Hujan turun deras di luar jendela. Bau obat dan disinfektan menyengat di udara. Alia duduk di kursi plastik keras, tubuhnya gemetar menahan cemas. Di balik pintu ICU, ibunya tengah berjuang antara hidup dan mati. Biaya operasi yang mencapai ratusan juta tak mungkin bisa ia tanggung.
Tiba-tiba, suara langkah sepatu hak tinggi terdengar mendekat.
"Alia," ucap Mery, kakak tirinya, dengan nada dingin.
Alia menoleh. Wajah Mery terlihat flawless seperti biasa, tapi ekspresinya sinis dan tak berperasaan.
"Kalau kamu nggak ada uang buat operasi ibu kamu, dia bakal diusir dari rumah sakit dan mati di jalanan," ucap Mery tajam, menyilangkan tangan di dada. "Dokter kasih waktu cuma 2x24 jam."
Alia menunduk. Matanya mulai memerah. "Tolong, Mer... bantu aku. Aku nggak tahu harus cari ke mana lagi. Aku bahkan nggak punya satu juta pun sekarang..."
Mery mendengus, lalu mendekat dan duduk di sebelahnya. Ia mencondongkan tubuh, berbisik dengan suara licik:
"Aku kasih kamu kesempatan, Alia."
Alia menatapnya bingung.
"Gantikan aku tidur dengan seseorang."
"Apa?" Alia nyaris berteriak. Jantungnya berdebar kencang.
"Ssst... jangan norak," potong Mery cepat. "Kamu cuma perlu sekali. Satu malam. Setelah selesai kamu langsung keluar dari kamar hotel itu sisanya biar aku yang urus.
"Tidak mungkin... Aku bukan perempuan seperti itu!"
Mery tersenyum miring. "Tapi kamu perempuan yang butuh 140 juta, kan?"
Alia tercekat.
"Aku kasih uangnya langsung, setelah kamu selesai tidur dengannya 150 juta. Cash. Deal?" Mery menyodorkan selembar kertas—alamat dan waktu pertemuan tertulis di sana.
“Ini alamat hotelnya.” Mery menyelipkan secarik kertas di tangan Alia. “Jam sepuluh malam. Datang, masuk kamar 1703. Selesai. Uangnya langsung kukasih. Besok kamu bisa bayar operasi, dan ibu kamu selamat.”
Alia menatap kertas itu, napasnya sesak.
“Pilihannya cuma dua, Alia,” suara Mery menjadi lebih lembut tapi penuh racun. “Selamatkan ibumu… atau liat dia mati dengan mata kepalamu.”
Mery berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan aroma tajam dan kesunyian yang menampar hati Alia lebih keras dari apa pun.
Alia menggenggam kertas itu erat. Ia memandang ke arah ruang ICU. Di balik kaca, ibunya terbaring dengan selang di hidung, tubuh ringkih, nyaris tak bergerak.
Dia menutup mata.
Tangisnya pecah diam-diam, sementara dalam hati, ia tahu: malam ini, hidupnya akan berubah selamanya.
Alia mengalami pergulatan batin di lorong rumah sakit. Di balik pintu kaca itu, ibunya satu-satunya orang yang ia punya di dunia—terbaring tak sadarkan diri.
Ibunya di diagnosa dokter: kanker payudara. Butuh operasi segera, biayanya seratus empat puluh juta rupiah. Jumlah yang tak akan ia dapatkan meski menggadaikan seluruh hidupnya.
Alia menatap layar ponsel. Puluhan pesan terkirim ke teman-teman lama, kenalan, bahkan dosen kuliahnya dulu. Semua berujung pada satu jawaban: Maaf, aku tidak bisa bantu.
Hatinya berteriak, Tuhan, tolong jangan ambil Ibu…
Namun demi sang ibu, Alia akhirnya menguatkan hati.
Malam itu, ia melangkah pergi membawa alamat di tangan—ke tempat di mana takdir kelam menunggunya.
----
Leonardo Dirgantara, seorang CEO muda dan karismatik dari perusahaan besar , menghadiri pesta perjamuan eksklusif di sebuah hotel bintang lima. Acara itu penuh dengan pengusaha, selebriti, dan tokoh penting.
Leonardo dikenal dingin dan tertutup, tetapi malam itu ia tampak sedikit lebih santai, tidak tahu bahwa ada seseorang yang diam-diam ingin menghancurkan nya malam ini.
"Kamu lihat laki-laki yang di sana?"
"Iya, Tuan."
"Masukkan obat ini ke dalam minumannya."
"Tapi, Tuan... saya nggak berani."
"Saya beri kamu uang ini. Bagaimana?"
Sejenak pelayan muda itu ragu, tapi pandangannya tak lepas dari amplop tebal yang disodorkan. Ia tahu risikonya, tapi jumlah uang itu bisa menutupi kebutuhan keluarganya selama berbulan-bulan.
"Baik, Tuan."
Dengan tangan gemetar, pelayan itu membawa gelas wine ke meja tempat Leonardo Dirgantara duduk, dikelilingi oleh kolega dan mitra bisnis. Ia pura-pura tersenyum saat menaruh gelas itu, lalu mundur cepat, jantungnya berdebar keras.
Leonardo mengangkat gelasnya santai, mengira itu hanya refill biasa. Ia meneguknya perlahan sambil menyimak percakapan. Tapi beberapa menit kemudian, tubuhnya terasa berbeda lebih panas, napasnya mulai tak teratur, dan pikirannya berkabut.
"Ada apa ini...?" bisiknya pelan. Ruangan mulai terasa sempit. Suara-suara bercampur menjadi dengung yang tak jelas. Ia berdiri, mencoba bersikap tenang, lalu meninggalkan ruangan perjamuan menuju lorong hotel yang sepi.
Langkah kakinya limbung, napasnya berat. Ia harus segera ke kamar atau setidaknya tempat yang aman.
"Diego, tolong aku..."
"Anda di mana, Tuan?"
"Di dekat lorong... toilet hotel."
Suara Leonardo terdengar berat dan terputus-putus saat ia menekan tombol komunikasi kecil di dalam jasnya. Nafasnya masih memburu, keringat membasahi pelipisnya, dan dunia di sekelilingnya berputar seperti pusaran air.
Diego, asisten pribadi sekaligus pengawal kepercayaannya, langsung bergerak cepat dari luar area perjamuan. Ia mengenali nada suara Leonardo itu bukan nada biasa. Itu adalah suara seseorang yang sedang diserang... atau dijebak.
Leonardo bersandar pada dinding dingin di lorong sempit dekat toilet hotel. Tangannya meraba dada, mencoba menenangkan detak jantung yang semakin tak terkontrol. Ia tahu ini bukan sekadar kelelahan. Ada yang dimasukkan ke dalam tubuhnya dan ia tak tahu seberapa parah efeknya.
Pintu-pintu kamar di sepanjang lorong terlihat mirip, dan satu di antaranya terbuka sedikit.
Tanpa pikir panjang, tubuhnya bergerak sendiri. Ia mendorong pintu itu kamar dan masuk dalam gelap, berharap bisa beristirahat sejenak, atau sekadar menjauh dari keramaian. Tapi saat pintu itu tertutup di belakangnya… ia tak tahu bahwa nasibnya akan berubah selamanya.
Sementara itu, Diego tiba di lorong hanya untuk menemukan jejak terakhir tuannya: jas yang tertinggal di lantai, dan suara tawa samar dari perjamuan yang semakin jauh.
Ia menatap pintu kamar yang tertutup, bibirnya bergumam, "Tuan… Anda di mana sebenarnya?"
Leonardo berjalan kearah kamar yang telah
Tapi saat membuka pintu kamar dengan angka 1703 yang sedikit terbuka, ia tak sadar bahwa itu bukan kamarnya. Kepalanya semakin pening, tubuhnya semakin panas... dan dalam keadaan setengah sadar, ia masuk ke dalam kegelapan.
Di dalam kamar hotel Alia duduk di pinggir ranjang. Gaun sutranya jatuh lembut hingga lutut. Ia menunggu seseorang yang dijanjikan kakaknya akan datang malam ini. Tapi janji itu terasa hampa. Sudah lewat satu jam, dan tak ada kabar.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka perlahan. Alia menoleh, tapi tidak melihat wajah siapa pun. Hanya sosok tinggi besar yang masuk dalam gelap, tanpa suara.
"Maaf... Anda yang dijanjikan oleh kakak saya?" bisiknya gugup.
Tak ada jawaban.
Tapi sosok itu berjalan mendekat. Nafasnya terdengar berat. Alia merasa jantungnya berdegup kencang, tapi ia tak bergerak.
Hening menyelimuti kamar itu. Dan dalam gelap, di antara kebingungan dan desakan hasrat yang tak terkendali, malam itu menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka rencanakan.
Diego berlari menyusuri lorong hotel, napasnya berat tapi langkahnya tak melambat sedikit pun. Tangannya menggenggam earpiece di telinganya, berharap suara Leonardo kembali terdengar. Tapi yang ia dapatkan hanya sunyi... dan statik.
"Tuan... Tuan Leonard, jawab saya. Di mana Anda sekarang?"
Tidak ada balasan.
Matanya bergerak cepat menelusuri sekitar. Lorong itu remang, dan hanya lampu darurat yang menyala. Ia menemukan sesuatu di dekat dinding—sepotong sapu tangan dengan inisial "L.D." dan satu kancing jas yang terlepas.
"Ini milik Tuan..." gumamnya, semakin cemas.
Ia segera menuju ke arah deretan kamar terdekat. Semua tampak tertutup.
"Tapi... di mana, Tuan?" tanya Diego dengan suara yang mulai bergetar, mencoba tetap tenang meski pikirannya sudah dipenuhi kemungkinan terburuk.
Ia berdiri di depan kamar 1703, tatapannya tak lepas dari celah kecil di pintu. Tak ada suara dari dalam. Tak ada gerakan. Tapi sistem pelacak menunjukkan—Leonard ada di dalam sana.
Diego mengangkat tangan, hendak mengetuk, tapi ragu. Akhirnya Diego memutuskan untuk menunggu kabar dari tuannya dan meninggalkan hotel itu.
Sementara itu Leonardo jatuh tertidur tak lama setelah malam itu berakhir. Nafasnya mulai teratur, keringat dingin membasahi pelipisnya, dan efek obat perlahan-lahan memudar. Ia tak tahu apa yang baru saja terjadi sepenuhnya—semuanya seperti mimpi kabur yang bercampur antara kenyataan dan ilusi. Dalam tidurnya, tubuhnya tenang, tapi pikirannya masih terperangkap dalam kekosongan gelap.
Alia duduk di sisi ranjang, mengenakan kembali gaun sutranya yang sedikit kusut. Matanya menatap kosong ke tubuh lelaki asing yang tertidur di hadapannya—lelaki yang tidak ia kenal, namun kini menyimpan bagian dari dirinya.
Tangannya gemetar saat meraih tas kecil di meja. Ia menghela napas panjang, mencoba menahan air mata. Ini bukan pertama kalinya ia merasa hancur, tapi ini... berbeda. Kali ini, ia menyerahkan dirinya bukan karena cinta, melainkan karena terpaksa.
Namun ia tak bisa berhenti memikirkan satu hal: Ibu.
"Ibu harus hidup..." bisiknya pelan, sebagai mantra penguat.
Alia meninggalkan kamar 1703 dengan langkah cepat namun hati-hati. Ia tak ingin bertemu siapa pun. Ia menyusuri lorong sepi hotel dengan dada sesak, menahan air mata agar tak tumpah sebelum waktunya.
Di lobi hotel, seorang wanita sudah menunggunya. dengan senyum datar yang penuh sinis. Mery, kakak tirinya.
"Sudah selesai?" tanyanya, datar dan tanpa empati.
Alia hanya mengangguk pelan, tak sanggup bicara. Mery mengangguk, lalu menyodorkan amplop besar.
"Seratus lima puluh juta. Seperti yang dijanjikan. Aku udah transfer sisanya ke rekeningmu."
Aliaa menerima amplop itu dengan tangan gemetar.
Alia menunduk. Dadanya sakit bukan karena lelah, tapi karena merasa dirinya baru saja mengkhianati dirinya sendiri. Tapi satu hal ia tahu pasti: ia harus menyelamatkan ibunya. Apa pun harganya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia pergi, meninggalkan hotel, membawa rasa hampa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Dia benar-benar bukan level-ku... tidur dengan pria yang nyaris enam puluh lima tahun bikin mual saja," ucap Mery dengan nada sinis sambil melirik ke arah lift yang baru saja menutup.
"Cuma orang seperti Alia yang pantas tidur dengannya," lanjutnya, matanya menyipit penuh ejekan.
Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada staf hotel yang memperhatikan, lalu dengan cepat menaiki lift dan menuju lantai delapan belas—tempat kamar 1703 berada.
Langkahnya ringan, licik. Ia tahu persis bahwa Alia sudah keluar kamar tak lama sebelumnya.
Sesampainya di kamar, ia membuka pintu yang belum terkunci, masuk pelan, dan melihat pria itu masih tertidur di ranjang. Wajahnya tenang dalam tidur, dada naik-turun perlahan.
Mery tersenyum kecil dan berbisik, "Lelaki tua kaya... kau milikku sekarang."
Ia pun merebahkan diri di samping pria itu, memperbaiki posisi selimut, dan menyandarkan kepala di lengan lelaki itu seolah mereka baru saja berbagi malam penuh gairah. Ia tak peduli siapa dia sebenarnya—yang penting, ia akan mengaku sebagai perempuan yang tidur dengannya semalam.
Namun saat pria itu mulai menggeliat dan menghadap kearahnya... senyuman puas Mery langsung memudar.
Pria itu... Dewasa. Tampan. Karismatik.
Matanya tajam, rahangnya tegas, dan sorot tatapannya—meski masih lelah—penuh wibawa. Ini bukan pria tua yang berjanji bertemu dengannya. Bukan pria pengusaha uzur yang katanya pengin "memanjakan wanita muda".
Ini... jauh dari yang ia duga.
"Siapa kamu?" tanya pria itu, suaranya serak namun penuh kendali.
Mery tercekat. Tapi refleks aktingnya bekerja cepat.
"Aku... wanita yang bersamamu semalam," jawabnya dengan suara manja dan senyum terpaksa.
Leonardo menyipitkan mata, mencoba mengingat. Tapi wajah ini… tidak familiar. Tidak ada koneksi, tidak ada getaran seperti saat ia menyentuh gadis semalam.
"Aku rasa... bukan kamu," ucap Leonardo tajam, sambil bangkit duduk.
Mery mulai panik. "Apa maksudmu? Kita habiskan malam bersama, kamu lupa ya? Mungkin kamu... terlalu mabuk semalam?"
Namun Leonardo menatapnya dalam-dalam, lalu berdiri dan mengambil jasnya. Ia tak mengatakan sepatah kata pun. Gerakannya tenang, tapi penuh tekanan—seperti badai yang menahan diri untuk tidak meledak.
Sebelum melangkah keluar dari kamar, ia merogoh saku dalam jasnya, mengambil selembar kartu nama berwarna hitam dengan tinta timbul keperakan.
Tanpa memandang lagi, Leonardo melemparkan kartu nama itu ke atas meja kecil di sisi tempat tidur. Kartu itu melayang sebentar sebelum jatuh dengan bunyi tap yang nyaris tak terdengar—namun cukup untuk membuat Mery membeku.
Tanpa sepatah kata, Leonardo membuka pintu dan melangkah keluar.
Mery segera bangkit, meraih kartu itu dengan cepat. Matanya membesar saat membaca nama yang tertera:
Leonardo Dirgantara
CEO Dirgantara Global Holdings
Nomor pribadi dan email tertera di bawah dengan kode keamanan eksklusif.
Mulut Mery menganga pelan.
“CEO? Astaga... Jadi Alia ngga sengaja tidur sama dia ,” gumamnya. Tubuhnya gemetar, bukan karena takut—tapi karena keserakahan yang tiba-tiba meningkat.
Namun dalam waktu yang sama... ia sadar, ia telah salah langkah. Bukan ia yang tidur dengan Leonardo.
Dan jika pria seperti itu ingin tahu siapa gadis sebenarnya… maka cepat atau lambat, kebohongannya akan terbongkar.
Sementara itu, Leonardo berdiri di depan lift, wajahnya muram, pikirannya kalut.
Siapa kamu sebenarnya? pikirnya, teringat pada wangi rambut, suara napas, dan kehangatan malam itu. Gadis itu bukan yang bersandiwara tadi. Dia ingat betul walaupun dalam keadaan mabuk tapi ada sedikit bayangan samar tentang gadis itu telah meninggalkan jejak terlalu dalam.
Akhirnya, Leonardo pergi meninggalkan hotel dengan hati yang berkecamuk.
Langkahnya berat, tapi tegas. Di balik jas mahal dan sepatu mengilap, dadanya berdebar tak beraturan. Ia bukan pria yang mudah goyah, namun malam itu... ada yang mengusik dirinya lebih dari sekadar jebakan atau reputasi.
Di dalam mobil hitam yang menjemputnya, Leonardo duduk diam. Jari-jarinya menggenggam ponsel, menatap layar kosong tanpa tujuan. Ingatannya melayang pada malam yang samar—siluet gadis dalam gelap, sentuhan lembut, dan suara napas yang gugup namun jujur.
Itu bukan wanita tadi. Ia yakin.
"Aku harus tahu siapa dia," gumamnya pelan.
Di ruang tunggu rumah sakit, suasana terasa dingin dan sunyi, meski jam menunjukkan hampir pukul sembilan pagi. Kursi-kursi logam berjajar rapi, namun hanya satu yang diduduki seorang gadis muda dengan wajah letih Alia.
Ia duduk memeluk tas kecilnya, mengenakan jaket tipis dan celana panjang yang mulai kusut. Rambutnya diikat seadanya, dan mata cokelatnya menatap kosong ke arah lorong menuju ruang operasi.
Beberapa jam lalu, ia menyerahkan sejumlah uang tunai ke bagian administrasi. Uang yang datang dengan cara... yang tak ingin ia kenang. Tapi ia tak punya pilihan. Ibunya harus diselamatkan.
Tangannya menggenggam secarik kain—selendang milik sang ibu, yang ia bawa sejak subuh tadi. Harumnya masih melekat, mengingatkan Alia pada masa-masa ketika ibunya masih bisa tersenyum, memasak, dan menyisir rambutnya sambil bersenandung.
Kini, wanita itu sedang berada di balik pintu besar bertuliskan “Ruang Operasi 2.”
Detik terasa begitu lambat. Alia berkali-kali melihat ke arah jam dinding.
“Apa semua ini sepadan?” pikir Alia, hatinya diliputi sesal dan rasa bersalah.
Ia menunduk, berusaha menahan air mata. Tapi kenangan malam itu tiba-tiba menyergap—tatapan pria asing yang penuh kebingungan, suara napas mereka yang bertaut, dan bagaimana semuanya terasa seperti mimpi buruk... yang nyata.
Namun saat bayangan itu datang, ia mengingat tujuan awalnya.
“Ibu harus hidup...” bisiknya pelan. “Apapun caranya.”
Pintu ruang operasi terbuka sedikit. Seorang perawat keluar, membawa berkas.
“Anak dari Ibu Dewi?” tanya perawat itu.
Alia berdiri cepat. “Saya! Saya anaknya! Bagaimana kondisi Ibu saya?”
Perawat itu tersenyum tipis. “Operasi berjalan lancar. Tapi beliau butuh perawatan intensif selama beberapa hari. Kami akan pindahkan ke ruang pemulihan sebentar lagi.”
Tubuh Alia hampir lemas karena lega. Ia nyaris terduduk kembali. Tapi di balik kelegaannya... muncul kekosongan yang menggerogoti pelan-pelan.
Ibunya akan hidup. Tapi hidup Alia sendiri—mulai hancur sejak malam itu.
Enam tahun telah berlalu sejak malam kelam itu. Waktu terus berjalan, membawa luka menjadi bagian dari masa lalu yang perlahan bisa diterima… meski tak pernah benar-benar dilupakan.
Kini, Alia telah menjadi seorang desainer terkenal. Namanya dikenal di berbagai kota besar, rancangannya dipakai oleh artis-artis papan atas, dan setiap koleksi terbarunya selalu ditunggu para pencinta fashion.
Namun dari semua pencapaian itu, hal paling berharga dalam hidupnya adalah sepasang anak kembar Alya dan Arel. Wajah mereka begitu mirip, seperti cerminan kecil dari dua dunia: dirinya… dan pria yang tak pernah mereka kenal.
Hari ini adalah momen yang berat bagi Alia. Kepulangannya. Ia memutuskan untuk kembali… ke tempat semua ini bermula.
"Al, kamu benar-benar pulang?" tanya Bagas sambil menatap Alia yang baru turun dari tangga, membawa koper kecil dan tas selempang.
"Sudah enam tahun... sudah waktunya aku pulang," sahut Alia dengan senyum tenang, meski ada getar samar dalam suaranya.
Ia menatap sekeliling, menghirup udara kota paris yang akan ia tinggalkan . Kini, ia kembali bukan sebagai gadis yang sama. Ia kembali sebagai ibu… dan wanita yang sudah berdamai dengan sebagian luka lamanya.
"Masalah antara aku, Mery, dan ibunya... harusnya sudah selesai," ucapnya dalam hati, mencoba meyakinkan diri.
Dari belakangnya, dua anak kecil berlari kecil menuju Bagas yang berdiri di sisi pagar.
"Ucapkan sampai jumpa kepada ayahmu," kata Alia sambil membetulkan rambut Alya yang sedikit kusut.
"Da-dah, Papa Bagas!" seru Alya dan Arel serempak sambil melambai riang.
Bagas tersenyum, lalu berjongkok dan memeluk keduanya bergantian. "Hati-hati di jalan ya, anak-anak pintar."
Alia memandangi mereka dengan mata yang berkaca. Bagas—satu-satunya pria yang setia membantu merawat anak-anaknya saat ia memulai kariernya dari nol. Meski bukan ayah kandung, Bagas mencintai mereka seperti darah daging sendiri.
Ia menatap pria itu dalam-dalam. Bagas yang sederhana, tulus, dan selalu ada saat dunia seolah membencinya.
"Aku nggak pernah sempat bilang ini, Gas… terima kasih," ucap Alia lirih, suaranya bergetar. "Terima kasih karena kamu banyak membantu selama disini, aku selalu merepotkanmu".
Bagas menunduk, mencoba menyembunyikan emosinya. "Kamu tahu, Al... sejak awal aku cuma ingin kamu baik-baik saja. Kamu, dan anak-anak itu. Mereka seperti... hadiah buat aku juga."
"Kalau kamu nggak muncul waktu itu, mungkin hidupku akan tetap kosong."
Alia menelan air matanya. Ia menggenggam tangan Bagas, menggenggam erat.
"Aku tidak akan pernah lupa semua yang sudah kamu lakukan terhadap aku dan anak-anak. Apa pun yang terjadi ke depannya… kamu tetap bagian dari keluarga kecilku" kata Alia pelan pada Bagas.
"Kalau butuh sesuatu... kamu tahu aku selalu ada, kan?" jawab Bagas, suaranya tenang namun dalam.
Alia mengangguk, lalu menggandeng tangan anak-anaknya. Ia melangkah pergi, menuju bandara untuk pulang ketempat kelahirannya.
"Mamah, kita pulang sekarang, ya?" tanya Alya sambil menggenggam ujung baju Alia.
"Iya, Sayang," jawab Alia sambil tersenyum. Ia menunduk, mencium kening Alya, lalu menoleh ke Arel yang masih sibuk bermain batu kecil di taman. "Mama beli rumah yang besar buat kalian berdua. Ada halaman luas, kamar masing-masing, dan dapur yang mama desain sendiri."
"Mau ada ayunan!" teriak Arel riang.
"Dan kolam bola!" sambung Alya.
Alia tertawa kecil. "Nanti kita hias bareng, ya. Mama sudah simpan semua gambar kalian yang kalian coret-coret buat desain rumah kita."
"Selama aku bersama Mamah dan Kakak, aku pasti suka!" seru Alya sambil menggoyangkan kakinya riang di kursi mobil.
"Aduh, baiknya anak Mama," ucap Alia dengan senyuman hangat. Ia menoleh sebentar ke belakang, melihat kedua anaknya saling menggoda dan tertawa kecil. Hatinya terasa penuh.
Sudah lama ia tidak merasakan ketenangan seperti ini—tanpa rasa takut, tanpa bayang-bayang masa lalu. Hanya dirinya, anak-anaknya, dan dunia baru yang tengah ia bangun kembali.
Mobil pun melaju ke arah rumah yang baru dibelinya. Rumah sederhana namun hangat, dengan pekarangan luas, taman kecil, dan ruang kerja yang akan ia jadikan studio pribadi. Sebuah awal baru.
Namun tak lama setelah mereka sampai dan mulai membongkar beberapa kardus barang, dering telepon bergetar di atas meja.
Alia melihat layar ponsel sebuah pesan muncul
Jakarta, 6 April 2025 — Ema, seorang desainer muda berbakat , kembali mencuri perhatian publik dengan karya-karyanya yang inovatif dan penuh warna. Di usianya yang masih muda, Ema telah menunjukkan dedikasi tinggi dalam dunia fashion dan berhasil menciptakan sejumlah koleksi yang memukau.
Pesan itu disertai tautan sebuah laman berita. Alia membukanya perlahan. Matanya menyapu cepat judul besar di bagian atas:
"EMA Jewelry Exhibition Sukses Besar: Sentuhan Elegan Karya Desainer Misterius Menggemparkan Dunia Mode!"
Tak lama ponsel alia berdering,
"Apa kamu yakin nggak mau lihat pamerannya?"
Alia tersenyum kecil, menyandarkan tubuhnya ke sofa sambil menatap langit-langit rumah barunya yang masih terasa asing namun menenangkan.
"Ada kamu di pameran, buat aku tenang," jawabnya lembut. Suaranya penuh kepercayaan, sekaligus kelegaan.
Dari arah depan, terdengar suara pintu terbuka.
"Aku, Alya, dan Arel baru saja sampai di rumah," lanjutnya, melirik dua anaknya yang sibuk membokar barang-barang mereka dengan gaya khas anak kecil yang tak pernah bisa rapi.
"Mama, aku mau susu!" teriak Arel sambil tertawa, membuat Alia tergelak kecil.
"Sabar ya, Nak. Mama bikinin sebentar lagi."
Di seberang telepon, perempuan itu tertawa. “Mereka selalu semangat, ya.”
“Selalu,” jawab Alia, kali ini dengan tawa yang jujur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!