Semuanya Hilang Dalam Sekejap Mata.

Lampu kamar VIP itu redup, hanya suara mesin infus yang berdetak perlahan. Setelah beberapa perawat dan dokter memaksanya untuk kemabli ke kamar untuk menenangkan diri dan istirahat, Elsa mengalah karena sakit yang teramat.

Elsa terbaring dengan mata sembab, tubuh letih, tapi pikirannya terlalu gaduh untuk bisa beristirahat. Bayangan Lily, bayi mungilnya yang kini jauh dari pelukannya, terus berkelebat di benaknya.

Seorang perawat masuk sebentar, merapikan selimut Elsa, lalu berkata lembut, “Nyonya, tolong jangan banyak bergerak dulu, luka operasi belum kering. Istirahatlah.”

Elsa hanya mengangguk samar. Begitu pintu tertutup, matanya langsung menatap ke arah meja kecil di samping ranjang: Segelas air, dan ponsel yang sudah mati sejak lama. Tak ada kabar. Tak ada keluarga. Hanya sepi yang menindih dadanya.

Ia sudah mencoba bertahan di ranjang itu, mencoba berpikir logis. Tapi kekhawatiran akan kehilangan Lily selamanya terlalu kuat. Ia harus keluar. Harus ke rumah Dewa. Hanya itu yang ada di kepalanya.

Ketika langkah para perawat terdengar menjauh, Elsa dengan susah payah menggeser tubuhnya. Rasa perih dari perut yang masih terjahit membuat keringat dingin bercucuran. Tangannya meraba tiang infus, lalu ia lepaskan selang itu dengan gemetar, darah segar mengalir di punggung tangannya, tapi ia tak peduli.

Pintu kamar didorong pelan, ia mengintip keluar. Lorong rumah sakit lengang. Dengan langkah goyah, Elsa keluar, menahan napas tiap kali rasa nyeri menyerang. “Sedikit lagi… hanya sedikit lagi…” bisiknya pada diri sendiri.

Begitu sampai di lobi, beberapa perawat yang berjaga melirik curiga. “Nyonya, jangan dulu turun… ayo kita kembali ke kamar, Nyonya belum boleh keluar,” ujar salah satu perawat sambil mendekat.

Elsa mengangguk dan menunduk, berpura-pura menuju toilet. Saat perawat itu sibuk melayani pasien lain, Elsa bergegas ke pintu depan.

Udara malam langsung menyambutnya. Dingin menusuk tulang, tapi jantung Elsa berdetak lega. Ia berhasil keluar.

Namun, masalah baru muncul: ia tak punya kendaraan, tak ada ponsel untuk memesan kendaraan online, atau membuka aplikasi perbankan, ia tak punya apa-apa. Rambutnya acak-acakan, baju rumah sakitnya penuh noda darah dari air susu yang merembes, wajahnya pucat pasi. Taksi-taksi yang melintas hanya menoleh sebentar lalu segera tancap gas. Mungkin sempat mengira Elsa adalah hantu penunggu rumah sakit

Elsa terduduk di trotoar, air matanya jatuh tanpa suara. “Kenapa… bahkan untuk pulang saja aku tak bisa…”

Saat itu, sebuah motor berhenti di depannya. Pengendaranya, seorang ojek online muda dengan jaket hijau lusuh, menurunkan helmnya. “Mbak… maaf, saya nggak tega lihat Mbak kayak gini. Mau saya antar ke mana? Gratis aja, nggak usah bayar.”

Elsa menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Ke rumah… ke rumah suami saya… di komplek Bumi Elit Raya…” suaranya serak, hampir terputus. Secercah harapan Tuhan datangkan tepat saat ia sedang putus asa.

Pemuda itu mengangguk cepat. “Baik, Mbak. Tapi… Mbak kuat naik motor? Luka Mbak… “ ucap pemuda itu sambil menatap baju Elsa yang bernoda darah di bagian perut

“Saya harus kuat… demi anak saya,” potong Elsa lirih.

Naik motor dengan perut yang baru dioperasi tentu seperti siksaan. Setiap getaran membuat jahitannya seolah robek kembali. Elsa menggigit bibirnya kuat-kuat agar tak berteriak. Sepanjang jalan ia hanya bisa berdoa, memeluk erat rasa sakit, membayangkan wajah Lily sebagai penguat.

Setelah hampir setengah jam, mereka tiba di depan rumah megah bercat putih dengan gerbang tinggi menjulang. Itu rumahnya dulu. Rumah yang ia rawat, ia isi dengan cinta, kini terasa asing. Pemuda itu sempat menatap iba kembali setelah Elsa turun tertatih dan mengucapkan terima kasih banyak-banyak, ingin ia membantu lebih jauh. Tapi melihat rumah yang Elsa tuju, jelas bukan pilihan tepat jika ia ikut campur.

Dua orang satpam yang berdiri tegak di balik gerbang besi sempat syok melihat penampilan mantan Nyonya mereka. Elsa mendekat, menatap penuh permohonan pada satpam yang bertahun-tahun telah bekerja padanya. “Pak… tolong… bukakan gerbangnya… saya harus masuk, saya harus ketemu Lily,” pintanya dengan suara bergetar.

Satpam itu terdiam lama, wajahnya menegang. Dulu, ia selalu menunduk hormat setiap Elsa pulang. Kini, tatapannya penuh iba namun juga ragu. “Maaf, Nyonya… saya tidak bisa. Perintah Tuan Dewa jelas.”

Air mata Elsa jatuh deras. “Pak… saya mohon… hanya sebentar. Saya ibunya. Saya yang melahirkannya dengan mempertaruhkan nyawa saya sendiri. Tolong…”

Satpam itu menggertakkan rahang, lalu memalingkan muka. Ia tak sanggup menatap lebih lama.

Elsa terisak, lalu berjalan menyusuri sisi rumah, mencari jalan lain. Ia menemukan pintu belakang, tempat para pembantu biasa keluar masuk. Tapi terkunci.

Ia lalu mengengadah, menatap tembok rumah yang terlalu tinggi untuk dipanjat. Luka di perutnya terus mengeluarkan darah, membasahi kain tipis yang melekat di tubuhnya. Mustahil ia naik ke tembok dengan kondisinya yang seperti itu.

“Lily…” Elsa bersandar pada dinding, tubuhnya gemetar, hampir tumbang. “Nak… tunggu Mama…”

Kemudian matanya tertumbuk pada pintu kecil di sisi halaman, pintu yang biasanya dipakai untuk anjing penjaga. Selalu terbuka. Elsa merangkak mendekat, memaksa tubuhnya masuk. Sakitnya tak terkatakan, jahitannya seperti sobek kembali. Tapi ia terus maju.

Begitu berhasil masuk halaman, ia tersenyum lega di balik tangisnya. “Aku berhasil…” bisiknya.

Namun langkahnya baru beberapa meter, sebuah suara terhentak di belakang.

“Elsa?!” suara Julia pecah di udara, setengah kaget, setengah… jijik. Matanya menelusuri tubuh Elsa yang dekil, rambut kusut, baju rumah sakit belepotan darah susu dan noda tanah.

Bibir Elsa yang pecah-pecah tersenyum samar. Ia menatap sahabat lamanya dengan penuh harap. “Jul… apa Lily ada di dalam?” suaranya lirih, bergetar, penuh pengharapan.

Julia mengeraskan rahang, kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. “Kau… sudah diceraikan Dewa, kan? Berani-beraninya kau datang lagi ke sini?” Nada suaranya tajam, menusuk lebih dalam dari luka jahit Elsa. Berbeda sekali dengan Julia sebelumnya, yang selalu lembut dan penuh kasih padanya.

Elsa terperangah. Jadi benar… Dewa memilih Julia? Julia yang akan menggantikanku? Jadi selam ini mereka bermain di belakangku?

Tapi ia cepat-cepat menggeleng. “Aku tidak peduli lagi pada Dewa, Julia. Aku hanya… hanya ingin Lily. Tolong… kembalikan Lily padaku.”

Julia tertawa, penuh kepuasan, menatap Elsa penuh hina dina. “Kau pikir hidup ini selalu berpihak padamu, Elsa? Cukup. Cukup kau mendapatkan semua yang kau mau sejak dulu. Kecantikanmu, kepintaranmu, suami yang sempurna, mertua yang terhormat, dan sekarang… kau melahirkan cucu pertama! Kau sadar nggak, betapa aku ini cuma bayanganmu seumur hidup?”

Elsa menatapnya nanar. “Jadi… selama ini, itu isi hatimu? Rasa iri itu? Jul, kau lupa siapa yang membiayai kuliahmu? Ayahku! Kau lupa dari mana baju, sepatu, tas yang kau banggakan itu? Dari siapa? Dari aku, Jul! Dari aku! Terkutuk kau Julia!” suara Elsa meninggi, tangannya gemetar menunjuk Julia.

Julia mendengus, tersenyum miring. “Justru itu, Elsa. Aku muak! Selalu hidup dari belas kasihanmu. Kau pikir aku nggak punya harga diri? Sekarang lihatlah… aku berdiri di sini, di rumah yang dulu kau banggakan. Aku yang jadi nyonya rumah ini, bukan kau lagi. Dan aku yang akan jadi ibunya Lily, asal kau tahu… mertuamu pun sudah setuju!”

Air mata Elsa jatuh makin deras, bersamaan dengan darah yang kembali merembes dari lukanya. “Ambil semua yang kau mau, Julia. Ambil Dewa, ambil rumah ini, ambil kehormatan itu. Tapi jangan… jangan pernah kau berani mengambil Lily dariku. Dia darah dagingku, jiwaku! Dia anak yang ku lahirkan!” Elsa berteriak, suaranya pecah, menggema sampai satpam yang berjaga ikut menoleh.

Dua satpam bergegas menghampiri. “Nyonya Elsa, bagaimana Anda bisa masuk? Ini berbahaya, Nyonya…” suara salah satu satpam sampai bergetar, jelas tak tega melihat mantan majikannya dalam keadaan seperti itu.

Elsa tidak menghiraukan. Ia menubruk Julia, dengan langkah tertatih mencoba menerobos masuk ke dalam rumah. Julia terhuyung mundur, tapi segera membalas dengan kasar. Tangannya menjambak rambut Elsa, menariknya sekuat tenaga. Elsa menjerit kesakitan, tubuhnya tertarik ke belakang.

“Lepaskan, Julia! Aku hanya ingin anakku!” Elsa memekik, berusaha melepaskan diri.

Julia mendesis, wajahnya memerah penuh amarah. “Kau perempuan gila! Satpam! Seret dia keluar sekarang juga! Jangan sampai perempuan ini menginjak rumahku lagi!”

Kedua satpam saling pandang. Mereka jelas ragu. Wajah mereka tegang, ada iba di mata mereka.

Elsa berusaha bangkit dari jambakan itu. Dengan sisa tenaga, ia menyikut perut Julia. Jambakan terlepas. Elsa terhuyung ke arah pintu masuk. “Lily!” teriaknya sambil berlari tertatih.

Julia langsung mengejar. Tepat saat Elsa mencapai pintu, Julia yang sudah masuk ke dalam rumah membanting pintu itu keras-keras. Jemari Elsa yang masih berada di ambang pintu terhantam. Suara teriakan Elsa melengking tinggi, kukunya terasa copot seketika, darah memercik ke lantai.

“Tolong… tolong saya!” jerit Elsa, suaranya parau, kesakitan.

Satpam panik. Mereka menggedor pintu keras-keras. “Tuan! Tuan Dewa! Tolong buka, jari Nyonya Elsa terjepit, Tuan! Kasihan, Tuan!” salah satu satpam sampai berlinang air mata.

Pintu terbuka. Elsa tersentak mundur, menatap tangannya yang sudah berlumuran darah. Beberapa kukunya nyaris copot. Tapi rasa sakit itu tak seberapa dibanding pemandangan di depannya. Dewa berdiri di ambang pintu, dengan Julia bergelayut manja di dadanya.

“Seret dia keluar,” suara Dewa dingin, tanpa belas kasihan.

Kedua satpam terpaku, bingung, air mata menetes.

“Seret saya bilang!” bentak Dewa lagi.

Elsa menjerit, “Tidak! Berikan Lily padaku! Berikan anakku kembali!” Suaranya parau, depresi.

Satpam mencoba membujuk. “Nyonya… ayo kita obati dulu lukanya, nanti Nyonya bisa… “

“TIDAK! Saya mau Lily!” Elsa menolak, memaksa menerobos lagiZ

Kesabaran Dewa habis. Ia sendiri menjinjing lengan Elsa, menyeretnya keluar. Elsa berpegangan pada dinding, memohon dengan suara yang nyaris hilang. “Dewa… jangan lakukan ini… demi Lily, demi anakmu sendiri… anak kita.”

Namun Dewa tak menoleh. Begitu gerbang dibuka, ia mendorong Elsa kasar ke jalan. Tubuh Elsa tersungkur, hampir saja tergilas mobil yang melintas. Gerbang tertutup lagi dengan suara menggelegar.

Elsa tergeletak di jalan, darah mengalir dari perut dan tangannya. Pandangannya kabur. Ia berbisik lirih, berdoa, berjanji untuk Lily, “Nak… suatu hari Mama akan kembali. Mama janji…”

Tubuhnya ambruk, setengah badan masuk ke jalan raya.

Lampu mobil menyilaukan mata. Seorang wanita cantik di balik kemudi berhenti mendadak, nyaris melindas Elsa. Tangan wanita itu gemetar, bibirnya bergetar. Ia turun dengan wajah pucat, menatap Elsa yang berlumuran darah.

“Ya Tuhan… apa aku baru saja menabraknya?” tanyanya panik, suaranya tercekat.

(Bersambung)…

Terpopuler

Comments

Popo Hanipo

Popo Hanipo

kalo laki2 benar2 cinta nggak bakal begini ,,curiga mereka berdua sudah selingkuh di awal , dan konspirasi penjebakan pasti ada andil si panjul

2025-09-11

1

chiara azmi fauziah

chiara azmi fauziah

ceritanya bagus thor aku mampir

2025-09-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!