Part 4
Paginya, aku langsung bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah, lotion sudah kupakai, bedak dan lipstik juga sudah, tipis-tipis aja biar tidak terlalu menor.
Sebelum memakai sepatu aku merapikan tempat tidur meski sudah rapi agar tidak ada yang ketinggalan, karena aku tim yang suka nyimpen apa pun di bawah bantal atau apa pun disimpan di sebelahku.
Sekarang aku siap untuk berangkat, rumah sudah ku kunci dan aku mulai berjalan dengan santai karena berangkat awal yaitu jam enam pagi.
Di perjalanan tiba-tiba saja kepikiran pertanyaan dari Nirma yang mana dia menyinggung soal teman, jujur saja aku sudah lost contact dengan yang namanya teman kecuali teman yang benar-benar dekat dan selalu ada di saat aku down.
Rasanya aku trauma dengan banyak kejadian yang tidak kuinginkan dalam hidupku, dan di saat fase itulah mentalku down semuanya down sampai aku tidak punya pekerjaan apa pun. Teman pun sama sekali tidak ada yang peduli dan aku pun merasa malu karena nasibku tidak sama seperti mereka, bahkan rasanya aku pun dicap jelek oleh mereka, jadi aku menghilang dari mereka kecuali dari lima orang teman dekat, dua laki-laki dan tiga perempuan.
Mereka memang tidak membantu dengan hal yang aku butuhkan, tetapi mereka selalu mensuport agar aku bisa dan jika mereka sedang memiliki mereka juga membantu.
Saat semalam, Nirma menyuruhku untuk kembali membuka interaksi dengan teman-teman, katanya jangan sampai kita lupa sama mereka dan juga jangan sampai memutuskan tali silaturahmi.
Melupakan teman itu enggak sih, tapi lebih ke aku menjaga diri sendiri, hati dan juga pikiran dari hal-hal yang menyakitkan, meski aku orangnya ga enakan dan suka bantu teman, tetapi tidak semua teman bisa membalas kebaikan kita. Bukan ingin dibalas dengan hal yang sama, tapi setidaknya ada dukungan buat aku agar aku merasa tidak sendirian, makanya untuk saat ini aku menjauh dari hal yang tidak perlu.
Tidak salah kan jika aku memfilter pertemanan, memilih dan memilah. Walaupun dengan yang dekat pun untuk sekarang aku berhati-hati dan kurang komunikasi juga, cuma disimpan dalam kontak aja sedangkan yang lain tidak.
Biar aku tunjukkan bahwa diamku bukanlah kekalahan, bahwa diamku adalah cara agar aku aman dan nyaman. Luar biasa juga bukan ketika diam-diam sukses, diam-diam sudah menikah, diam-diam punya anak, diam-diam punya segalanya?
Ah, sudahlah skip karena kalau diceritakan terlalu panjang dan rumit, dan menyedihkan jika kuceritakan, intinya aku sekarang ingin tenang, bahagia meski beban tetap ada.
Tidak terasa, selama sepuluh menit berjalan, aku sudah sampai di sekolah.
Betapa kagetnya aku ketika melihat Pak Ardi sudah ada di depan pintu sambil menatapku. Apa dia menungguku? What, se-excited itu?
"Selamat pagi, Pak. Tumben sudah datang pagi-pagi banget," sapaku tersenyum ramah padanya. Jaga image lah masa harus pasang wajah semrawut kesal.
"Iya, Bu. Kan sekarang ada yang bikin semangat," jawabnya senyum-senyum.
"Hi hi, apa tuh?"
"Ya, ibulah."
"Waduh, hehe." Aku menjawabnya kikuk.
Apa-apaan ini, maksudnya apa coba? Emang ini orang sebelumnya seperti apa gitu? Tolonglah ini hari ke empat aku di sini, aku berharap betah dan tidak pindah-pindah, aku rela memberikan tugasku kepada orang lain untuk mengurus bisnis, yang terkadang aku pun ragu takut ada hal yang tidak diinginkan terjadi lagi dan aku lagi yang harus menanggung semua akibatnya.
"Iya, Bu. Dari semalam kan saya nungguin jawaban ibunya cuma gak jelas, jadi saya datanglah pagi-pagi, karena tiap datang ke sekolah ibu selalu sudah ada."
"Itu mah biasa karena saya ingin santai aja, kan enak sambil baca-baca buku pelajaran juga."
"Iya, benar-benar."
"Ya sudah, permisi saya mau masuk," ucapku berusaha melabraknya, tapi sayang ternyata dia menghadang jalanku, maksudnya apa coba?
"Maaf, Pak. Saya mau masuk, kenapa bapa menghalanginya?"
"Saya hanya ingin ngobrol saja."
"Ngobrol apa? To the point ajalah jangan basa-basi, saya suka pusing kalau sudah begini, bikin ga mood aja."
"Ibu berapa tahun?"
"Dua puluh tujuh tahun," jawabku ketus.
"Ooh, kirain masih 20 tahunan," timpalnya memuji tapi bikin ilfeel.
"Sudahlah, saya sudah tua. Belum nikah juga, gak suka kan sama perawan tua?"
"Lah, kok gitu ngomongnya."
"Ya kan itu tadi kirain dua puluh tahun katanya sedangkan saya dua puluh tujuh, berarti bapaknya nyari yang muda."
"Bukan gitulah, Bu. Maksudnya justru ibu itu awet muda."
'Gue juga paham kali, tapi pengen ribut aja,' batinku menggerutu.
"Ya sudah, ah. Saya mau masuk," ujarku langsung melabrak paksa, bodo amat mau dia kedorong atau tidak, aku gak peduli.
Kalau dilihat-lihat, umur Pak Ardi sepertinya di atasku, tapi dilihat-lihat dia juga umurnya seperti lebih tua dari Alvan, padahal aku sama Alvan pun beda tiga tahun. Mungkin Pak Ardi sudah berumur tiga puluh lima tahunan, mungkin. Ini hanya taksiranku saja.
"Bu, tunggu bu, saya mau nanya," ujarnya mengejarku.
"Nanya apa atuh, Pak?"
"Ibu itu sudah nikah apa belum?"
"Aduh, Pak. Kalau saya sudah nikah, saya ga bakalan ngekost di sini."
"Oh ibu, ngekost. Di mana?"
"Kepo aja ah."
"Cuma ini doang yang mau ditanyakan semalam tuh? Apa susahnya sih tinggal tanya langsung tanpa berbelit-belit dan ingin ketemu," lanjutku mengoceh.
"Iya, tapi kan biar jelas aja, Bu. Kalau langsung."
"Maaf, ya Pak. Saya orangnya mudah pusingan apa-apa kepikiran, jadi kalau ngomong langsung aja ke intinya. Jangan sampai saya marah, ga enak kalau saya marah ke orang meski tadi juga ke bapak udah marah," ujarku terus terang.
"Gapapa, Bu. Maklum juga kan ibu baru kenal saya."
Hmm, tapi dipikir-pikir kok dia sabaran juga ya, soalnya sudah beberapa kali aku ketusin, dibentak-bentak juga, tapi kok dia gak marah balik. Apa dia baik?
Kadang ini yang membuatku sulit untuk menikah, tidak bisa membedakan mana manusia mana siluman. Karena semua orang yang aku kenal semuanya berawal baik, tapi ujung-ujungnya tetap nyakitin dan berkhianat.
Jadi, untuk saat ini aku lebih senang sendiri. Ini juga yang jadi alasan kenapa orang tuaku mengkhawatirkan aku, bahkan aku pun dilarang untuk bekerja, takutnya aku tidak tertarik menikah. Padahal, aku bukan tidak ingin menikah melainkan aku hanya takut saja.
Apa kalian bisa menebak alasan kenapa aku takut menikah padahal laki-laki yang mau denganku banyak dan baik-baik, tetapi aku tetap tidak bisa percaya.
"Pak Ardi, maafkan saya atas respons saya. Bapak bisa ngobrol lagi sama saya setelah saya merasa tenang aja."
"Sekarang ibunya belum tenang?"
"Belum."
"Bu, kenapa ibu belum menikah padahal kan ibu cantik?"
Haish, pertanyaan macam apa itu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments