningan yang seribu kali lebih berat dari sebelumnya.
Untuk sesaat, tidak ada yang bergerak. Para tamu membeku, manajer restoran Tio tampak seperti arwah yang lupa cara kembali ke tubuhnya. Lalu, seolah bendungan pecah, kekacauan meletus. Beberapa tamu buru-buru melemparkan uang ke meja dan pergi, tidak ingin menjadi saksi dari apa pun yang akan terjadi selanjutnya. Yang lain mulai berbisik dengan panik. Tio berlari menghampiri Leo, wajahnya pucat dan putus asa.
"Chef! Apa yang kau lakukan?! Kau menantang Isabella Rosales! Kita harus pergi, tutup restoran, lari ke luar negeri!" seru Tio, menarik-narik lengan kemeja Leo.
Leo dengan tenang melepaskan genggaman Tio. Ia menatap restorannya yang kini porak-poranda oleh ketakutan. Orkestranya telah hancur. Kuilnya telah dinodai. Anehnya, di tengah kepanikan itu, ia merasakan ketenangan yang dingin. "Pulangkan semua tamu, Tio. Beri mereka pengembalian uang penuh. Malam ini, The Alchemist's Table tutup."
"Tutup? Chef, kita harus lari!"
"Aku tidak akan lari dari dapurku sendiri," kata Leo, suaranya datar. Ia berbalik dan berjalan kembali ke dapurnya, meninggalkan Tio yang memanggil-manggil namanya dengan frustrasi.
Malam itu, Leo tidak pulang. Setelah semua staf pergi dengan tatapan cemas dan ucapan semoga berhasil yang terdengar seperti ucapan selamat jalan, ia sendirian. Ia melakukan apa yang selalu ia lakukan di saat dunianya terasa akan runtuh, leo membersihkan restoran sendirian, hal itu akan memberikannya ketenangan sesaat namun juga membuatnya fokus. Ia menggosok setiap permukaan meja stainless steel hingga berkilau. Ia membongkar, membersihkan, dan merakit kembali kompor gasnya. Ia mengasah setiap pisaunya dengan batu asah, gerakan maju-mundurnya yang seirama menjadi sebuah mantra. Setiap gesekan baja di atas batu adalah cara untuk menajamkan pikirannya yang kalut.
Ia tidak naif. Ia tahu siapa Isabella. Ia tahu perintah itu bukanlah undangan untuk minum teh. Namun, di dalam dirinya, ada sebuah prinsip yang lebih keras dari baja pisaunya. Prinsip bahwa seorang seniman tidak boleh mengorbankan karyanya demi menyenangkan seorang diktator jahat. Malam itu, ia telah mempertahankan prinsip itu. Apa pun yang terjadi besok pagi adalah konsekuensinya. Sambil mengeringkan pisaunya yang terakhir, ia menatap pantulan wajahnya di bilah yang mengilap. Wajah tampan seorang chef. Wajah seseorang yang keesokan paginya mungkin akan memasak hidangan terakhirnya.
Pukul delapan pagi, sebuah sedan hitam tanpa plat nomor berhenti dengan mulus di depan restorannya yang masih tutup. Pintu belakang terbuka, dan Marco keluar, mengenakan setelan yang sama seperti semalam. Ia tidak mengetuk. Ia hanya berdiri di sana, kehadirannya lebih mencekam daripada alarm kebakaran.
Leo sudah siap. Ia mengenakan seragam chef-nya yang paling bersih, seolah hendak menghadapi peristiwa paling penting dalam hidupnya. Ia menyerahkan kunci restoran pada Tio yang telah menunggunya dengan mata merah sejak subuh.
"Jaga tempat ini, Tio," kata Leo pelan.
"Chef..." suara Tio tercekat.
"Buatkan aku kopi jika aku kembali," tambah Leo dengan senyum tipis, lalu berjalan keluar menghampiri takdirnya.
Perjalanan itu hening. Mobil itu meluncur di jalanan kota yang sibuk, sebuah mobil kedap suara yang memisahkan Leo dari dunia normal. Orang-orang berjalan ke kantor, anak-anak berangkat ke sekolah, kehidupan berjalan seperti biasa, tidak menyadari drama sunyi yang terjadi di dalam mobil mewah ini. Marco menyetir dengan fokus, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Keheningannya adalah sebuah pernyataan 'Leo bukan tamu', ia adalah paket yang sedang diantar.
Mereka tidak menuju ke sebuah vila tersembunyi atau gudang tua seperti di film-film. Mereka menuju ke jantung kota, berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit yang terbuat dari kaca hitam dan dinding baja, menjulang angkuh di atas bangunan lainnya. "The Empress Tower". Milik Isabella, tentu saja.
Lift pribadi membawa mereka langsung ke lantai teratas yaitu penthouse. Saat pintu lift terbuka, Leo disambut oleh pemandangan yang membuatnya berhenti sejenak. Ruangan itu adalah sebuah mahakarya desain minimalis. Dindingnya terbuat dari kaca yang menjulang dari lantai ke langit-langit, menyajikan panorama luas kota yang terhampar di bawah seperti papan catur raksasa milik Isabella. Perabotannya sedikit, dipilih dengan selera yang sempurna dan harga yang tak terbayangkan. Lukisan abstrak raksasa tergantung di satu dinding, warnanya yang kelam dan kacau menjadi satu-satunya sumber "mencolok" di ruangan yang begitu steril. Ruangan itu indah, kuat, tetapi dingin. Sangat dingin. Seperti mausoleum yang mewah.
Isabella berdiri di dekat jendela, membelakangi mereka, menatap kerajaannya. Hari ini ia tidak mengenakan gaun merah darah. Ia memakai celana panjang sutra hitam dan blus putih sederhana, rambutnya diikat ekor kuda yang rapi. Tanpa gaun perang dan suasana intimidatif restoran, ia tampak lebih muda, hampir seperti wanita biasa. Hampir.
"Tinggalkan kami, Marco," katanya tanpa berbalik.
Marco mengangguk sekali pada Leo, sebuah isyarat yang bisa berarti 'semoga berhasil' atau 'selamat tinggal', lalu pergi, pintu lift menutup di belakangnya dengan desisan pelan.
Kini hanya ada mereka berdua, di puncak dunia.
"Pemandangan yang indah, bukan?" Isabella akhirnya berbicara, suaranya tenang. "Dari sini, semuanya terlihat begitu teratur. Begitu kecil." Ia berbalik menghadap Leo, matanya menilai. "Semalam kau menolak perintahku di wilayahmu. Kau menjaga kesucian kuilmu itu. Aku menghargainya."
Leo diam, menunggu.
"Sekarang," lanjut Isabella, "kau berada di wilayahku. Di kuilku." Ia memberi isyarat ke arah sebuah ruangan lain yang terhubung dengan ruang utama. Sebuah dapur.
Leo melangkah masuk dan lagi-lagi terkesima. Dapur itu adalah impian setiap chef. Kompor induksi canggih, oven konveksi ganda, kulkas walk-in dengan pintu kaca, dan satu set pisau Jepang yang harganya mungkin setara dengan gaji Leo setahun. Semuanya berkilau. Semuanya sempurna. Dan semuanya... belum pernah dipakai. Tidak ada goresan di talenan, tidak ada noda di kompor, tidak ada aroma apa pun selain aroma pembersih dan barang baru. Dapur ini memiliki segalanya, kecuali jiwa.
"Aku lapar," kata Isabella, menyandarkan tubuhnya di ambang pintu, menyilangkan tangan di dada. "Masakkan aku sarapan."
Ini dia. Tesnya. Bukan sebuah ancaman fisik, melainkan sebuah tantangan yang lebih dalam. "Apa yang Anda inginkan?" tanya Leo.
Isabella tersenyum tipis. "Kejutkan aku. Kau seorang alkemis, bukan? Ubahlah apa pun yang kau temukan di sana menjadi emas."
Leo menarik napas dalam-dalam. Ini bukan lagi tentang menolak. Ini tentang membuktikan. Ia membuka kulkas raksasa itu. Di dalamnya ada bahan-bahan paling mewah dari seluruh dunia. Telur angsa, jamur truffle hitam, kaviar Beluga, salmon dari Skotlandia. Tapi di sudut rak paling bawah, ia menemukan sesuatu yang sederhana, selusin telur ayam kampung biasa, beberapa tomat ceri, dan seikat daun basil segar.
Ia tersenyum dalam hati. Emas tidak selalu harus berkilau.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia mulai bekerja. Gerakannya yang tadinya sedikit kaku karena gugup kini menjadi cair dan penuh percaya diri. Ia mengambil alih dapur steril itu. Suara pertama adalah kertak pisaunya yang memotong bawang dengan kecepatan kilat. Lalu desis minyak zaitun di atas wajan. Ia memecahkan tiga butir telur ayam kampung ke dalam mangkuk, mengocoknya dengan garpu hingga sedikit berbusa—tidak terlalu banyak. Ia tidak membuat hidangan yang rumit. Ia akan membuat frittata sederhana.
Isabella tidak beranjak dari tempatnya. Ia memperhatikan setiap gerakan Leo dengan intensitas yang aneh. Ia melihat bagaimana jemari pria itu menari di atas bahan-bahan, bagaimana bahunya yang tegang menjadi rileks saat ia fokus pada pekerjaannya. Aroma bawang yang ditumis, diikuti oleh aroma tomat yang mulai matang dan wangi basil yang segar, perlahan mulai mengisi apartemen yang dingin itu. Untuk pertama kalinya, penthouse itu memiliki aroma rumah. Aroma kehidupan.
Leo bekerja dalam diam, menuangkan adonan telur ke dalam wajan, memasukkannya ke dalam oven selama beberapa menit, dan menyiapkannya di atas piring putih sederhana. Sebuah frittata yang mengembang sempurna, berwarna keemasan, dihiasi bintik-bintik merah tomat dan hijau basil.
Ia meletakkan piring itu di atas meja marmer di tengah ruangan. Di sampingnya, ia menempatkan segelas jus jeruk yang baru ia peras dan sepotong roti panggang yang ia olesi mentega.
Isabella berjalan mendekat dan duduk. Ia menatap hidangan sederhana itu untuk waktu yang lama. Lalu, ia mengambil garpu, memotong sepotong kecil frittata, dan memasukkannya ke dalam mulut.
Dan di sanalah Leo melihatnya. Sesuatu yang tidak pernah ia duga akan ia lihat. Saat Isabella mengunyah, kekerasan di wajahnya luntur. Ketegangan di bahunya mengendur. Matanya yang biasanya tajam dan dingin, untuk sesaat, tampak berkaca-kaca, menatap ke kejauhan seolah ia baru saja merasakan sebuah kenangan yang telah lama terkubur. Selama tiga puluh detik yang terasa abadi, ia bukan lagi "The Empress". Ia hanyalah seorang wanita yang menyantap sarapan yang mengingatkannya pada sesuatu yang telah hilang.
Leo melihat celah itu. Kerapuhan yang tersembunyi di balik benteng baja.
Isabella menghabiskan setiap potong di piringnya dalam diam. Setelah selesai, ia meletakkan garpunya, dan topengnya kembali terpasang. Kelembutan sesaat tadi telah lenyap, digantikan oleh tatapan kalkulasi yang tajam.
"Keahlianmu," katanya pelan, "terlalu berharga untuk sekadar restoran."
Leo menunggu, jantungnya berdebar kencang. Ia tidak tahu apa yang akan datang selanjutnya. Tawaran pekerjaan? Ancaman?
Isabella mendorong kursinya ke belakang dan berjalan ke sebuah meja kerja dari kayu eboni. Ia mengambil sebuah map tipis berwarna cokelat dan kembali ke meja makan. Ia tidak membukanya. Ia hanya mendorongnya melintasi permukaan marmer yang dingin hingga berhenti tepat di depan Leo.
"Semalam, kau menunjukkan kepadaku bahwa kau memahami nilai dari sebuah karya. Kau tahu bagaimana melindungi asetmu," kata Isabella, matanya mengunci mata Leo. "Aku punya aset yang sedang terancam. Sebuah masalah yang butuh solusi yang... elegan."
Jari-jari Leo ragu-ragu, lalu membuka map itu. Isinya bukan kontrak kerja atau dokumen keuangan. Hanya ada satu lembar foto berukuran 8x10. Foto seorang pria paruh baya dengan rambut keperakan dan senyum dingin yang tidak mencapai matanya. Di bawah foto itu ada sebuah nama, Viktor Rostova.
Leo mendongak, menatap Isabella dengan bingung.
Isabella mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya kini turun menjadi bisikan konspirasi yang berbahaya. "Kau bukan hanya seorang koki, Leo. Aku bisa melihatnya dari caramu berdiri, caramu berpikir. Kau melihat dunia secara berbeda. Kau melihat kelemahan dalam sistem."
Ia mengetuk foto Viktor Rostova dengan satu kuku jarinya yang dipernis sempurna.
"Jadi, beritahu aku, Alkemis." Pertanyaannya bukanlah sebuah permintaan, melainkan sebuah perintah. Sebuah tes akhir yang akan menentukan segalanya.
"Menurutmu, apa kelemahan pria ini?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Alphonse Elric
Mesti dibaca ulang!
2025-09-13
1