Air Susu Untuk Anak Pak Menteri…

Mobil hitam mewah itu berhenti di depan sebuah rumah megah di kawasan elit. Pagar besi tinggi terbuka perlahan, dijaga dua satpam berseragam rapi. Begitu mobil masuk ke halaman yang luas, deretan mobil mewah lain tampak berjejer di garasi. Rumah dua lantai dengan dinding krem pucat itu berdiri anggun, bergaya modern dengan sentuhan klasik, teras marmer, pilar tinggi, dan jendela besar berbingkai kayu cokelat tua.

Sandra turun lebih dulu, lalu menoleh pada Elsa.

“Ayo, masuk. Anggap saja rumah sendiri,” ucapnya dengan senyum yang hangat.

Elsa melangkah turun, menghela napas pendek. Ia tidak terlihat minder sama sekali, rumah besar bukan hal asing baginya. Justru ada semacam rasa nyeri yang menusuk, mengingatkan pada rumah dinas Papanya, rumah yang kini sudah disita. Dan lebih nyeri lagi mengingat rumahnya dengan Dewa dulu, mantan suami yang membuangnya begitu saja.

Beberapa pelayan segera keluar dari pintu utama, menunduk memberi salam pada Sandra. Tatapan mereka sempat tertuju pada Elsa, penuh tanda tanya, tapi mereka tak berani bertanya. Sandra hanya memberi isyarat singkat.

“Ini ibu susunya Noah. Siapkan kamar di sebelah kamar Noah, bekas ibu susu yang dulu,” katanya tegas.

Elsa dibawa masuk melewati ruang tamu luas dengan sofa krem, karpet tebal, dan rak buku besar di sisi kanan. Aroma lembut diffuser melayang di udara.

“Ini Noah,” Sandra membawa Elsa ke sebuah kamar bayi yang terang dan hangat. Di ranjang kecil berwarna putih, seorang bayi mungil berusia sebulan tidur gelisah. Elsa berdiri di sisi ranjang, pandangannya melembut. Bayi itu mengingatkannya pada Lily. Dadanya sesak, matanya panas.

Sandra memperhatikan wajah Elsa yang berubah, lalu meraih lengannya pelan.

“Anggap saja Noah anakmu sendiri. Dia membutuhkanmu, El.”

Elsa menunduk, mengusap lembut kain selimut bayi itu. Bibirnya gemetar, tak tahu harus menjawab apa.

Tak lama, suara deru mobil lain terdengar dari halaman. Pintu utama terbuka. Para pelayan menegakkan badan. Satpam di luar memberi salam hormat. Adam baru pulang. Suami Sandra, seorang menteri berusia muda.

Ia berjalan masuk dengan langkah tegap. Tubuh tinggi, bahu bidang, dan wajah tampan yang memancarkan wibawa. Batik cokelat dengan motif parang membuatnya terlihat gagah, sementara jam tangan hitam di pergelangan kirinya menambah kesan berkelas. Dua ajudannya mengikuti di belakang, membawa map dan ponsel kerja. Aura Adam membuat suasana rumah seketika lebih kaku.

“Selamat malam, Pak,” ucap salah satu pelayan sambil menunduk.

Adam hanya mengangguk kecil, langsung menuju kamar Noah seperti kebiasaannya sepulang kerja. Begitu membuka pintu kamar bayi, langkahnya terhenti. Matanya menangkap sosok asing, Elsa.

“Ini siapa?” suaranya dalam, penuh curiga.

Sandra tersenyum tipis, cepat berdiri.

“Dia ibu susu Noah. Namanya Elsa.”

Alis Adam terangkat. Pandangannya masih meneliti Elsa dari ujung kepala hingga kaki. Tanpa berkata lagi, Adam menoleh pada Sandra.

“Kita bicara di ruang kerja.”

Sandra mengangguk, lalu menoleh pada Elsa.

“Tunggu sebentar ya, nanti aku kembali lagi.”

Elsa hanya mengangguk pelan. Begitu Sandra dan Adam meninggalkan kamar, Noah tiba-tiba menangis keras. Seorang pengasuh buru-buru menggendongnya, mencoba memberi susu formula. Tapi Noah terus menangis, menolak botol.

Melihat itu, Elsa refleks ingin menawarkan diri menyusui. Ia pun bertanya pada salah satu pelayan, “Bu Sandra di mana ya? Saya mau minta izin untuk menyusui bayinya,”

“Di ruang kerja, Nona. Arah ke kanan, dekat ruang tamu,” jawab pelayan itu sambil menunjuk.

Elsa berjalan pelan ke arah ruang kerja, bermaksud meminta izin. Tapi langkahnya terhenti di depan pintu yang sedikit terbuka. Suara Adam terdengar jelas.

“Kita bahkan tidak tahu siapa dia, San. Kau begitu saja bawa masuk orang asing untuk anak kita?”

Elsa terdiam, menahan napas. Dari celah pintu, ia mendengar perdebatan itu tanpa sengaja. Hatinya berdebar, sementara tangisan Noah masih samar terdengar dari kamar bayi.

Ruang kerja Adam dipenuhi rak buku tinggi, meja kayu jati mengilat, dan tumpukan berkas negara yang belum sempat disentuh. Adam berdiri di dekat meja, melepas jam tangannya lalu meletakkannya perlahan. Sorot matanya dingin, rahangnya mengeras.

“Kita bahkan tidak tahu siapa dia, San,” ucap Adam dengan suara penuh penekanan. “Kau begitu saja membawa orang asing ke rumah ini, untuk dekat dengan Noah.”

Sandra duduk di sofa, menyilangkan kaki, berusaha tenang walau wajahnya memerah dan gelisah.

“Dia bukan orang asing sembarangan, Adam. Dia baru melahirkan, ASI-nya sangat banyak. Noah butuh itu. Susu formula tidak selalu cukup, Noah bahkan sering menolak meminumnya.”

Adam menoleh, menatapnya lama. “Dan sejak kapan kau benar-benar peduli pada Noah?” Suaranya meninggi, menusuk. “Kau bahkan menolak menyusuinya sendiri karena takut bentuk tubuhmu berubah.”

Wajah Sandra menegang, bibirnya bergetar. “Jangan bawa-bawa itu, Adam. Aku hanya… aku tidak siap. Aku tidak bisa… “

“Tidak siap?” Adam menyela dengan tawa sinis. “Kau punya sembilan bulan untuk bersiap, San. Tapi kenyataannya kau lebih peduli pada karirmu, pada citra, pada tubuhmu. Sekarang kau memaksa anak kita bergantung pada seorang wanita yang baru kau temui di jalan?”

Sandra menghela napas panjang, matanya berkaca. “Aku tahu aku salah, tapi aku tidak tega lihat Noah menangis terus. Elsa… dia bisa membantu. Aku sudah mendengar semua kisahnya, Adam. Dia juga terluka. Dia butuh tempat. Kita bisa menolongnya sekaligus menolong anak kita.”

Adam menghela napas, menatap istrinya lekat-lekat. “Siapa namanya?”

“Elsa Evelyn.”

Adam langsung mengambil ponselnya, memberi instruksi singkat pada salah satu ajudannya di luar. “Cek semua data tentang Elsa Evelyn. Sekarang.”

Beberapa menit kemudian, ajudan kembali masuk membawa tablet. “Pak, sudah kami telusuri. Elsa Evelyn adalah putri dari mantan Menteri Sosial, Bapak Hadi Wirawan, yang baru saja ditahan karena kasus korupsi bansos.”

Adam terdiam sejenak, lalu menoleh pada Sandra dengan tatapan tak percaya.

“San, kau sadar? Anak kita akan menyusu pada putri seorang koruptor.”

Wajah Sandra membeku. “Apa…? Kau serius? Dia anak menteri yang baru saja ditangkap kemarin?”

Adam mengangguk pelan, suaranya sinis. “Apa kau tidak malu? Di rumah ini, di bawah nama kita, Noah diberi ASI oleh anak seorang penjahat negara?”

Di luar pintu yang sedikit terbuka, Elsa berdiri terpaku. Kata-kata Adam menghantam telinganya seperti palu. Napasnya tercekat, tangannya yang masih diperban mengepal kuat. Ia datang hanya untuk meminta izin menyusui Noah yang masih menangis, tapi yang didengarnya adalah penghinaan pada ayahnya.

Pintu ruang kerja itu terbuka perlahan. Elsa berdiri di ambang pintu, wajahnya pucat tapi matanya berkilat menahan emosi. Napasnya masih tersengal, bekas luka di perut membuatnya bergerak kaku, tapi suaranya tegas ketika keluar.

“Jangan… jangan pernah hina Papa saya seperti itu.”

Adam dan Sandra sama-sama menoleh, kaget melihat Elsa di sana. Sandra buru-buru berdiri.

“Elsa… kau… sejak kapan kau di sini?”

Elsa melangkah masuk, satu tangannya menggenggam kusen pintu, yang lain meremas perbannya. “Cukup lama untuk mendengar semua omongan kalian,” ujarnya lirih tapi jelas. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. “Papa saya bukan koruptor. Dia orang baik. Sepanjang hidupnya dia mengabdikan diri untuk orang lain. Dia bahkan… bahkan tidak pernah punya mobil pribadi. Motor tuanya itu lebih sering dipakai ketimbang mobil dinas.”

Adam menatapnya tajam, tapi Elsa melangkah lebih dekat, meski tubuhnya sedikit gemetar.

“Papa saya dijebak. Dia tidak bersalah! Dan saya tidak akan biarkan siapa pun, termasuk Anda, Pak Menteri… menghina namanya.”

Sandra mengangkat tangan, mencoba menenangkan. “Elsa, dengar dulu…”

“Tuan Adam tidak mau saya menyusui Noah? Tidak masalah,” potong Elsa dengan suara pecah. “Saya tidak keberatan pergi dari rumah ini. Terima kasih, Bu Sandra, atas kebaikannya. Tapi saya tidak bisa tinggal di tempat yang merendahkan keluarga saya.”

Ia berbalik, air matanya jatuh makin deras. Langkahnya cepat walau tubuhnya masih lemah.

“Elsa! Tunggu!” Sandra panik, berlari menyusul. Ia sempat menoleh ke Adam dengan wajah cemas, lalu keluar mengejar Elsa yang sudah sampai di ruang tamu.

“Elsa, jangan pergi! Tolong, aku mohon. Noah membutuhkanmu…”

Tangisan bayi terdengar dari kamarnya, keras dan menyayat. Pengasuh berusaha menenangkan dengan susu formula, tapi Noah tetap menangis keras. Suara itu membuat langkah Elsa terhenti.

Sandra meraih lengannya, suaranya bergetar. “Dengar, aku tidak bisa memaksa Adam. Tapi aku tahu Noah membutuhkanmu. Aku akan yakinkan Adam. Aku berjanji. Kau tinggal di sini, bantu aku, tolong Noah. Sebagai gantinya… aku akan gunakan semua cara yang aku punya untuk membuka lagi kasus Papamu. Aku akan cari jalan.”

Elsa terdiam, bahunya bergetar. Ia menoleh perlahan, menatap Sandra yang benar-benar terlihat tulus, penuh harap dan juga panik. Suara tangisan Noah masih terdengar, menusuk ke dalam hati Elsa.

Air matanya jatuh lagi, tapi kali ini matanya menyimpan tekad. “Kalau begitu… aku mau. Demi Noah. Dan demi Papa saya.”

Sandra tersenyum lega, memeluk Elsa erat. “Terima kasih… terima kasih, Elsa.”

Dari ujung tangga, Adam berdiri, memperhatikan dengan wajah dingin yang bercampur ragu. Ia tidak bicara, tapi tatapannya jelas: kisah ini baru saja dimulai, dan ia belum sepenuhnya percaya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Kamar bayi itu hangat, bercat lembut warna biru muda dengan perabot kayu berkilau rapi. Lampu temaram menyebarkan cahaya lembut. Di tengah ruangan, Noah masih menangis di dalam boks bayi, wajahnya merah, tangannya mengepal, kakinya menendang-nendang resah.

Elsa melangkah perlahan, dadanya terasa sesak. Tangisan itu begitu familiar, menusuk ke dalam hatinya, membuat bayangan Lily seolah hadir kembali. Bayi yang ia lahirkan, yang bahkan belum sempat ia dekap dengan tenang, kini jauh darinya.

Sandra mendekat, memegang lengan Elsa dengan hati-hati.

“Coba… peluk dia,” bisiknya lembut, seolah takut suara keras akan membuat Noah makin rewel.

Elsa menunduk, ragu sejenak. Tapi begitu ia membungkuk, tubuhnya refleks bergerak. Ia meraih Noah dengan tangan yang masih gemetar, lalu mendekapnya ke dada. Bayi itu masih menangis, tapi perlahan, tangisnya melemah, seakan mengenali kelembutan pelukan Elsa.

Air mata Elsa jatuh, membasahi kening Noah.

“Shh… tenang ya… Noah…,” bisiknya, suaranya bergetar.

Dengan gerakan hati-hati, Elsa duduk di kursi goyang di samping boks. Ia menarik napas panjang, menahan rasa perih di perut akibat bekas jahitan. Lalu ia mulai menyusui Noah.

Tangisan yang tadi memenuhi ruangan pelan-pelan mereda. Bibir mungil Noah mencari, lalu menempel dengan kuat, dan suara hisapan lembut terdengar. Elsa menutup mata, merasakan sensasi itu, perih bercampur haru.

Di dalam hatinya, suara Lily seolah memanggil. Ia berbisik lirih, “Nak… maafkan Mama… untuk sementara biarlah Mama menjaga bayi ini… tapi suatu hari nanti, Mama pasti akan menjemputmu kembali.”

Sandra yang berdiri di sampingnya tertegun, matanya berkaca-kaca. Ia menutup mulut dengan tangan, tak kuasa menahan emosi melihat Noah akhirnya tenang.

“Elsa… kau benar-benar seperti ibu malaikat,” ucapnya dengan suara bergetar.

Elsa hanya menggeleng pelan, masih menatap Noah dengan mata basah. “Aku bukan malaikat, Bu Sandra… aku hanya seorang ibu… yang kehilangan anaknya.”

Suasana kamar itu hening, hanya suara Noah yang menyusu, kursi goyang yang berderit lembut, dan isak tertahan dari dua wanita yang sama-sama terluka dengan caranya masing-masing.

Dari balik pintu yang sedikit terbuka, Adam berdiri diam. Matanya terfokus pada pemandangan itu, Noah yang akhirnya tenang, Elsa yang tampak begitu alami dalam perannya. Ekspresi Adam sulit terbaca, tapi jelas ada sesuatu yang bergerak dalam dirinya.

(Bersambung)…

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!