Kamar Helena temaram, hanya diterangi lampu meja yang redup. Gaun pengantin berwarna putih tergantung di sudut ruangan, tertutup plastik transparan. Dari kejauhan, gaun itu tampak indah, berkilau, tapi bagi Helena, keberadaannya seperti bayangan dingin yang terus mengawasi.
Helena duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya. Pikirannya kalut. Setiap detik terasa semakin menghimpit.
Ia menutup wajah dengan kedua tangannya. "Besok aku akan berdiri di samping Lucian. Tapi bukan karena dia memilihku. Bukan karena aku diinginkan. Hanya karena aku bayangan Kak Amara."
Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Sudah lama ia memendam cinta pada Lucian, sejak pertama kali mengenalnya, bahkan sebelum Amara bertunangan dengannya. Ia hanya bisa mencintai dalam diam, merelakan dirinya terluka setiap kali melihat kebahagiaan kakaknya. Dan sekarang, ketika kesempatan itu seolah terbuka… kesempatan itu datang dengan cara yang paling kejam.
“Kenapa harus aku, Tuhan…” bisiknya lirih.
Tatapannya beralih ke koper yang masih terbayang jelas di benaknya. Koper Amara, yang seharusnya menjadi tanda seseorang ingin pergi jauh. Tapi kenapa koper itu justru ditinggalkan di dekat pintu? Kenapa apartemen itu terlalu bersih, seakan baru dibereskan kemarin?
Apa benar Kak Amara pergi dengan keinginannya sendiri? Atau ada sesuatu yang lebih gelap dari itu?
Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya. Membuatnya semakin takut, sekaligus semakin yakin bahwa pernikahan besok hanyalah awal dari sesuatu yang janggal.
Helena mengusap air matanya dengan kasar. Ia bangkit, melangkah ke arah gaun pengantin itu. Jemarinya menyentuh kain putih di balik plastik pelindung. Dingin. Hampa.
“Kalau aku mengenakanmu besok…” gumamnya, suaranya bergetar, “…apakah aku sedang mengambil tempat Kak Amara, atau justru menggantikan sesuatu yang sudah tidak ada?”
Pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa jawaban.
Helena berbalik, merebahkan diri di ranjang. Matanya menatap langit-langit, tapi pikirannya jauh melayang pada bayangan kakaknya yang hilang dan wajah Lucian yang selalu hadir di hatinya.
Malam terasa panjang, seolah menunda datangnya pagi.
\=\=\=\=
Di kamar luasnya yang remang, Lucian duduk di tepi ranjang dengan ponsel di tangan. Layar ponsel sudah beberapa kali menampilkan pesan yang sama setiap kali ia mencoba: Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif.
Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan, frustrasi. “Amara… di mana kamu sebenarnya?”
Di meja kerja dekat jendela, laptop terbuka. Halaman media sosial Amara terpampang di layar - kosong. Akun yang dulu penuh dengan unggahan foto-foto ceria, kini sudah dinonaktifkan. Seminggu lalu. Tepat di hari terakhir Amara terlihat.
Lucian mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja, gelisah. Ia sudah mencoba semua cara: menghubungi teman-teman Amara, mengecek rumahnya, bahkan menyuap resepsionis apartemen untuk melihat rekaman CCTV. Tapi yang ia temukan hanya ruang kosong, tanpa petunjuk jelas.
Ia kembali menekan nomor Amara, meski sudah tahu hasilnya. Tuutt… tuutt… lalu hening. Lagi-lagi tidak aktif.
Ponsel dilemparkannya ke ranjang. Lucian berdiri, melangkah ke arah cermin besar di sudut kamar. Wajahnya tampak letih, mata merah karena kurang tidur.
"Bagaimana aku bisa menikah besok, jika pengantinku sendiri menghilang?"
Tapi kemudian ia teringat pertemuan sore tadi, ketika keluarganya menekan keluarga Amara. Keputusan sudah dibuat. Helena akan menggantikan Amara.
Lucian mengepalkan tangan. “Helena bukan Amara. Tidak akan pernah.”
Namun di dalam hatinya, ada sesuatu yang samar, rasa bersalah karena menerima keputusan itu tanpa perlawanan, bercampur dengan rasa takut kalau kebenaran hilangnya Amara lebih mengerikan dari yang ia bayangkan.
Lucian menutup laptop, meraih ponselnya lagi. Kali ini, bukan untuk menelpon Amara, tapi menatap foto terakhir yang sempat ia simpan: Amara tersenyum di bawah cahaya senja, matanya berkilau penuh hidup.
“Besok… seharusnya hari kita.” suaranya bergetar.
Di luar jendela, malam semakin pekat. Dan Lucian tahu, tak peduli seberapa keras ia mencoba, Amara tidak akan muncul malam ini.
Lucian melangkah gontai ke balkon kamar sambil membawa foto di tangannya.
Beberapa Minggu lalu, Amara masih datang kesini. Wanita itu masih tersenyum manis ke arahnya sambil berdiri anggun di pembatas balkon. Amara suka berada disana.
Juga ada beberapa bunga yang di bawa khusus oleh Amara ke rumah ini, sekarang sedikit layu karena tidak ada lagi yang menyiram.
"Aku merindukanmu," bisik Lucian, menyimpan foto dalam saku kemudian mengambil penyiram bunga yang tergeletak dekat pintu balkon. Lucian menggantikan tugas Amara malam ini.
Kemana sebenarnya Amara pergi? kenapa dia pergi meninggalkan pernikahan mereka yang sudah di depan mata?
...***...
...Like , komen dan vote....
...💙💙💙...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments