Dentuman musik langsung menghantam telinga Elena begitu ia melangkah masuk ke dalam klub. Lampu-lampu neon warna-warni menari di langit-langit, berganti-ganti antara biru, ungu, dan merah, seolah ikut mengiringi hentakan beat musik yang keras. Ruangan itu penuh dengan orang-orang. Ada yang menari di lantai dansa, ada yang duduk di sofa panjang sambil tertawa keras, ada pula yang asyik berdua di sudut gelap.
Elena berhenti sejenak di dekat pintu masuk. Ia merasa seperti orang asing. Ini pertama kalinya ia datang ke tempat seperti itu. Tangannya meremas clutch kecil yang ia bawa. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena musik, tapi karena rasa gugup yang tak bisa ia kendalikan.
Seorang pelayan perempuan berseragam hitam mendekat, tersenyum sopan. “Selamat malam, Mbak. Mau duduk di area bar, lounge, atau langsung ke VIP room?” tanyanya ramah, meski matanya menilai Elena dari ujung kepala hingga kaki.
Elena menelan ludah. Ia melirik sekilas ke arah bar yang ramai, lalu menggeleng pelan. “Saya … saya cuma mau duduk. Di mana saja yang agak sepi.”
Pelayan itu mengangguk, lalu mengantarnya ke sofa di sisi agak pinggir. Suasananya memang sedikit lebih tenang dibanding tengah ruangan. Dari sana Elena bisa melihat keramaian, tapi tidak terlalu jadi pusat perhatian.
“Minum apa, Mbak?” tanya pelayan itu sambil menyiapkan tablet kecil untuk mencatat pesanan.
Elena ragu sebentar. Ia jarang sekali minum alkohol, bahkan hampir tidak pernah. Tapi malam ini berbeda. Malam ini, ia butuh sesuatu yang bisa membuat kepalanya berhenti berpikir. “Apa saja … yang agak manis. Biar nggak terlalu pahit,” jawab Elena canggung.
Pelayan itu tersenyum paham. “Baik. Saya bawakan cocktail, ya. Tunggu sebentar.”
Elena mengangguk pelan, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa. Ia menghela napas panjang, menatap kosong ke arah kerumunan orang-orang yang tampak bahagia. Seandainya saja hidupnya juga bisa semudah itu.
Tak lama kemudian, minumannya datang. Segelas cocktail berwarna merah muda dengan hiasan potongan jeruk di pinggir gelas. Elena menatapnya sebentar, lalu meneguknya tanpa banyak pikir. Rasanya manis bercampur pahit, hangatnya langsung mengalir ke tenggorokannya.
Gelombang kecil keberanian mulai muncul. Kepalanya sedikit ringan. Ia meneguk lagi, kali ini lebih banyak.
Pelayan tadi masih berdiri tak jauh darinya. Entah dorongan dari mana, tiba-tiba Elena memanggilnya. “Mbak .…”
Pelayan itu mendekat, tersenyum sopan. “Iya, Mbak?”
Elena menunduk sebentar, lalu memberanikan diri. “Di sini … apa ada … maksud saya pria yang bisa nemenin?” tanya Elena dengan suara pelan, nyaris tak terdengar.
Pelayan itu sempat terdiam, lalu menatapnya penuh arti. Senyum tipis muncul di bibirnya. “Maksud Mbak … teman minum? Atau teman ngobrol?”
Elena menghela napas, lalu memalingkan wajah. Pipinya memanas. “Ya … semacam itulah.”
Pelayan itu mengangguk paham. “Ada, Mbak. Tapi biasanya harus booking dulu. Kalau Mbak mau, saya bisa coba tanyakan. Tunggu sebentar, ya.”
Elena hanya mengangguk. Ia meneguk lagi minumannya. Rasa malu bercampur dengan rasa penasaran. Ia sendiri tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. Ia hanya ingin melupakan rasa sakit di dadanya.
Waktu berjalan. Gelas cocktail pertama habis, pelayan membawakan lagi. Elena meneguk tanpa pikir. Musik semakin keras, lampu semakin redup, dan kepalanya mulai terasa berat.
Sekitar setengah jam kemudian, seorang pria masuk ke area lounge. Tubuhnya tinggi, tegap, mengenakan kemeja hitam dengan kancing bagian atas terbuka. Rambutnya sedikit berantakan tapi justru membuatnya tampak kasual. Wajahnya tegas, tatapannya tajam tapi santai. Ia duduk di kursi tak jauh dari Elena, lalu memanggil bartender untuk memesan minuman.
Elena yang sudah agak mabuk menatapnya. Pandangannya kabur, tapi ia masih bisa melihat garis wajah pria itu yang tampak menonjol di bawah cahaya lampu. “Oh … ini pasti dia…,” gumam Elena dalam hati.
Ia mengira pria itu adalah orang yang dikirimkan pelayan tadi. Seorang gigolo yang siap menemaninya malam itu.
Pria itu, Axel, baru saja menerima minumannya ketika Elena dengan langkah agak goyah mendekat. Ia tersenyum genit, duduk di kursi sebelah tanpa diundang.
“Hai .…” Suara Elena sedikit serak. “Kamu pasti … ya? Yang dikirim buat aku?”
Axel menoleh, alisnya berkerut. “Apa maksudmu?”
Elena tertawa kecil, lalu menyentuh lengannya. “Nggak usah pura-pura. Aku tahu kamu … kamu kan yang dikirim sama pelayan tadi buat nemenin aku malam ini.”
Axel menatapnya heran, lalu tertawa kecil. “Mbak, saya rasa kamu salah orang. Saya cuma lagi mau minum di sini, nggak lebih.”
Elena menggeleng keras. “Nggak, kamu jangan bohong. Aku … aku tahu. Kamu ganteng banget. Cocok. Pas banget sama yang aku butuhin malam ini.”
Axel menaruh gelasnya, lalu menatap Elena serius. “Kamu udah minum berapa banyak?”
Elena mengangkat gelasnya yang hampir kosong. “Baru dua. Tapi aku masih bisa kok. Jangan khawatir.”
Axel menghela napas. “Kamu salah paham. Aku bukan kayak yang kamu pikir. Aku cuma ....”
Sebelum Axel melanjutkan, Elena menyandarkan tubuhnya ke bahunya. “Aku capek … capek banget. Kamu nggak usah ngomong apa-apa. Temenin aku aja malam ini. Boleh kan?” suaranya bergetar, ada kesedihan yang tersembunyi di balik candaan mabuknya.
Axel terdiam. Ia bisa merasakan kalau wanita di sebelahnya ini sedang tidak baik-baik saja. Tapi, ia juga tahu ini situasi yang salah.
“Elena, ya?” Axel menebak setelah melihat kartu karyawan yang tergantung di tas kecil Elena.
Elena mendongak, matanya berbinar samar. “Iya … kok kamu tahu namaku? Wah, profesional sekali. Memang harusnya begitu kan? Tahu siapa klienmu.” Ia terkekeh kecil, lalu menatap Axel dengan senyum genit. “Jadi, kamu mau temenin aku kan?”
Axel menahan tawa getir. “Kamu bener-bener salah paham, Mbak. Tapi ….” Ia terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
Elena meneguk sisa minumannya, lalu bangkit. Ia menarik tangan Axel dengan spontan. “Ayo … kita ke atas. Ada hotel di lantai atas kan? Aku tahu. Aku pernah dengar. Kita ke sana.”
Axel menatap tangannya yang ditarik, lalu menatap wajah Elena yang setengah mabuk. Ia bisa saja menolak, tapi ada sesuatu di sorot mata wanita itu yang membuatnya tidak tega.
Elena menoleh, tersenyum lebar meski matanya berkaca-kaca. “Ayo dong … jangan bikin aku nunggu. Malam ini aku pengen lupa semuanya.”
Dan dengan langkah goyah namun yakin, Elena menarik Axel menuju lift yang mengarah ke lantai atas.
Pintu lift terbuka. Musik dari bawah terdengar semakin jauh. Hanya suara detak jantung Elena yang makin kencang, bercampur dengan suara napas Axel yang terdengar berat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
partini
keren ini mantafff ini ga terlalu mengsedihhhh kan Thor
2025-09-10
2
septiana
masih di awal tapi udah bikin geregetan,ya walaupun dilampiaskan dengan cara yg salah.. di tunggu kelanjutannya ma, semangat 💪🥰
2025-09-09
2
ken darsihk
He he kweeenn Elena walau mungkin setelah ini kamu menyesali nya
2025-09-11
1