Sudah seminggu berlalu sejak malam di rumah tua Ki Jatmiko. Bagi Dewa, hari-hari setelah ritual itu berjalan biasa saja, bahkan terlalu biasa. Tidak ada penampakan hantu, tidak ada suara gaib, bahkan tidak ada mimpi aneh. Ia mulai merasa seluruh ritual itu hanyalah trik murahan untuk menakut-nakuti orang polos.
Menurutnya zaman modern seperti ini percaya dengan hal-hal gaib hanyalah upaya dari oknum untuk mencari keuntungan semata. Lagi pula untuk apa juga ada orang yang mau berhubungan dengan hal mistis dan hantu, kurang kerjaan. Setidaknya itulah isi pikiran Dewa seminggu ini.
Di sekolah, Dewa dan teman-temannya menjadikan hal itu bahan olok-olok. Candaan garing untuk menekankan secara tidak langsung kalau mereka yang percaya dengan hal seperti itu adalah orang bodoh.
"Gimana, Wa, udah bisa lihat pocong belum?" tanya Andra di kantin sambil menyenggol lengannya.
Dewa hanya tertawa keras, menyendok bakso goreng ke mulutnya. "Mana ada, Dra. Nggak ada apa-apa. Gua bilang juga apa, semua itu omong kosong. Bagas aja yang terlalu percaya mitos."
Bagas yang duduk di seberang mereka menatapnya sambil mendesah. "Lo jangan sombong dulu, Wa. Ritual itu nggak langsung kerasa. Ada waktunya."
"Terserah lo, Gas," sahut Dewa dengan tawa mengejek. "Gua sih enjoy-enjoy aja. Mata batin gua nggak kebuka, dan gua nggak perlu lihat setan. Hidup gua udah cukup ribet sama ujian nasional nanti. Kalau nilai gua jelek yang ada gue bisa dipukul bokap gua."
"Kalau lo nggak lulus, lo jadi penangkap hantu aja nanti. Terus lo ajak buat konten bareng itu hantu, rame pasti apalagi muka lo ngejual banget buat di medsos," kata Kevin.
"Ogah banget muka gua disandingin sama setan," protes Dewa.
"Siapa tahu ada kunti yang naksir lo, Wa," ejek Raka.
"Lo sama Kevin aja sana yang pacaran sama kunti." Dewa melemparkan sedotan ke arah Raka.
Tawa pecah di antara mereka. Obrolan pun bergeser ke hal lain, dan Bagas hanya bisa menggeleng pelan.
HARI KEDELAPAN.
Dewa baru pulang dari nongkrong bersama teman-temannya. Jam dinding di kamar menunjukkan pukul sebelas malam. Ia melemparkan jaketnya ke kursi, menyalakan musik pelan dari ponselnya, lalu merebahkan diri di ranjang empuk. Lampu kamar sengaja ia biarkan menyala redup seperti biasa agar memudahkannya disapa oleh rasa kantuk secepat mungkin.
Perlahan mata Dewa mulai terpejam, namun kembali terbuka ketika ia mendengar suara ... samar.
Seperti seseorang sedang berjalan pelan di luar kamarnya. Langkah kaki, berderit, terhenti tepat di depan pintu.
Dewa membuka mata, menegakkan tubuh. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Ia menunggu, tapi pintu tetap diam, tidak terbuka.
"Bibi?" panggilnya lirih, mengira pembantu rumahnya masih terjaga.
Tidak ada jawaban.
Hanya keheningan.
Dewa bangkit, berjalan ke pintu, lalu membukanya dengan gerakan cepat. Lorong rumah kosong, hanya cahaya lampu temaram dan dingin malam yang menyusup dari jendela.
Ia menelan ludah, menggeleng pelan. Entah kenapa malam ini rasanya suasana rumah sunyi sekali.
Halusinasi aja kali. Capek, batin Dewa.
Dewa kembali ke ranjang, mencoba tidur lagi. Namun saat ia hampir terlelap, ia merasa ada sesuatu bergerak di pojok kamar.
Bayangan. Cepat, melintas seperti asap hitam.
Dewa langsung duduk tegak, matanya membelalak. Namun saat menatap ke sudut kamar, tidak ada apa-apa selain lemari kayu besar. Jantung Dewa berpacu luar biasa cepat, membuat dadanya sesak.
Ia tertawa hambar, mencoba menenangkan dirinya. Tak ingin berpikir macam-macam. Dan hanya menganggap kalau itu efek dari rasa lelah dirinya.
"Santai, Wa. Lo kebanyakan nonton film horor," ucap Dewa seraya mengambil napas panjang.
Meski begitu, malam itu ia susah tidur. Ada perasaan resah dalam dirinya.
Hari-hari berikutnya, kejadian serupa makin sering muncul.
Di kelas, ketika guru sedang menulis di papan tulis, Dewa melihat bayangan hitam berdiri di belakang Andra. Bayangan itu tinggi, kurus, dan kepalanya miring dengan cara yang tidak manusiawi. Ia tertegun, menahan napas, tapi dalam sekejap bayangan itu lenyap.
"Lo kenapa, Wa?" tanya Andra, heran melihat wajahnya pucat.
"Eh? Nggak, nggak apa-apa," sahut Dewa cepat, menunduk ke buku catatannya.
Saat pulang sekolah, Dewa sering merasa ada orang mengikutinya. Langkah kaki yang selalu selaras dengan langkahnya, meski ketika ia menoleh, jalan di belakang kosong.
Dan yang paling membuat bulu kuduknya merinding adalah ketika ia masuk kamar mandi suatu sore. Saat menatap cermin, ia melihat sekilas sosok anak kecil berdiri di belakangnya, pucat, mata hitam legam, tanpa suara.
Dewa berbalik dengan reflek.
Kosong.
Tapi ia bersumpah ia melihatnya.
MALAM KEEMPAT BELAS.
Dewa baru selesai mandi dan duduk di meja belajar. Lampu kamar menyala terang, musik pelan mengalun dari ponselnya. Ia mencoba mengerjakan tugas, meski pikirannya kacau oleh gangguan-gangguan belakangan ini.
Tiba-tiba, hawa kamar berubah dingin. Begitu dingin hingga bulu kuduknya berdiri. Perasaannya tiba-tiba tidak enak.
Ia menoleh, dan saat itulah ia melihatnya.
Di pojok kamar, tepat di antara lemari dan jendela, berdiri sosok perempuan.
Tubuhnya kurus, kulitnya pucat kebiruan. Rambut panjang kusut menutupi wajah, hanya terlihat satu mata merah yang menatap tajam ke arahnya. Gaun putihnya kotor penuh tanah, dan dari bibirnya mengalir cairan hitam pekat.
Dewa membeku. Tenggorokannya kering, keringat dingin mengalir di pelipis.
Sosok itu tidak bergerak. Hanya berdiri, menatap.
Lalu perlahan, sangat perlahan, sosok itu mengangkat tangan kurusnya, menunjuk ke arah Dewa.
"Sa ... de ... wa ...." Suara serak sosok itu seperti bisikan dari kedalaman bumi.
Dewa tersentak saat namanya disebut, hampir jatuh dari kursinya. Ia meraih gagang pintu, membuka dengan kasar, lalu berlari keluar kamar. Napasnya terengah, jantungnya hampir meledak.
Di lorong rumah, ia bertemu ibunya. "Wa, kamu kenapa?" tanya sang ibu cemas melihat wajah anaknya pucat pasi.
Dewa terdiam, lidahnya kelu. Bagaimana ia bisa menjelaskan?
"Nggak ... nggak apa-apa, Bu," jawabnya akhirnya, mencoba tersenyum palsu. "Tadi kejedot lemari," timpalnya dengan dusta.
Ibunya menatapn Dewa lama, seolah tahu ada yang disembunyikan, tapi akhirnya mengangguk pelan. "Jangan bikin Ibu khawatir."
Dewa hanya mengangguk cepat, lalu masuk ke kamar tamu untuk tidur malam itu. Ia tidak berani kembali ke kamarnya sendiri. Tidak setelah dengan apa yang dilihatnya.
Keesokan harinya, di sekolah, wajahnya kusut. Lingkar hitam menghiasi matanya.
Andra menyenggol bahunya. "Lo kenapa, Wa? Kurang tidur?"
Dewa tertawa hambar. "Iya, begitulah."
"Waduh, jangan-jangan lo beneran diganggu setan abis buka mata batin?" candanya.
Dewa langsung menatapnya tajam. "Jangan becanda, Dra."
Andra terdiam, kaget dengan nada serius temannya. Sementara Bagas yang sejak tadi memerhatikan hanya menarik napas pelan.
"Apa gue udah bilang?" katanya lirih. "Lo pikir semua ini mainan. Tapi sekali lo buka mata batin, lo nggak bisa nutup lagi. Sekarang lo harus siap."
Dewa menelan ludah, tatapannya kosong. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa menyesal.
Malamnya, ketika Dewa kembali ke kamar yang sudah seharian ia hindari, Dewa menemukan sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Di cermin besar yang menempel di dinding, ada goresan samar. Bukan debu, bukan goresan biasa.
Tulisan.
'AKHIRNYA KAU MELIHATKU'
Jantungnya seakan berhenti berdetak.
Dan dari pantulan cermin itu, ia melihat sosok perempuan pucat berdiri di belakangnya, tersenyum lebar hingga memutus urat ketenangan Dewa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Miss Typo
apa Dewa buat tumbal kekayaan kedua orang tuanya ya???? 🤔
2025-09-08
1