BAB 5

Selesai memadu kasih dan menumpahkan hasrat yang sudah lama tidak tersalurkan, tubuhku terasa ringan, tapi pikiranku tetap penuh gejolak. Megan masih terlelap di sampingku, wajahnya tenang seperti tak ada beban. Aku bangkit pelan-pelan, merapikan pakaianku.

"Aku harus pulang…" gumamku lirih, meski dalam hati enggan meninggalkan kenyamanan ini.

Sebelum pergi, Megan sempat menggeliat lalu membuka mata. "Sudah mau pulang, Lang? Baru sebentar…" suaranya manja, membuatku hampir goyah.

Aku menunduk, lalu mengelus rambutnya sebentar. "Aku harus pulang, Megan. Anak-anak menunggu. Lagi pula kalau aku terlalu lama di sini, bisa jadi masalah."

Megan menghela napas, lalu tersenyum tipis. "Baiklah… tapi ingat, kapan pun kamu butuh aku, apartemen ini selalu terbuka untukmu."

Aku hanya mengangguk, lalu meninggalkannya.

...****************...

Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke dalam. Begitu pintu kubuka, mataku terbelalak. Keadaan rumah sangat berantakan.

Pakaian kotor menumpuk di kursi ruang tamu, piring bekas makan berserakan di meja, lantai lengket penuh noda. Bahkan ada gelas yang jatuh dan pecah.

Dadaku panas.

"Apa-apaan ini?!" lirihku, meski hanya aku sendiri yang mendengarnya.

Dari kamar, terdengar suara Clara dan Mira memanggil.

"Papah…"

Keduanya muncul dengan wajah kusut, "Papah… kok pulangnya lama sih? Kami lapar. Dari tadi tidak ada makanan," kata Clara.

Aku tercekat, menahan amarah sekaligus rasa bersalah.

"Kenapa kalian tidak makan? Atau pesan makanan?" tanyaku, suara serak.

Mira menjawab, "Boro-boro pesan makanan, Kami tidak punya uang, Papah… mamah Ratu juga belum pulang sampai sekarang."

Aku menghela napas panjang. Ratu benar-benar keterlaluan. Pergi tanpa kabar, meninggalkan kedua anakku dalam keadaan begini.

Aku menatap rumah berantakan itu, lalu menatap Clara dan Mira.

"Sudahlah… ayo ikut Papah. Malam ini kita makan di luar. Besok Papah akan cari cara supaya semuanya kembali normal."

...****************...

Akhirnya, aku dan kedua anakku, Clara dan Mira, pergi makan di luar. Suasana restoran sederhana itu sedikit menenangkan hatiku yang masih panas. Bau masakan yang hangat, suara pengunjung lain yang riuh, bahkan membuatku lupa sejenak kekacauan di rumah.

"Kalian mau makan apa, Nak?" tanyaku sambil melihat menu di depan kami.

Clara menatapku dengan mata polosnya. "Papah… aku mau nasi goreng saja."

Mira menambahkan, "Aku juga, Papah… sama ayam goreng kalau ada."

Selama makan, kedua anakku terus saja membicarakan mamah tirinya, yaitu Ratu. Kata-kata mereka menusuk hati, tapi aku tahu mereka hanya jujur.

"Papah…" Clara menatapku dengan mata serius, "aku dan Mira… kami sudah tidak mau punya mamah tiri seperti mamah Ratu."

Mira menimpali, wajahnya masih cemberut, "Iya, Papah… dia tinggalkan kita, rumah berantakan, bahkan kita sampai lapar hari ini. Aku enggak mau dia lagi jadi mamah kita."

"Papah ngerti… Papah juga kecewa sama mamahmu," jawabku pelan, mencoba menenangkan mereka. "Papah janji, Papah akan urus semuanya. Papah tidak akan biarkan kalian terluka lagi."

"Padahal dari awal Eyang enggak setuju papah nikahi mamah Ratu. Jadinya begini, kan. Rumah enggak ada urus, enggak ada makanan yang tersedia. Kita berdua saja sampai bolos sekolah gara-gara enggak ada seragam."

"Pokonya papah harus pisah sama mamah Ratu. Kita mau Papah nikah sama Tante Megan, dia itu wanita cantik dan berkelas. Sikapnya juga sudah dewa," ujar Mira.

"Iya... Iya... Masalah itu kita bahas nanti saja. Habis makan kita pulang dan beristirahat." kataku mengakhiri percakapan ini.

...****************...

Tepat malam pukul 10, aku belum mendapatkan pesan dari Ratu. Bahkan ibunya juga belum memberi kabar. Aku kembali mengirim pesan, berharap dia mau membalasnya.

Tanganku bergetar, tapi mataku penuh api. Aku ketik dengan nada kasar dan penuh ancaman:

"Ratu, kalau dalam waktu dekat kamu tidak pulang, jangan salahkan aku kalau semua hutang ibu dan kakakmu akan aku tagih supaya ibu dan kakakmu dikejar rentenir. Jangan kira kamu bisa seenaknya kabur dan meninggalkan anak-anakku. Kamu istri kurang ajar! Kalau masih merasa manusia, segera pulang sebelum aku benar-benar kehilangan kesabaran!"

Aku menatap layar ponsel, lalu menambahkan lagi, lebih keras dalam tulisan:

"Kalau kamu tidak pulang malam ini, aku akan cari kamu ke mana pun. Dan kalau ketemu, jangan harap aku bisa bersikap lembut lagi. Ingat itu!"

Pesan itu kukirim tanpa ragu. Dadaku naik-turun menahan emosi.

Aku menunggu balasan, tapi layar ponsel tetap sepi. Tidak ada tanda-tanda pesan terkirim. Nomornya masih tidak aktif.

Aku menggertakkan gigi, rahangku menegang.

"Berani-beraninya kau, Ratu… kalau begini caranya, aku benar-benar akan buatmu menyesal."

Karena tak mendapat balasan, amarahku semakin menjadi-jadi. Aku menatap layar ponsel yang tetap sunyi, lalu melemparkannya ke kasur dengan kasar.

"Baik, Ratu… kalau ini yang kau mau," gumamku penuh emosi.

Aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar Ratu. Sejak beberapa bulan terakhir, kami memang tidur di kamar terpisah karena pertengkaran yang tak kunjung selesai.

Perlahan aku mendorong pintu kamarnya. Begitu terbuka, udara pengap langsung menyergap. Kamar itu berantakan—selimut terlempar ke lantai, lemari setengah terbuka.

Aku penasaran dengan isi lemari miliknya. Dengan langkah cepat, aku mendekat lalu menarik pintu lemari itu dengan kasar.

Begitu pintunya terbuka, mataku langsung membelalak. Benar saja—tidak ada satu pun baju miliknya berada di sana. Lemari itu kosong, hanya tersisa beberapa hanger yang terlepas dan jatuh di dasar lemari.

Aku terkejut, tubuhku kaku di tempat. Dadaku berdegup keras.

"Astaga… jadi ini benar-benar sudah ia rencanakan."

Tanganku menyusuri rak bagian atas. Biasanya di sana tersimpan tas dan beberapa barang berharganya. Semuanya hilang. Di laci bawah yang biasa ia isi dengan jilbab dan aksesoris pun kosong melompong.

Saking terkejutnya, aku tidak tahu harus bagaimana dengan situasi ini. Keringat dingin mulai membasahi pelipisku meski udara malam terasa dingin. Kaki-kakiku lemas, aku terduduk di tepi ranjang yang kini terasa asing tanpa jejak Ratu.

“Kenapa, Ratu…? Kenapa kamu sampai berbuat seperti ini padaku?” bisikku lirih, tapi nada marah masih terdengar jelas.

Aku memijat kepalaku yang berdenyut keras. Pikiranku kacau, tak sanggup merangkai alasan yang masuk akal.

“Jadi… ini artinya kamu memang sengaja pergi. Kamu memang benar-benar ingin meninggalkan rumah ini. Kamu ingin meninggalkan aku.”

Aku menatap kosong ke arah lemari yang sudah kosong, lalu ke seluruh kamar. Setiap sudut terasa dingin, seakan mengejekku yang ditinggalkan.

Aku pun kembali mengingat ucapan-ucapan Ratu yang dulu sering kuabaikan. Ia selalu mengeluh karena lelah mengurus kedua anakku, Mira dan Clara, yang memang sulit diatur. Mereka sering membantah, membuat rumah berantakan, dan tidak pernah mau mendengar perkataannya.

“Mas, aku capek. Anak-anakmu tidak bisa dikendalikan. Aku tidak sanggup lagi,” begitu katanya suatu malam dengan wajah pucat dan mata berkaca-kaca.

Tapi waktu itu, aku malah membentaknya.

“Kamu istriku, tugasmu memang mengurus rumah dan anak-anak. Jangan banyak alasan! Mentang-mentang Mira dan Clara bukan anakmu. Apa pantas kamu mengeluh seperti itu!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!