Pagi itu, Audy Shafira Sinclair menatap bayangan dirinya pada cermin besar nanti aesthetic yang terpampang di kamarnya. Gadis itu menarik napas dalam, lalu mengibaskan rambut panjangnya yang baru saja ia ganti warna gelap semalam. Audy bergaya dramatis, seakan sedang bersiap masuk catwalk. Namun, bukannya ke panggung peragaan busana, hari ini ia siap untuk masuk ke dunia yang sama sekali asing baginya: dunia pencari kerja.
“Ya Tuhan… hari ini aku resmi menjadi rakyat jelata,” gumamnya sambil meraih kemeja putih sederhana. “Selamat tinggal gaun pesta, halo blazer murah diskon lima puluh persen.”
Audy tertawa sendiri, lalu merapihkan kertas lamaran yang sudah disusunnya semalam. Tiga perusahaan asing menjadi targetnya hari ini. Semua tanpa embel-embel nama besar “Sinclair” yang biasanya membuka pintu dengan mudah. Audy ingin merasakan perjuangan sesungguhnya, lengkap dengan deg-degan antre interview dan kemungkinan ditolak HRD dengan tatapan seperti sedang di ospek.
Saat turun ke ruang makan, ia mendapati sang ayah, David Sinclair, sedang membaca koran dengan wajah serius. Dengan jas rapih dan aura berwibawa, pria itu tampak lebih seperti presiden direktur abadi daripada seorang duda berusia lima puluh tahun.
“Oh... Daddyku yang tampan mempesona, selamat pagi,” sapa Audy sambil duduk.
David melipat korannya dan menatap putrinya penuh rasa ingin tahu. “Selamat pagi, putri cantik Daddy. Kau mau pergi ke mana dengan penampilan seperti itu? Kau tidak terlihat seperti akan menghadiri jamuan makan siang, lebih seperti mau menghadiri rapat staf.”
“Itu memang tujuanku, Daddy,” jawab Audy mantap. “Hari ini aku akan memasukkan lamaran pekerjaan.”
David mengangkat alis. “Lamaran pekerjaan? Sayang, Daddy sudah memberimu kesempatan emas untuk mengelola cabang perusahaan di Singapura. Kenapa kau justru membuang waktumu dengan hal semacam ini?”
Audy meneguk jus jambunya sebelum menjawab. “Karena aku tidak ingin hidupku terlalu mudah, Dad. Aku ingin merasakan antre interview, menunggu panggilan HRD, bahkan mungkin dimarahi bos galak. Aku ingin merasakan semua hal yang orang normal rasakan.”
David terkekeh, menatapnya lama, lalu menghela napas panjang. “Jadi kau lebih memilih dimarahi bos galak daripada duduk manis di kursi direktur?”
“Ya,” jawab Audy cepat. “Terdengar aneh, bukan? Tapi aku ini putri Daddy. Aku Audy Sinclair. Gadis yang menyukai tantangan.”
David meletakkan kornet sapi yang baru saja ia potong, menatap putrinya dengan raut tak percaya. “Audyku, kau memang aneh. Biasanya orang mati-matian mencari kemudahan, kau justru berlari mengejar kesulitan.”
Audy tersenyum penuh percaya diri. “Daddy sendiri yang sering berkata bahwa hidup itu harus diperjuangkan. Nah, aku sedang berusaha memperjuangkan hidupku saat ini. Jadi biarkan aku mencoba.”
David terdiam sejenak, lalu akhirnya mengibaskan tangan seakan menyerah. “Baiklah. Tapi jika suatu hari kau menangis karena ditolak bos galakmu itu, jangan datang pada Daddy sambil berkata Daddy benar.”
“Tenang saja,” sahut Audy sambil mengangkat dagu. “Aku akan menangis diam-diam di toilet kantor, bukan di hadapan Daddy.”
David memutar bola matanya, lalu menyembunyikan senyumnya di balik cangkir kopi.
_____
Siang itu, Audy sudah berdiri di depan gedung tinggi dengan kaca berkilau. Tangannya menggenggam map biru berisi CV, sementara jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia melangkah masuk, disambut lobi megah dengan antrean orang-orang berpenampilan rapih.
“Jadi begini antre interview…” gumam Audy, menatap antrean panjang. “Ternyata mirip antre beli tiket konser, hanya saja tidak ada teriakan histeris.”
Ia ikut duduk di kursi kosong. Seorang pria di sampingnya melirik dan bertanya, “Kau melamar juga?”
Audy tersenyum sopan. “Ya, aku melamar untuk posisi staf administrasi.”
Pria itu menatapnya heran. “Aku kira kau melamar jadi model majalah bisnis. Penampilanmu terlalu… wah. Kau berbeda dari yang lain.”
Audy tertawa kecil. “Aku hanya mencoba peruntunganku. Semoga penampilan tidak membuatku gagal. Zaman sekarang melamar pekerjaan juga harus good looking, bukan?”
Tak lama kemudian, namanya dipanggil. Audy melangkah ke ruang interview dengan dagu terangkat, meski hatinya terasa ingin melompat keluar. Tiga orang pewawancara menatapnya datar, seakan bisa menebak isi kepalanya hanya dari tatapan.
“Selamat siang, Nona Audy Shafira,” sapa salah satu dari mereka. “Silakan perkenalkan dirimu.”
Audy tersenyum manis. “Selamat siang. Namaku Audy Shafira. Aku baru lulus dari jurusan Business Management. Aku terbiasa bekerja dalam tim, cukup teliti, dan aku selalu siap belajar hal baru.”
Pertanyaan demi pertanyaan mengalir. Ada yang membuatnya bisa menjawab lancar, ada pula yang membuatnya terdiam sesaat sebelum menemukan jawaban. Namun, Audy tetap berusaha terlihat percaya diri.
Saat keluar dari ruangan, ia menghembuskan napas lega. “Astaga… ternyata ini lebih menegangkan daripada presentasi skripsi.”
Di luar, antrean masih panjang. Audy menatap map kosongnya dan tersenyum kecil. “Aku sudah melamar di tiga perusahaan hari ini. Semoga salah satunya mau menerimaku, meski aku tidak punya pengalaman kerja selain menjadi pewaris konglomerat.”
Ia berjalan keluar gedung dengan langkah ringan, meski sepatu haknya mulai menyiksa. Namun, di balik rasa lelah itu, Audy merasa hidupnya baru saja dimulai.
Hari ini ia bukan lagi sekadar putri konglomerat. Ia adalah Audy Shafira, gadis biasa yang siap menantang dunia kerja—bos galak, jam lembur, dan semua kekacauan yang menanti di depan.
Dan bagi Audy, itu justru terdengar menyenangkan.
_____
Sore itu, Audy sudah duduk manis di sebuah café bergaya modern dengan dinding bata ekspos dan lampu gantung industrial. Aroma kopi bercampur dengan suara denting sendok di gelas, menciptakan suasana hangat yang cocok untuk melepas penat.
Di hadapannya, Zoey—bestie sejak SMA hingga kuliah—baru saja datang dengan gaya khasnya: blazer pink muda dipadu celana cutbray putih, rambut pendeknya ditata rapih, dan tas mungil menggantung di bahu.
“Audy! Kau terlihat seperti pekerja kantoran sungguhan,” seru Zoey begitu melihat sahabatnya.
Audy berdiri menyambut, lalu memeluk Zoey dengan hangat. “Dan kau terlihat seperti bos salon yang baru saja menandatangani kontrak iklan sampo.”
Zoey tertawa keras. “Hei, jangan bercanda. Aku memang baru saja mendapat pelanggan tetap yang lumayan banyak. Rasanya menyenangkan, sekaligus membuatku ingin menangis.”
Keduanya duduk, lalu memesan minuman. Audy memilih cappuccino, sementara Zoey memesan matcha latte. Setelah pelayan pergi, Zoey langsung mencondongkan tubuhnya dengan ekspresi penuh gosip.
“Ceritakan padaku. Bagaimana rasanya melamar kerja pertama kali?” tanya Zoey.
Audy menghela napas panjang, lalu menopang dagunya. “Seperti menghadapi pengadilan. Tiga orang duduk berjajar, menatapku seolah aku pencuri ayam. Aku menjawab dengan tenang, tapi di dalam hatiku aku sudah menulis surat wasiat.”
Zoey menahan tawa, lalu menepuk meja. “Astaga, Audy! Kau biasanya begitu percaya diri. Jadi benar-benar menegangkan, ya?”
“Menegangkan sekaligus memalukan,” jawab Audy jujur. “Salah satu pewawancara bertanya, apa pengalaman kerja yang paling berkesan. Hampir saja aku menjawab, ‘mengatur jadwal shopping Daddy agar tidak bentrok dengan gala dinner’. Untung aku masih punya akal sehat.”
Zoey langsung meletupkan tawa hingga hampir menyemburkan minumannya. “Kau gila! Kalau kau menjawab itu, sudah pasti mereka langsung mengusirmu.”
Audy ikut tertawa, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku tahu. Tapi serius, Zoey, aku merasa… hidup. Kau tahu maksudku? Rasanya berbeda saat tidak ada yang memanggilku ‘Putri Sinclair’. Hari ini aku hanya Audy, gadis biasa dengan map lamaran di tangan.”
Zoey menatapnya penuh arti. “Aku mengerti. Kau memang selalu ingin keluar dari bayang-bayang nama besar keluargamu. Dan aku kagum, Audy. Kau berani melakukannya.”
Audy tersenyum kecil, lalu menatap sahabatnya. “Sekarang giliranmu. Bagaimana rasanya menjadi pemilik salon?”
Zoey mendesah, lalu menyandarkan tubuhnya. “Awalnya aku pikir akan menyenangkan. Duduk cantik, pelanggan datang, staf bekerja. Nyatanya, aku malah ikut cuci rambut pelanggan karena stafku kabur saat jam sibuk.”
Audy terbelalak. “Apa? Owner salon mencuci rambut pelanggan?”
Zoey mengangguk pasrah. “Ya, dan lebih parahnya, pelanggan itu malah bilang aku keramasinya terlalu keras. Masih bagus aku tidak berkata, ‘kau bersyukur saja kepalamu tidak jatuh ke wastafel’.”
Audy menutup mulutnya, tertawa sampai matanya berkaca-kaca. “Astaga, Zoey, kau sungguh luar biasa. Aku bisa membayangkan ekspresimu saat itu.”
Zoey ikut tertawa, meski wajahnya masih menyimpan lelah. “Tapi jujur, meski melelahkan, aku bahagia. Aku merasa ini benar-benar usahaku. Walaupun orang tuaku yang mendirikan salon itu, aku yang menjalaninya. Rasanya berbeda saat melihat pelanggan pulang dengan tersenyum.”
Audy menatap sahabatnya dengan bangga. “Kau tahu, Zoey, kita berdua sama-sama aneh. Aku menolak jadi direktur cabang, kau rela jadi tukang cuci rambut di salonmu sendiri. Tapi kita bahagia, bukan?”
Zoey mengangkat cangkirnya. “Untuk kebahagiaan para wanita aneh yang menolak jalan mudah!”
Audy ikut mengangkat cangkirnya dan menempelkan ringan pada cangkir Zoey. “Untuk Audy dan Zoey, dua orang gila yang memilih jalan berliku.”
Keduanya tertawa bersama. Di tengah hiruk pikuk café, momen itu terasa hangat. Dua sahabat yang memilih menantang hidup dengan cara mereka sendiri, meski dunia mungkin menganggapnya aneh.
Mereka tidak tahu, di balik perjalanan penuh tawa ini, hidup Audy sebentar lagi akan dipenuhi dengan kekacauan yang jauh lebih heboh—saat seorang bos flamboyan dan cassanova bernama Aldrich Dario Jourell masuk ke kehidupannya.
Audy Shafira Sinclair bangun dengan semangat yang berbeda pagi itu. Tangannya sedikit gemetar saat membuka laptop, memeriksa kotak masuk email, dan menemukan pesan yang sudah lama dinantikan:
“Selamat, Nona Audy Shafira, Anda diterima sebagai staf administrasi di Jourell Group. Kami menantikan kontribusi Anda mulai Senin, pukul 08.00.”
Audy langsung tersenyum lebar. “Aku diterima! Akhirnya perjuanganku yang tak seberapa ini membuahkan hasil,” gumamnya sambil menepuk kedua tangan ke dada.
Di ruang makan, aroma kopi hangat dan roti panggang sudah memenuhi meja. David Sinclair, ayahnya, sedang menyeruput kopi sambil membuka koran bisnis. Tanpa menatap putrinya, ia berkata, “Selamat pagi, Audyku. Ada yang ingin kau sampaikan?”
Audy mengangguk cepat. “Pagi, Daddy. Aku diterima di Jourell Group! Mulai hari ini aku resmi menjadi pegawai kantoran biasa.”
David menurunkan koran, menatap putrinya, lalu tersenyum tipis. “Begitu? Kau akhirnya memutuskan untuk merasakan dunia nyata. Bagus. Hari ini Daddy akan mengantarmu ke kantor. Hanya untuk hari pertama, tentu saja.”
Audy terkejut. “Daddy… tidak perlu. Aku bisa pergi sendiri. Aku kan ingin merasakan kehidupan ‘rakyat biasa’ dari awal.”
David menyandarkan diri di kursi, menatapnya dengan alis terangkat. “Hanya untuk hari pertama, Audy. Setelah itu kau bisa kembali menempuh jalannya sendiri. Bukan kah dari TK hingga kuliah kau selalu Daddy antarkan jika hari pertama masuk?”
Audy menahan senyum. Ia tahu ayahnya selalu menemukan cara untuk melindungi putrinya tanpa terlihat terlalu mendominasi. Akhirnya, ia mengiyakan. “Baiklah, Daddy. Hanya hari ini.”
Sarapan berlangsung santai. Audy menikmati roti panggang dan jus alpukatnya sambil berbicara tentang antusiasmenya menghadapi pekerjaan baru.
“Daddy, aku ingin membuktikan bahwa aku bisa bekerja tanpa bantuan nama besar Daddy. Aku ingin merasakan interview yang menegangkan, jam lembur yang melelahkan, dan bos galak yang menyebalkan,” ujarnya dengan mata berbinar.
David tersenyum tipis. “Jangan terlalu cepat membayangkan bos galak itu. Daddy tidak ingin kau terkejut. Tapi Daddy senang kau memiliki tekad. Dunia kerja memang bukan pesta gala, tapi pengalaman itu akan membentukmu.”
Audy meneguk jus alpukatnya. “Aku siap, Daddy. Bahkan jika bos itu seperti monster, aku akan tetap berdiri tegak. Lagipula, monster pun bisa ditaklukkan, bukan? seperti monster di film-film yang kita tonton dulu saat aku kecil.”
David menggelengkan kepala, tersenyum sambil menahan tawa. “Kau memang gadis unik. Tidak ada yang mudah untukmu, bahkan monster pun harus belajar sopan saat menghadapimu.”
.....
Di dalam mobil, Audy menatap jalanan yang mulai ramai. “Aku merasa aneh, Daddy. Selama ini aku selalu dijaga, diantar ke sana-sini. Sekarang aku benar-benar akan masuk ke dunia yang… riil.”
David tersenyum tipis sambil menghidupkan mobil. “Riil atau tidak, kau tetap putri Daddy. Daddy hanya ingin memastikan langkah pertamamu tidak terlalu licin.”
Audy menghela napas panjang, lalu mencondongkan kepala ke jendela. “Aku tahu, Daddy. Tapi hari ini, aku ingin merasakan sesuatu yang berbeda. Aku ingin menjadi Audy yang biasa, walaupun hanya untuk beberapa jam.”
Perjalanan ke Jourell Group berlangsung lancar. Gedung tinggi kaca memantulkan cahaya pagi, dan Audy menatapnya dengan rasa kagum campur gugup.
David menoleh sambil tersenyum. “Ingat, Audy. Setelah hari ini, kau bisa menempuh jalannya sendiri. Daddy hanya menemanimu untuk hari pertama. Jangan sampai kau terlalu ketergantungan.”
Audy menepuk lututnya, tersenyum. “Tenang, Daddy. Aku janji hanya hari ini. Besok, aku akan menjadi gadis mandiri sepenuhnya.”
Dan dengan itu, mobil berhenti di depan gedung. Audy menatap lobi yang ramai dengan karyawan berpakaian rapi, sementara di dalam hatinya rasa deg-degan bercampur semangat. Hari pertama Audy di Jourell Group telah resmi dimulai.
.....
Audy melangkah cepat menuju lobi gedung Jourell Group. Tanpa sadar, langkahnya terlalu cepat, pikirannya terlalu penuh dengan rencana menghadapi bos galak, dan mulutnya pun bergerak sendiri—seperti petasan mercon yang siap meledak.
“Baiklah, Audy, hari ini aku akan menunjukkan bahwa aku bisa bekerja seperti orang biasa. Tidak ada embel-embel nama besar. Fokus, santai, jangan sampai…” gumamnya sambil melangkah, lalu… BUM!
Audy menabrak seseorang. Ransel kecil aesthetic—nya terjatuh, dan ia hampir terpelanting ke lantai marmer.
“Oh! Maaf! Aku sungguh tidak sengaja!” serunya sambil menunduk, cepat-cepat meraih ranselnya. “Aku benar-benar, eh… bukan sengaja, maksudku—wah, maaf sekali lagi!”
Pria yang ia tabrak itu menatapnya dengan mata tajam, namun ekspresinya tetap tenang. Aldrich Dario Jourell, CEO yang terkenal flamboyan dan cassanova, menurunkan jasnya sebentar dan menatap gadis itu dengan sebelah alis terangkat.
Audy sama sekali tidak tahu siapa pria ini. Ia mengira hanya salah satu karyawan dengan jabatan tinggi yang terburu-buru. Oleh karena itu, mulutnya tetap tak bisa diam.
“Aduh, kenapa orang-orang di kantor ini berjalan seperti zombie? Tidak ada yang menengok ke depan. Jika seperti ini, bagaimana aku bisa sampai ke resepsionis tepat waktu? Astaga, hari pertama saja sudah penuh drama, seperti serial drama Korea!”
Aldrich menahan sedikit tawa, meski mencoba tetap terlihat serius. Ia merasa kebisingan ocehan gadis itu seperti alarm yang mengganggu konsentrasi, tapi entah mengapa senyum smirk mulai muncul di bibirnya. Pandangannya tak bisa lepas dari gadis, menatapnya dengan lamat-lamat. Rambut hitamnya berkilau, ekspresinya polos tapi tegas, dan cara ia bicara—terus terang, tanpa tedeng aling-aling—justru mempesona.
“Cukup menarik,” gumam Aldrich dalam hati, lalu menyingkir perlahan. “Sepertinya gadis ini akan menjadi tantangan… dan hiburan tersendiri.”
Tanpa menunggu jawaban atau reaksi lebih lanjut dari Audy, Aldrich melangkah menuju lift dan kemudian ke ruangannya. Senyum tipisnya masih tersisa, seperti seseorang yang baru saja menemukan hal baru yang memikat di tengah kebosanan rutinitasnya.
Sementara itu, Audy tersadar bahwa pria itu telah pergi. Ia menghela napas panjang, menatap tangan yang menjinjing ransel. “Astaga… aku menabrak seseorang, tapi siapa dia? Tidak ada tanda nama, tidak ada lencana. Oh, sudahlah, fokus saja!”
Dengan langkah cepat, Audy menuju meja resepsionis. Seorang resepsionis wanita menyambutnya dengan senyum ramah.
“Selamat pagi, Nona. Ada yang bisa kami bantu?” tanya resepsionis itu.
Audy tersenyum kikuk. “Selamat pagi. Aku… baru menerima email penerimaan kerja. Bisa tolong arahkan aku?”
Resepsionis itu mengangguk. “Tentu, Nona. Silakan naik lift di sebelah kanan. Ruang HR berada di lantai delapan. Tekan tombol delapan, dan mereka akan menunggu Anda di ruang tunggu.”
Audy mengangguk dengan bersemangat. “Terima kasih banyak. Hari pertama ini rasanya sudah penuh kejutan, tapi aku harus tetap fokus!”
Saat Audy melangkah menuju lift, ia sama sekali tidak menyadari bahwa pria yang baru saja ia tabrak adalah CEO flamboyan yang selama ini dijadikan cerita oleh hampir semua karyawan wanita di kantor ini. Dan entah bagaimana, Aldrich sudah menempatkan gadis itu di daftar “staf yang wajib diperhatikan” dengan senyum tipis dan rasa penasaran yang baru muncul.
Audy menekan tombol lift dengan tangan gemetar, berulang kali memastikan dirinya tidak salah lantai. Napasnya sedikit tertahan karena campuran antusiasme dan gugup. Hari pertama di Jourell Group, dan semua terlihat begitu megah: lantai marmer mengkilap, dinding kaca tinggi, kursi tamu berlapis kulit, dan aroma harum ruangan berkelas yang tidak asing di indera penciumannya.
Lift berhenti di lantai delapan. Audy melangkah keluar, menatap koridor yang panjang dan sunyi, hanya diiringi suara langkahnya sendiri. Di ujung koridor, meja resepsionis HR terlihat rapih, dan seorang staf wanita melambai padanya.
“Selamat pagi, Nona Audy. Silakan masuk ke ruang pimpinan sesuai arahan Pak Aldrich,” ujar resepsionis dengan senyum ramah.
Audy menelan ludah dan melangkah pelan. Di dalam ruangan, suasana formal dan rapih, meja besar berlapis kayu gelap dengan kursi empuk di belakangnya. Semuanya tampak normal—hingga ia melihat pria tinggi kekar itu berbalik badan dari kursi besar.
Audy terperangah. Mata mereka bertemu, dan seketika dunia seolah berhenti berputar. Pria itu—pria yang baru saja ia tabrak di lobi—adalah CEO flamboyan yang selama ini menjadi cerita hampir semua karyawan wanita kantor ini.
“Astaga… ini… ini dia…” gumam Audy dalam hati, kedua tangan meremas tali ransel seakan itu bisa menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. “Bagaimana jika ia marah, bahkan memecatku karena kejadian tadi? Aku… aku tidak sengaja!”
Namun dugaan Audy salah besar. Aldrich menatapnya sekilas, lalu mengangguk singkat. “Audy Shafira, silakan duduk. Kau bisa langsung mulai bekerja sesuai jabatanmu, staf administrasi. Tidak perlu membahas ‘tabrakan’ tadi.”
Audy tercekat, lalu perlahan menunduk, mencoba menenangkan diri. “Oh… tentu. Aku… aku siap bekerja,” jawabnya dengan suara sedikit gemetar.
Aldrich kembali menatap dokumen di mejanya, seolah Audy hanya bayangan yang tidak terlalu penting. Tapi Audy merasakan matanya terus ditelusuri dengan lamat-lamat, membuatnya semakin gugup.
Hari pertama Audy dimulai lebih cepat dari yang ia bayangkan. Ia langsung diarahkan ke meja kerjanya di bagian administrasi.
Meja itu sederhana, berada di dekat deretan staf lain. Komputer, tumpukan berkas, dan papan catatan sudah siap menyambutnya. Audy menaruh tasnya, lalu menarik napas panjang.
“Baiklah, Audy,” gumamnya pelan, “kau sudah masuk ke dunia kerja. Saatnya menunjukkan bahwa kau bisa jadi pegawai biasa, bukan putri konglomerat yang manja.”
Namun rencananya untuk tenang langsung buyar. Begitu ia duduk, suara riuh kecil mulai terdengar.
“Hei, itu anak baru, ya?”
“Cantik sekali… seperti model iklan!”
“Sepertinya belum punya pacar, kau lihat senyumnya? Wah, bisa membuat lupa password komputer!”
Tak butuh waktu lama, tiga orang staf pria langsung mendekat. Mereka berdiri di sekitar meja Audy seperti semut yang menemukan gula.
“Selamat datang… namamu siapa tadi?” tanya seorang pria berkacamata, berusaha tampak formal.
“Aku Rama, bagian keuangan. Jika butuh bantuan mengenai form reimbursement, boleh tanyakan padaku.”
Yang lain tak mau kalah. “Aku Rendi, dari IT. Jika komputermu tiba-tiba error, cukup panggil aku. Nomor extension-ku 123, mudah diingat, seperti tanggal lahir mantan.”
Audy mengerjap, mencoba tetap sopan. “Eh… terima kasih. Aku Audy. Senang berkenalan dengan kalian.”
Tiba-tiba, pria ketiga, sedikit lebih flamboyan, menyodorkan kartu nama. “Aku Dion, marketing. Jika butuh teman makan siang, aku selalu ada. Bahkan sekarang pun aku bisa mengosongkan jadwal!”
Audy kikuk. Ia tidak menyangka sambutan hari pertamanya akan seperti selebrasi tak resmi. Mulutnya ingin menolak, tapi ia tahu menolak secara terang-terangan bisa membuat suasana canggung.
“Oh… baiklah. Senang juga berkenalan dengan kalian,” ujarnya sambil tersenyum tipis, meski dalam hati ia bergumam, “Astaga, baru duduk lima menit sudah seperti konferensi pers. Beginikah kerja di kantor?”
Sementara itu, dari balik kaca besar ruangannya, Aldrich Dario Jourell tengah mengamati. Jarinya yang sedang mengetik terhenti seketika. Matanya menajam, melihat bagaimana para staf pria itu mengerubungi Audy.
Tatapan maut pun dilayangkan.
Di ruangan administrasi, para pria itu mendadak merasakan hawa dingin, meski AC tetap pada suhu normal. Rama menelan ludah. Rendi tiba-tiba teringat ada tugas server yang tertunda. Dion mendadak mengingat meeting marketing yang katanya penting.
Satu per satu mereka mundur teratur, meninggalkan Audy yang masih bingung.
“Hah? Baru saja mereka semua semangat sekali… kenapa sekarang seperti ditakut-takuti?” bisik Audy pada dirinya sendiri.
Tak lama kemudian, seorang staff perempuan, mungkin lebih senior, mendekat sambil tersenyum. “Jangan heran, Audy. Itu normal. Anak baru biasanya jadi pusat perhatian. Tapi… jika mereka kabur mendadak, hanya ada satu alasan.”
Audy menoleh. “Alasan apa?”
Perempuan itu melirik ke arah kaca besar ruang pimpinan. “Tatapan Pak Aldrich. Percayalah, tatapannya lebih tajam daripada silet. Jika sudah begitu, semua orang langsung sadar diri.”
Audy melongo, lalu cepat-cepat menunduk pada layar komputernya. “Astaga… jadi ini bukan hukuman, tapi… intimidasi visual?”
Ia menggigit bibir bawah, kikuk, lalu pura-pura sibuk mengetik meski layar monitornya masih menampilkan halaman login. Dalam hati, ia mendesah.
“Ya Tuhan… baru hari pertama saja sudah seperti sinetron. Jika begini terus, aku bisa gila sendiri.”
Di ruangannya Aldrich menyandarkan tubuhnya di kursi empuk, senyum smirk kembali terukir. “Mari kita lihat, Audy. Seberapa lama kau bisa bertahan dari semua ini?”
.....
Pukul dua belas siang, jam kantor mulai lengang. Suara kursi bergeser, tawa kecil karyawan yang beranjak makan siang, dan samar-samar aroma lauk dari kantin mulai menggoda perut siapa saja.
Audy bangkit dari kursinya sambil merapikan map kecil. Hari pertama kerja sejauh ini cukup lancar—meski sempat dikerubungi staf pria dan diselamatkan tatapan maut bos besar.
Dua rekan kerja perempuan yang tadi menyapanya menghampiri.
“Yuk, Audy, makan di kantin. Biar kau tahu menu andalan di sini,” ucap salah satu, perempuan berambut sebahu bernama Clara.
“Benar. Dan kau harus coba es teh manisnya, legendaris. Bisa menyembuhkan stres seketika,” timpal seorang lagi, gadis berwajah ceria bernama Nadine.
Audy tersenyum lega. “Baiklah. Aku memang lapar sekali. Aku ikut kalian.”
Namun saat ia melangkah menuju pintu, suara berat menghentikannya.
“Sebentar, Audy.”
Audy menoleh. Aldrich berdiri di dekat pintu masuk ruangan, setelan jasnya rapi, tatapannya dingin seperti baru keluar dari lemari es. Para karyawan lain langsung pura-pura sibuk dengan komputer masing-masing.
Audy tertegun. “Ya, Pak?”
Aldrich melangkah mendekat, tangannya menyelip di saku celana. “Aku hanya ingin mengingatkan. Ini dunia perkantoran, bukan panggung modeling. Kau sebaiknya menurunkan kadar… ehm, sorotan.”
Alis cetar Audy terangkat. “Sorotan? Maaf, sata tidak mengerti maksud Bapak.”
Aldrich menatapnya dari ujung rambut hingga ujung sepatu. “Setiap pria yang lewat seakan berebut ingin mengenalmu. Jika kau pikir kantor ini tempat mencari penggemar, kau salah besar.”
Audy membalas tatapan itu dengan dagu sedikit terangkat. “Saya tidak sedang mendaftar jadi model. Saya hanya menjadi diri sendiri. Jika mereka mendekat, itu bukan salah saya, bukan?”
Aldrich menyempitkan mata. “Jawaban yang tajam. Tapi ingat, tidak semua orang di sini bisa menerima kehadiranmu dengan cara yang sama. Lebih baik kau menyesuaikan diri sebelum menciptakan masalah.”
Audy menyilangkan tangan di dada. “Pak Aldrich, saya di sini untuk bekerja, bukan membuat drama. Jika ada yang tidak senang, mereka bisa langsung mengatakannya pada saya. Saya tidak terbiasa menunduk hanya karena tatapan dingin.”
Suasana ruangan hening. Clara dan Nadine yang berdiri di belakang Audy saling pandang, wajah keduanya sedikit panik. Nadine cepat-cepat memberi kode dengan kedipan mata dan gerakan tangan kecil ke arah Audy.
Audy sempat bingung, lalu akhirnya menghela napas dan menurunkan suaranya. “Baiklah, saya mengerti. Saya akan lebih berhati-hati.”
Aldrich menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis—senyum smirk khasnya—muncul di wajah. “Bagus. Itu jawaban yang lebih bijak. Selamat makan siang, Audy.”
Ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Audy yang masih menatap punggungnya dengan campuran kesal dan kagum.
Begitu Aldrich menghilang, Clara menepuk bahu Audy. “Astaga, kau benar-benar berani membalas kata-kata Pak Aldrich. Tidak banyak orang yang berani melakukan itu.”
Nadine menambahkan sambil terkekeh. “Biasanya orang hanya diam, mengangguk, lalu kabur. Kau malah melawan dengan mulut nyerocos. Hebat juga.”
Audy tertawa kecil. “Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Kalau tidak suka, ya langsung saja bilang. Kenapa harus menyindir? Aku bukan tipe orang yang takut sindiran.”
Clara dan Nadine saling tatap lalu tertawa bersama. “Sepertinya kita akan cocok jadi sahabat,” ucap Clara.
“Setuju! Aku suka gaya bicaramu, Audy,” tambah Nadine sambil menggandeng lengannya.
Ketiganya kemudian berjalan menuju kantin, suasana cair seperti sahabat lama yang sudah bertahun-tahun bersama. Audy merasa aneh tapi hangat—baru hari pertama, tapi ia sudah punya dua teman dekat yang bisa membuatnya merasa tidak sendirian.
Dan tanpa disadari, dari balik kaca ruangannya, Aldrich kembali menatap pemandangan itu. Tangannya mengetuk meja, senyum smirk samar muncul. “Menarik… gadis itu bahkan bisa mencairkan suasana hanya dalam sehari.”
Bagi Aldrich, hari pertama Audy bukan hanya sekadar debut pegawai baru. Ini awal dari sebuah permainan—permainan yang entah siapa yang akan kalah lebih dulu.
.....
Suara riuh kantin Jourell Group terdengar seperti pasar malam. Aneka aroma bercampur jadi satu: ayam goreng, soto, nasi goreng, sampai sup bening yang entah kenapa lebih mirip air rebusan bayam. Audy melirik ke nampan plastiknya, masih bingung mau pilih menu apa.
“Ambil saja ayam geprek. Itu favorit karyawan di sini,” bisik Clara.
“Aku sarankan jangan kuah-kuah. Jika nanti tersiram ke kemeja putihmu itu, reputasimu tamat,” tambah Nadine.
Audy terbahak. “Hei, aku bukan anak TK. Aku bisa makan tanpa membuat tragedi.”
Detik berikutnya sendok sup yang ia ambil malah jatuh ke baki, cipratannya hampir mengenai Nadine.
“Lihat? Anak TK,” sahut Nadine cepat, membuat Clara ngakak sampai hampir menjatuhkan nasi gorengnya.
Audy mendengus, tapi ikut tertawa. “Baiklah, aku akui aku agak ceroboh.”
Mereka akhirnya duduk di sudut kantin, meja panjang yang biasanya dihuni karyawan senior. Nadine langsung membuka percakapan dengan nada penuh rahasia.
“Kau tahu tidak, bos besar kita itu dinginnya bukan main. Jika ia sudah melayangkan tatapan maut nya, rasanya seperti diseret ke lubang freezer.”
Clara menambahkan, “Benar. Ada rumor ia pernah menegur manajer hanya karena suara ketiknya terlalu berisik. Bayangkan, suara ketik saja dianggap kriminal.”
Audy yang baru saja menyuap nasi hampir tersedak. “Apa-apaan itu? Masa suara ketik dianggap teror?”
Nadine mengangkat bahu dengan gaya sok misterius. “Entahlah. Dunia kantor ini penuh intrik, sayang.”
Claran tiba-tiba mendekat, berbisik seperti agen rahasia. “Tapi kau harus waspada, Audy. Dari tadi aku lihat, ada banyak pria yang tidak berhenti melirikmu. Mereka itu seperti serigala lapar.”
“Serigala lapar yang pakai kemeja dan dasi miring?” celetuk Audy sambil melirik salah satu pria yang pura-pura sibuk mengaduk es teh tapi matanya melirik ke arah meja mereka.
Nadine menutup mulutnya menahan tawa. “Ya Tuhan, kau benar-benar frontal.”
Audy tersenyum lebar. “Sekali lagi. Aku datang ke sini untuk kerja, bukan untuk kontes mencari jodoh.”
Clara menatapnya sambil menaikkan alis. “Hati-hati, biasanya justru yang bicara begitu malah duluan dapat jodoh.”
“Betul,” timpal Nadine cepat. “Dan jika kabar gosip tidak salah, bos kita itu masih lajang, meski hidupnya di ke kelingi banyak wanita cantik.”
Audy hampir menjatuhkan sendoknya lagi. “Ku rasa tidak mungkin.”
Clara mengangguk mantap. “Itu yang kudengar. Tapi, ya, siapa juga yang berani mendekat? Wajahnta saja sudah seperti spanduk larangan parkir.”
Nadine menepuk tangan Audy dengan ekspresi lebay. “Kecuali… mungkin ada satu orang ceroboh yang berani menabraknya di lobi.”
Keduanya langsung menatap Audy bersamaan.
Audy tercekat, wajahnya memerah. “Hei! Itu murni kecelakaan, bukan strategi PDKT!”
Clara dan Nadine kompak tertawa terbahak-bahak, membuat beberapa meja di sekitar ikut melirik penasaran. Audy akhirnya ikut tertawa, meski dalam hati ia mendesah, Ya Tuhan, hari pertama kerja saja aku sudah jadi bahan gosip. Apa jadinya kalau seminggu?
Namun satu hal pasti, ia tidak merasa sendirian. Di meja kantin yang penuh suara tawa itu, Audy merasa seperti sudah menemukan sahabat baru di tempat kerjanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!