***
"Eh bengong mulu," bentaknya membuatku kaget.
Aku mengusap wajah lelah.
"Ga kenapa-napa kok."
"Alah bohong, orang dari tadi kamu ngelamun mulu."
"Udah ah, skip aja."
"Kalau mau cerita jangan sungkan."
"Heem iya, cuma lagi malas aja. Sudahlah mending tungguin seblaknya aja."
Bukan ga percaya untuk cerita, tapi belum enak aja cerita sama orang baru. Jujur aja sih aku lagi mikirin kata-kata Alva yang entah beneran atau bohongan tapi aku kepikiran.
***
Dua mangkuk seblak pedas sudah terhidang di depan mata, aroma bawang putih dan cabai yang menyengat membuat aku beringas langsung menyantap bagianku, bahkan aku menambahkan cabai lagi.
"Kamu doyan apa laper, Mel?" kelakar Nirma diikuti tawa.
"Doyan, untuk obat stress," jawabku sambil terus menyuap seblak pedas prasmanan.
Aku melihat dia menggeleng-gelengkan kepala, sedangkan aku tersenyum melihatnya.
Setidaknya dengan mengkonsumsi seblak pedas ini pikiranku langsung stabil kembali, semoga.
Tring!
"Gimana, Bu. Besok bisa kan ketemu?" tanya Pak Ardi lagi setelah empat pesannya tidak aku baca. Rasanya malas banget balas chat orang apalagi banyak hal yang harus aku urus.
"Gimana besok aja, Pak," balasku malas.
Lagipula mau apa sih, kayak penting banget. Aku tuh suka bad mood kalau hari tenang atau moment di saat aku sedang santai, asik ngobrol dan lain-lain yang membuatku bahagia malah keganggu sama orang yang ga penting banyak basa-basinya, to the point aja sih kalau mau ngomong, ga perlu pake ada acara ngajak pengen ketemu-ketemuan kecuali kalau penting.
"Siapa Mel?"
"Guru di sekolah."
"Mau ngapain katanya?"
"Pengen ketemu, ngobrol aja gitu."
"Jangan-jangan dia suka kamu, lagi."
"Engga lah ga mungkin."
"Apanya sih yang gak mungkin, Mel? Kamu itu cantik punya pekerjaan juga."
"Walau gaji kecil," sambungku.
"Apa sih, Mel. Ya gapapa lah, setidaknya kamu gak kaya aku."
"Udah ah, jangan gitu."
Tring
"Nah siapa lagi tuh," ucapnya Kepo sambil melihat ke arah ponselku.
"Nomor baru? Nomor siapa lagi ini?" batinku bertanya.
"Kenapa bengong lagi, kamu kenapa kok pucat banget?" tanya Nirma penasaran apalagi mimik wajahku mungkin tidak bisa dibohongi.
"Ah, udahlah. Bukan apa-apa, skip aja" ujarku mengibaskan tangan, aku berusaha terlihat baik-baik aja di depan Nirma. Lagipula aku belum percaya sama siapa pun di sini untuk diajak bercerita, sekalipun Nirma baik dan dekat tapi belum sepenuhnya bisa percaya, biarlah waktu aja yang menjawabnya.
Ternyata pedasnya seblak tetap saja tidak bisa mengobati ramainya isi kepalaku, tapi aku akan tetap tidak peduli sama siapa pun yang mengganggu, biarlah aku urus saja bisnis dan pekerjaanku.
Lalu kenapa aku bisa jauh dari perusahaan dan bisnis? Jawabannya tetap sama yaitu ingin menjadi guru, kenapa ga bisa yang dekat? Mencari pekerjaan tidak semudah membalikkan telapak tangan, ada orang dalam pun gak menjamin bisa masuk kalau sudah kepenuhan. Kenapa bisa tenang di tempat yang jauh dari perusahaan atau bisnisnya? Jujur saja meskipun punya orang yang dipercaya untuk memegang sementara saat aku jauh, aku juga tetap kepikiran tentang bagaimana-bagaimananya meski dipantau dari jauh dan aku cuma nerima hasil beresnya aja. Gak senang, lebih ke punya beban aja tapi ga terlalu dipikirin karena badanku makin hari makin menyusut aja kalau apa-apa dipikirin.
***
"Oh ya, Nir. BTW kamu betah ga sih ngekost di sini?" tanyaku kembali membuka percakapan baru.
"Aku ngebetah-betahin aja, Mel. Di sini kayak beda dari yang lain gitu, berisik aja ini telinga kalau ada yang aneh dari aku. Ini tuh kayak kost-an gosip. Kalau aja ada kosan yang lain dekat sini yang kosong pasti aku dah pindah, sayangnya gak ada. Ada pun mahal banget, tekorlah aku, orang gajinya aja kecil. Gak imbanglah kalau harus ngekost rumah itu buat aku," jawabnya panjang lebar.
Hal itu membuatku mengangguk-angguk pelan seakan memahami sesuatu, iya pantas saja rasanya panas. Bukan panas udara atau cahaya matahari tapi lebih ke gak nyaman aja rasanya, gusar. Ternyata di sini harus hati-hati agar tidak jadi gunjingan orang-orang, kalau kata orang kota mah orang yang suka gosip itu kampunganlah apa-apa diomongin dan suka banget ngurusin hidup orang lain tanpa ngaca.
"Hih, ngeri juga ya. Tapi kamu sabar banget, Nir."
"Mau gimana lagi, aku butuh uang buat nyambung hidup."
Aku tersenyum mendengar jawabannya. Kedengarannya ini cukup baik kalau dia ikut bekerja bersamaku, bukan untuk menjadi guru melainkan menjadi asistenku karena dia bisa dibilang penyabar, karena tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk bertahan. Namun, aku juga tetap harus mengenal lebih dalam dan lama lagi, bukan suudzon tapi wajar kan jika kita berhati-hati dan pemilih dalam berteman, apalagi semua karyawanku laki-laki bukan perempuan dan hanya menerima yang di sekitaran Jawa Barat saja.
Jika ditanya kenapa demikian, jawabannya karena aku punya alasan di mana aku pernah benar-benar sakit hati oleh orang lain. Lalu kenapa harus banget gitu laki-laki? Banyak banget yang bertanya tentang hal ini, jawabannya juga sama karena aku pernah sakit hati, tetapi lebih tepatnya laki-laki lebih ke berpikir sebelum bertindak, apik dan tidak asal dalam melakukan sesuatu. Meskipun tidak semua demikian, oleh karena itu aku juga mengujinya selama tiga bulan tetapi tetap dibayar. Jika bagus dilanjut, jika jelek dikeluarkan.
Kenapa gak menolak langsung aja kan dari CV bisa kebaca? Kata siapa? Kita gak bisa nebak hati seseorang dari tulisan dan tindakan yang bisa dimanipulasi. Ini caraku dan ini kenyamananku tidak perlu diikut campuri. Ya begitulah intinya.
"Wait, kamu bilang ada rumah di kost-an tapi harganya mahal?" tanyaku.
"Iya."
"Di mana?"
"Deket kok dari sini, tinggal lurus aja terus belok kanan, nah di sana ada rumah dua lantai, ga gede-gede amat tapi adem aja bikin nyaman."
"Oh, gitu."
"Kenapa emang?" tanyanya penasaran.
"Tiba-tiba aja aku kepikiran pengen tinggal di sana, mungkin enak gitu kalau dipake buat kerja sampingan," jawabku tanpa pikir.
"Kerja apaan emang?"
"Ya apa ajalah, nanti di sana akan kujadikan tempat buat produksi. Jadi tempatnya aku beli aja sekalian biar deket juga dari sekolah, kan enak aku ga perlu mikirin apa-apa."
"Kamu ini ngomong apa sih, Mel?" tanya Nirma memicingkan alisnya.
"Ya aku ngomong apa yang seharusnya aku kerjakanlah. Biar aku gak pusing-pusing amat harus mikir ini itu."
"Ha ha ha, Mel. Rumah itu mahal, dikontrakan aja sebulannya empat juta, apalagi kalau dibeli. Aku aja yang gajinya tiga juta gak sanggup buat ngekost di sana, apalagi kamu yang gaji bulanannya cuma dua ratus. Sudahlah, bangun dulu dari mimpinya.
"Emh, tipe orang yang mudah menjatuhkan semangat orang lain," batinku. "Gak, tau ya aku siapa?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments