"Wajah kamu seperti banyak pikiran beberapa hari ini. Kamu baik-baik saja?" tanya Intan, santriwati yang paling dekat dengannya di pesantren ini.
Adza membuang napas lalu duduk dan merenung di kursi. Sejauh ini dia memang belum mengatakannya pada Intan karena merasa tidak percaya diri, juga tidak percaya dengan apa yang dia dapati dua malam yang lalu. Tentang lamaran dari seorang Gus putra dari pemilik pesantren ini padanya yang mengganggu pikirannya terus-menerus.
Sudah dikatakan kalau dia tidak mau permasalahkan tentang fisik kalaupun memang benar wajah Gus itu sedikit rusak, hanya saja perkara tentang dia yang belum pernah bertemu dengan Azka membuatnya merasa kebingungan sampai sekarang.
"Adza ..."
Adza menghela napas dan menatap wajah Intan yang sudah duduk didepannya. Mereka ada di kantin pesantren yang berbayar, karena mereka ingin makan bakso setelah beberapa hari makan makanan yang ada di dapur.
Siang ini suasana kantin tidak begitu ramai. Hanya beberapa santriwati yang ada di sana karena tidak semuanya anak-anak pesantren akan menghabiskan uang jajan mereka disini. Sudah ada makan yang disediakan oleh pihak kantin maka mereka akan memakan itu saja demi berhemat.
Dia saja yang memiliki uang banyak karena usaha kedua orang tuanya yang terwariskan untuknya, jarang-jarang datang ke sini karena dia malas
menghabiskan uangnya sekarang. Dia ingin menggunakan uangnya untuk kebaikan di masa depan dan agar dia tidak sulit untuk mencari usaha yang lebih baik sebagai sampingan.
"Aku akhirnya mendapatkan seseorang yang mau melamarku." Adza berkata menjelaskan membuat Intan yang sedang meminum kuah bakso menggunakan sendok langsung tersedak mendengarnya.
"Hah? Alhamdulillah hirobbil alamiin! Akhirnya ada yang melamarmu? Akhirnya ada yang akan menjadi suamimu saat kita lulus nanti? MasyaAllah, kamu hebat!"
Adza menghela napas pelan lalu menunduk sendiri memakan baksonya. Ulahnya membuat Intan menaikkan alis. Walaupun memang tujuan mereka sekolah disini bukan karena untuk menikah tapi memang akan mendapatkan suami atau calon suami yang mapan dan berilmu, tapi setidaknya sudah ada persetujuan dari dua belah pihak antara keluarga.
Adza juga sudah menginginkan ada seorang yang melamarnya selama ini, tapi nyatanya ketika ada yang melamarnya Intan bisa melihat kalau gadis itu tidak merasa senang sama sekali.
"Kenapa wajahmu menekuk? Kamu tidak bahagia?"
Adza menarik napas lagi dan lagi.
"Masalahnya, yang melamarku bukan seorang pria biasa. Aku juga bingung mau bagaimana," ujarnya membuat Intan menaikkan alisnya.
"Kamu tahu siapa yang mau melamarmu?"
"Tahu," jawab Adza tanpa bersemangat. "Hanya saja, aku tidak pernah bertemu dengannya bahkan ketika dia melamarku. Karena dia melamarku lewat orang tuanya, dia tidak bisa datang karena masih harus kuliah dan memiliki banyak urusan."
Intan terdiam sejenak. "Bukankah itu adalah hal yang wajar? Nanti juga dia akan datang, 'kan? Karena kalau kita nanti lulus kita akan menikah bagi yang menikah dan kita pasti akan dipertemukan dengan calon suami kita. Kalau aku setiap hari juga bisa bertemu karena calon suamiku adalah Ustadz di sini," ujarnya masih mencoba riang.
Dia berpikir mungkin saja Adza sedang mengalami cekcok hati tentang apa yang dia dapati. Karena ini adalah pertama kali bagi mereka untuk dilamar dan tentu saja pertama kali mereka akan merasa gugup atau tidak tenang.
Tentu saja dia akan merasa lebih baik setelah beberapa hari.
"Masalahnya, dia adalah Gus Azka."
Intan kembali tersedak mendengar ucapannya tapi kali ini dia terbatuk-batuk parah. Hal itu membuat Adza mengambilkan air minum dan menyodorkannya pada Intan. Dia membuang napasnya dan berhenti memegang sendok, kepalanya juga semakin pusing melihat reaksi yang ditunjukkan oleh temannya itu.
"Gus Azka?"
Adza mengangguk pelan.
"Gus yang ada di Madinah sekarang? Yang belum pernah pulang sejak tiga tahun lalu?"
Adza mengangguk lagi. "Ya. Dia melamarku lewat kedua orang tuanya hanya karena aku belum ada yang Melamar. Dia bertanya pada orang tuanya saat itu siapa saja yang belum dilamar hingga Ummi dan Kyai mengatakan aku. Dia langsung berinisiativ melamarku dan kalau aku setuju dia sudah menyiapkan pernikahan di Madinah. Aku bingung, Intan ... Aku dan dia belum pernah bertemu sama sekali bagaimana langsung menikah?" ujarnya dengan tangisan yang jatuh tiba-tiba.
Intan bergerak cepat, duduk di sebelah Adza dan langsung memeluk bahunya.
"Hei, tidak perlu menangis, Apakah mereka memaksamu untuk menerimanya?"
Adza menggeleng pelan. "Tidak, cuma kalau aku menolak aku juga sungkan pada Kyai atau Ummi. Satu hal lagi yang aku khawatirkan, dia sudah disana begitu lama dan tidak ada yang tahu apakah dia sudah menikah atau belum karena dia adalah laki-laki. Aku takut aku malah istri kedua," ujarnya membuat Intan membulatkan matanya.
"Tidak ada kabar itu, mana mungkin Gus sudah menikah di sana. Walaupun dia sudah menikah orang tuanya pasti tahu dan dia tidak mungkin merahasiakannya." Intan menggeleng membuat adza menarik cairan dari hidungnya.
Intan diam berpikir selama beberapa saat lalu tersenyum lebar. "Aku punya ide! Ayo makan dulu sebelum aku mengatakannya tentang idenya," ujarnya bersemangat membuat adza menatapnya tak paham.
"Ide apa? Kamu tiba-tiba bersemangat begitu membuatku jadi agak curiga. Kamu tidak akan melakukan sesuatu yang membahayakan dan membuat kita mendapat hukuman, 'kan?"
Intan tertawa mendengarnya lalu menggeleng sambil mencubit pipi adzadina yang chubby.
"Makanlah dulu, aku akan membawamu pada Ustadz Farel nanti. Dia adalah Ustadz yang kenal dekat dengan Gus Azka, kita jelaskan apa masalahmu padanya dan dia pasti akan dengan senang hati menjelaskan tentang siapa sebenarnya Gus. Makanlah," ujar Intan membuat adza terdiam beberapa saat.
Sepertinya benar, untuk membuatnya merasa yakin adalah dengan mendengar apa yang dikatakan oleh sahabat dari pria itu tentang kepribadiannya. Dia adalah seseorang yang dilamar oleh Gus Azka walaupun Hanya lewat kedua orang tuanya. Tetapi dengan cara ini maka dia akan memiliki hak untuk mendengarkan tentang kehidupan pria itu.
Mulai memakan baksonya, Intan tersenyum melihat Adza yang mulai bersemangat. Dia memakan bakso itu sambil bicara tentang apa yang akan mereka tanyakan nanti.
Sampai akhirnya setelah makan dan kekenyangan, Intan mengajaknya berjalan menuju ruangan milik Ustadz Farel yang ada di sisi tenggara dari pesantren.
Intan sudah dikenal sebagai calon istri Farel, sehingga ketika dia datang tak ada yang melarang karena mereka tahu kalau dua orang itu juga tidak akan melakukan hal-hal yang dilarang agama walaupun kurang lebih dari sebulan lagi mereka akan menikah.
"Assalamualaikum, Ustadz ..." Intan mengucap salam ketika mengetuk pintu ruangan pria itu.
Hal yang membuat mereka mendengar suara langkah mendekati pintu dan seorang pria membukanya sebelum tersenyum dengan tatapan hangat.
"Waalaikumussalam Warahmatullah, masuklah. Apakah ada yang ingin kamu katakan?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Fhatt Trah (fb : Fhatt Trah)
emang harus ya kalau lulus dr pesantren langsung menikah? apakah mereka tidak diberi kesempatan untuk menjalani kehidupan seperti yg mereka mau? meniti karir misalnya 🤔🤔
2025-09-14
1
Jemiiima__
baru kali ini baca genre islamic, maaf ya klo ada komenan yg kurang sopan hehe
2025-09-09
1
〈⎳ FT. Zira
begitu lulus langsung jadi istri dong ya kalo begini
2025-09-17
1