NovelToon NovelToon

TRANSMIGRASI KE ERA KOLONIAL

BAB 1. ARUNA

Siang itu, matahari merayap cukup terik membanjiri seluruh permukaan bumi, mengirimkan cahaya keemasan yang menelusup di antara jendela kaca tinggi rumah sakit peninggalan Belanda itu. Bangunan tua bercat putih gading dengan pilar-pilar kokoh bergaya neoklasik masih berdiri anggun, meski beberapa sisinya telah retak dimakan usia. Di halaman depan, pepohonan trembesi menjulang, menaungi tanah yang dahulu sering dilewati para dokter Belanda dengan mantel panjang dan sepatu kulit mengilap. Kini, di abad ke-21, jejak itu digantikan oleh derap langkah dokter dan perawat muda berseragam putih, yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Di antara hiruk pikuk itu, berdirilah seorang perempuan muda dengan wajah tegas namun lembut: Aruna Prameswari. Usianya baru 27 tahun, namun namanya telah menjadi perbincangan banyak kalangan medis. Sejak menempuh pendidikan kedokteran, Aruna dikenal sebagai sosok jenius yang cepat memahami teori sekaligus piawai memeraktikkan keahliannya. Banyak profesor yang kagum pada ketajaman analisanya, bahkan beberapa menyebutnya sebagai 'dokter masa depan' karena idealismenya yang bersinar terang.

Bagi Aruna, menjadi dokter bukan sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa. Ia percaya ilmu kedokteran bukan milik segelintir orang, melainkan jalan untuk menolong sebanyak mungkin manusia. Ia memandang sumpah dokter bukan hanya serangkaian kata, tetapi sebuah janji suci. Dan janji itu, baginya, harus ditepati tanpa kompromi.

Namun, idealisme itu perlahan diguncang.

Sejak pertama kali resmi bekerja di rumah sakit peninggalan Belanda di Jakarta ini, Aruna menemukan kenyataan yang berbeda dari yang ia bayangkan. Ia menyaksikan permainan kotor, dokter-dokter senior yang lebih sibuk mengejar proyek, mengutamakan pasien kaya daripada yang miskin, bahkan terkadang mengulur-ulur penanganan demi keuntungan pribadi. Hal-hal itu membuat dadanya sesak. Ia mencoba menegur, mengingatkan, bahkan melaporkan, tetapi sering kali suaranya dipandang sebagai keluguan seorang anak muda yang belum paham 'dunia nyata'.

Hari itu, amarahnya benar-benar memuncak. Seorang dokter senior sengaja menunda operasi seorang pasien miskin dengan alasan ruang operasi penuh, padahal ruangan itu justru digunakan untuk pasien lain yang berani membayar lebih mahal. Aruna menahan gemetar di tangannya ketika ia menyaksikan si pasien miskin, seorang bapak tua, menahan sakit dengan wajah pucat.

"Apa gunanya kita bersumpah untuk menolong siapa pun tanpa membeda-bedakan, kalau begini? Dasar para tikus gila uang," gumamnya lirih, hampir tak kuasa menahan air mata.

Aruna akhirnya melangkah keluar dari rumah sakit, mencari udara segar. Halaman depan dengan bangku-bangku tua peninggalan Belanda menjadi pelariannya. Ia duduk, meletakkan stetoskop di pangkuan, lalu menatap kosong ke arah langit yang sudah mulai dipenuhi awan putih tipis.

Dadanya penuh sesak. Rasanya, seluruh dedikasinya hancur terinjak-injak oleh keserakahan orang-orang yang seharusnya menjadi teladan. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan, membiarkan rasa frustasi itu mengalir begitu saja.

"Waarom zit zo'n mooi meisje hier alleen met zo'n boos gezicht?" (Mengapa gadis cantik duduk sendirian di sini dengan wajah kesal?)

Suara itu datang tiba-tiba, lembut namun penuh keingintahuan. Aruna terkejut, menurunkan tangannya, lalu menoleh. Di hadapannya berdiri seorang wanita paruh baya, berambut pirang pucat yang mulai dipenuhi uban. Pakaian yang ia kenakan sederhana, namun jelas terlihat bahwa ia bukan orang Indonesia. Dari sorot mata biru cerahnya dan juga bahasa yang digunakannya, Aruna langsung mengenali: wanita ini orang Belanda.

Aruna tersenyum tipis, meski wajahnya masih muram. Ia menguasai banyak bahasa, termasuk Belanda, sehingga tanpa kesulitan ia menjawab dengan lancar.

"Ach, Mevrouw, ik ben gewoon moe en een beetje teleurgesteld." (Ah, Nyonya, saya hanya lelah dan sedikit kecewa.)

Wanita itu tersenyum hangat, lalu duduk di sampingnya tanpa diminta. "Teleurgesteld? Waarom? Je bent dokter, nietwaar? Dat is toch een prachtige roeping." (Kecewa? Kenapa? Kau seorang dokter, bukan? Bukankah itu panggilan yang indah?)

Aruna mengangguk pelan. "Ja, maar soms voelt het alsof velen vergeten wat die roeping werkelijk betekent." (Ya, tapi kadang rasanya banyak orang lupa apa arti sebenarnya dari panggilan itu.)

Wanita itu menghela napas panjang. Matanya menerawang seakan terseret oleh kenangan jauh. "Dat is niet alleen van nu. Zelfs vroeger ... mensen vergeten vaak het hart van hun plicht." (Itu bukan hanya terjadi sekarang. Bahkan dulu pun ... orang sering lupa akan hati dari kewajibannya.)

Wanita itu memandang Aruna lekat, seolah melihat sanak keluarga yang dekat.

Aruna memandang wanita itu lebih dekat. "Bent u toerist?" (Apakah Anda turis?)

Wanita itu tersenyum, lalu menggeleng. "Niet zomaar toerist. Ik ben hier om de sporen van mijn voorouders te zien. Mijn familie leefde ooit hier, in dit land." (Bukan sekadar turis. Saya datang untuk melihat jejak leluhur saya. Keluarga saya pernah tinggal di sini, di negeri ini.)

Aruna mengerutkan dahi, rasa ingin tahunya bangkit. "En uw voorouder ... wie was hij?" (Lalu leluhur Anda ... siapa dia?)

Wanita itu menoleh, menatap Aruna dengan sorot mata yang dalam, seakan kalimat yang akan ia ucapkan bukanlah sesuatu yang remeh.

"Van der Capellen," jawab wanita itu dengan senyum yang luar biasa lembut. Seolah nama itu adalah nama dari orang yang paling ia kasihi sepanjang hidupnya.

Nama yang meluncur dari bibir wanita itu membuat Aruna terdiam. Sebuah nama yang pernah ia baca sekilas dalam catatan sejarah: seorang Gubernur Jenderal Belanda pada masa kolonial.

Wanita itu melanjutkan dengan suara lirih, "Mijn voorouder hield van dit land, van de mensen hier. Hij stichtte scholen, probeerde hun leven te verbeteren. Maar in zijn tijd werd hij door zijn eigen mensen gehaat. Ze noemden hem zwak, omdat hij te veel van dit land hield. Uiteindelijk werd hij gedwongen teruggestuurd, na tien jaar." (Leluhur saya mencintai negeri ini, mencintai orang-orang di sini. Ia mendirikan sekolah, berusaha memperbaiki kehidupan mereka. Tapi di masanya, ia justru dibenci oleh kaumnya sendiri. Mereka menyebutnya lemah karena terlalu mencintai negeri ini. Akhirnya, ia dipaksa pulang, setelah sepuluh tahun berkuasa.)

Aruna tertegun. Kisah itu menyentuh hatinya. Ia membayangkan seorang pejabat kolonial yang seharusnya menindas, justru memilih mencintai negeri jajahannya, hingga akhirnya ia sendiri dianggap pengkhianat oleh bangsanya. Ya, Aruna pernah membaca tentang Gubernur ini. Aruna bahkan tahu kalau Gubernur itu adalah satu-satunya pimpinan Hindia-Belanda yang paling manusiawi di antara semua Gubernur Belanda yang pernah berkuasa di negeri ini pada era kolonial dulu.

Namun sebelum Aruna bisa bertanya lebih jauh, terdengar suara laki-laki dari kejauhan. "Moeder! Het is tijd voor uw onderzoek!" (Ibu! Sudah waktunya pemeriksaan Anda!)

Aruna menoleh, mendapati seorang pria tinggi berwajah khas Eropa melangkah mendekat. Sorot matanya tajam, tubuhnya tegap, jelas bahwa ia bukan sekadar pengunjung biasa.

Wanita itu bangkit perlahan. Ia menepuk bahu Aruna lembut. "Ik moet gaan. Maar Meisje ... je lijkt echt op haar." (Aku harus pergi. Tapi gadis ... kau benar-benar mirip dengannya.)

Aruna terdiam, kebingungan. "Op wie, Mevrouw?" (Dengan siapa, Nyonya?)

Wanita itu hanya tersenyum samar, lalu melangkah pergi bersama pria itu.

Aruna masih duduk terpaku di bangku, mencoba mencerna kata-kata terakhir wanita itu.

Mirip dengan siapa? Pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban.

Aruna akhirnya berdiri, menghela napas panjang, lalu kembali melangkah masuk ke dalam rumah sakit. Ia mencoba menyingkirkan rasa penasarannya, berniat melanjutkan pekerjaan. Namun baru beberapa langkah ia ambil, suara retakan keras terdengar dari atas bangunan tua itu.

"Aruna! Awas!" teriak seseorang.

Ia menoleh, namun terlambat. Salah satu bagian atap tua yang lapuk mendadak runtuh, menimpa tubuhnya. Segalanya menjadi gelap.

Rasanya Aruna seperti berada di dalam air yang dalam. Pengang, sepi, menyesakkan dan gelap. Samar-samar suara terdengar seperti radio yang mencari sinyal.

Saat Aruna membuka mata, ia tidak lagi berada di rumah sakit itu.

Yang pertama ia rasakan adalah tanah yang lembut dan aroma rerumputan basah. Ia terbaring di area terbuka, dengan langit biru membentang luas di atasnya. Udara terasa jauh lebih segar, lebih murni, seolah tak tercemar polusi. Ia terengah, mencoba bangkit, namun pandangannya teralihkan oleh sosok seorang wanita tua di sampingnya.

Wanita itu mengenakan kebaya lusuh berwarna cokelat, kain panjang sederhana melilit pinggangnya. Wajahnya keriput, namun matanya jernih penuh ketegasan. Ia menatap Aruna seolah sudah lama menunggunya.

"Anak muda ... kau akhirnya terbangun."

Aruna terpaku. Suaranya lirih, namun membawa sesuatu yang tak bisa dijelaskan, seakan sebuah cerita panjang akan segera terungkap.

Dimana aku? batin Aruna.

BAB 2. TERJEBAK DI MASA LALU

Aruna perlahan membuka matanya. Pandangannya kabur, cahaya yang menembus sela-sela dedaunan di atas kepalanya menyilaukan retina yang masih lelah. Tubuhnya terasa berat, seolah terhimpit oleh mimpi buruk yang panjang. Napasnya tersengal, jantungnya berdegup kencang, dan untuk sesaat ia tidak tahu apakah dirinya masih berada di dunia nyata atau masih tersesat dalam mimpi.

Udara yang ia hirup begitu berbeda, tidak ada bau antiseptik, tidak ada suara mesin medis, tidak ada gemuruh lalu lintas kota. Yang ada hanya wangi tanah basah, suara serangga hutan, dan desir lembut angin yang membawa aroma dedaunan liar. Tubuhnya terbaring di atas anyaman tikar kasar, di ruang terbuka yang dindingnya hanya berupa bilah-bilah bambu dengan atap rumbia yang samar-samar bocor cahaya.

Aruna tersentak. Ini bukan kamar rumah sakit. Ini bukan apartemennya di Jakarta.

"Syukurlah kau sudah siuman, Nduk," suara seorang perempuan tua terdengar pelan di sampingnya.

Aruna menoleh. Seorang wanita tua duduk bersila di lantai tanah beralas tikar, menatapnya dengan sorot mata penuh perhatian. Wajahnya berkerut dimakan usia, rambutnya disanggul sederhana dengan kain lusuh, dan tubuhnya dibalut kebaya berwarna cokelat pudar. Tangannya yang keriput memegang sebuah mangkuk tanah liat berisi air.

Aruna menelan ludah, bingung. "Ini ... di mana saya?" suaranya parau, nyaris tak percaya pada kenyataan di hadapannya.

Wanita itu tersenyum tipis, memperlihatkan giginya yang sudah banyak tanggal. "Kau ditemukan pingsan di pinggir alas, dekat jalan setapak menuju sawah. Untung ada petani yang melihat, lalu mereka membawamu ke sini. Ini desa Depok Lama, Nduk. Tempat kecil yang dekat dengan Batavia."

Aruna membelalakkan mata. Depok Lama? Batavia? Kedua nama itu bagai gema asing di telinganya, tapi pada saat yang sama terasa akrab dari buku sejarah yang pernah ia baca. Ia menggigit bibir, mencoba mencerna, menolak pikiran yang tiba-tiba menyergap.

"Batavia? Maksudnya ... Jakarta?" Aruna mencoba bertanya dengan nada ragu.

Wanita itu mengerutkan dahi. "Jakarta? Aku tidak kenal nama itu. Yang kukenal hanyalah Batavia, pusat para Londo itu."

Kata 'Londo' membuat darah Aruna berdesir dingin. Ingatannya melayang pada pelajaran sejarah sekolah: Londo, begitulah rakyat pribumi menyebut orang-orang Belanda, para penjajah yang menguasai tanah air di masa lalu.

Tidak. Tidak mungkin.

Aruna menggeleng, mencubit pergelangan tangannya sendiri. Ia berharap rasa sakit itu akan membangunkannya dari mimpi aneh ini. Namun cubitan itu nyata, pedih, meninggalkan bekas kemerahan di kulitnya.

Wanita tua itu tersenyum prihatin melihat kegugupan Aruna. "Jangan banyak bergerak dulu, Nduk. Kau masih lemah. Ikutlah aku pulang ke rumahku. Tidak baik seorang gadis secantikmu berkeliaran sendirian di desa ini. Kalau sampai para Kompeni tahu, mereka bisa mencurigaimu. Kau bisa dibawa ke kota untuk diinterogasi. Percayalah, itu berbahaya."

Aruna terdiam. Kata 'Kompeni' kembali membuatnya teringat pada istilah lama untuk menyebut tentara Belanda. Apa mungkin ... ia benar-benar terlempar ke masa kolonial?

Tidak. Itu mustahil. Mustahil.

"Bu ... ini tahun berapa sekarang?" tanyanya pelan, hampir berbisik.

Wanita itu menatapnya heran, seolah pertanyaan itu aneh. "Tahun ini ... aku dengar dari Londo kalau tidak salah 1819, Nduk. Apa kau lupa? Atau kepalamu masih pening karena jatuh?"

Dunia Aruna runtuh. Napasnya tercekat, darahnya seperti berhenti mengalir. Tahun 1819. Itu berarti ... lebih dari dua abad lalu.

Ia menolak percaya. Otaknya yang terlatih secara medis mencoba mencari penjelasan rasional: mungkin ini halusinasi akibat trauma, mungkin ia sedang koma dan otaknya menciptakan realitas alternatif. Namun semua yang ia rasakan terlalu nyata, angin yang menyapu kulitnya, bau tanah basah, suara ayam jantan dari kejauhan, bahkan tekstur kasar tikar di bawah tubuhnya.

Wanita tua itu, yang kemudian memerkenalkan diri sebagai Nyi Ratna, menyentuh bahu Aruna lembut. "Ayolah, ikutlah aku. Jangan sampai para Londo melihatmu. Mereka selalu curiga pada orang asing."

Aruna tidak punya pilihan. Dengan tubuh yang masih lemah, ia membiarkan Nyi Ratna Wulan membantunya berdiri. Langkahnya goyah, tapi wanita tua itu sigap menopangnya. Mereka berjalan menyusuri jalan tanah becek yang diapit sawah menghijau dan hutan kecil di kejauhan.

Sepanjang perjalanan, Aruna terus memandang sekeliling dengan perasaan campur aduk. Rumah-rumah bambu beratap rumbia berjejer sederhana. Orang-orang berpakaian lurik, kain jarit, kebaya, atau hanya kain yang dililit di pinggang. Anak-anak berlari tanpa alas kaki, tertawa riang meski tubuh mereka dekil.

Namun bukan itu saja yang membuatnya tertegun. Sesekali ia melihat sosok berkulit pucat, tinggi, dengan rambut pirang atau cokelat, mengenakan seragam rapi, menunggang kuda sambil menatap tajam ke arah rakyat. Setiap kali orang-orang itu lewat, suasana desa seketika hening, penuh ketakutan.

Aruna merinding. Sosok-sosok itu nyata, tentara Belanda, para Kompeni. Ia mengenalinya dari gambaran di buku sejarah.

Hatinya bergemuruh. Apa benar ia telah terjebak di masa lalu?

Rumah Nyi Ratna berada di tepi desa, sebuah bangunan kayu sederhana dengan dinding anyaman bambu. Bau asap kayu dan wangi singkong rebus menyambut Aruna begitu masuk. Nyi Ratna menyuruhnya duduk di bangku kayu reyot, lalu menuangkan air ke dalam tempurung kelapa dan menyodorkannya.

"Minumlah dulu, Nduk. Air hangat bisa membuatmu tenang," suruh Nyi Ratna.

Aruna meneguk perlahan. Rasanya hambar, tapi cukup menenangkan tenggorokannya yang kering.

"Sekarang katakan padaku," ujar Nyi Ratna lembut. "Siapa sebenarnya kau, dan dari mana asalmu? Kenapa anak gadis secantik dirimu ada di desa ini?"

Aruna terdiam lama. Bagaimana ia bisa menjelaskan?

"Saya ... dari kota Jakarta," jawabnya akhirnya.

Nyi Ratna mengerutkan dahi. "Jakarta? Aku tidak pernah dengar. Apa itu desa baru? Atau negeri jauh?"

Aruna menggigit bibir. Ia lupa, Jakarta baru digunakan setelah kemerdekaan. Pada tahun 1819, kota itu masih bernama Batavia.

"Batavia," Aruna mengoreksi ucapan sebelumya. "Mungkin ... Batavia."

Nyi Ratna mengangguk pelan, meski masih terlihat bingung. "Tapi dari penampilanmu, rasanya kau bukan orang sini. Pakaianmu aneh. Dan kulitmu halus, bukan seperti orang desa yang terbiasa kerja sawah. Apa kau dari keluarga Londo?"

Aruna terdiam, lalu kemudian menggeleng.

"Apa pekerjaanmu sebenarnya, Nduk?" tanya Nyi Ratna lagi.

Aruna menelan ludah. Bagaimana menjelaskan profesinya pada orang tahun 1819? "Saya ... seorang dokter,” jawabnya hati-hati.

Mata Nyi Ratna membesar. "Dokter? Apa itu?"

Aruna menarik napas dalam-dalam. "Dokter ... adalah orang yang membantu menyembuhkan orang sakit. Kami menggunakan ilmu pengetahuan, obat, dan cara-cara tertentu untuk merawat tubuh manusia."

Nyi Ratna terdiam, wajahnya berubah takjub. "Kau ... seorang tabib?"

Aruna mengangguk ragu.

"Ya Gusti ...." Nyi Ratna menutup mulutnya dengan tangan gemetar. "Tabib adalah anugerah bagi orang-orang desa. Semua orang menghormati tabib, karena hanya mereka yang bisa menjadi harapan ketika sakit datang. Kau ... benar-benar tabib?"

Aruna menghela napas panjang. Ia tidak tahu harus bangga atau takut. Ia memang seorang dokter, tapi berada di dunia asing ini, apakah ilmunya bisa membantu? Apakah orang-orang akan menerima pengetahuannya atau justru menganggapnya penyihir? Ia tahu apa yang terjadi pada mereka yang memiliki pengetahuan lebih tentang hal yang tidak umum, terutama seorang wanita. Mereka akan dianggap penyihir, orang gila, dan paling mengerikannya sampai dibunuh dan dibakar hidup-hidup karena takut menjadi ancaman.

Pertanyaan itu bergema di benaknya, bersama satu kenyataan pahit: ia, Aruna Prameswari, dokter muda abad ke-21, kini terjebak di sebuah desa kecil di bawah bayang-bayang kekuasaan kolonial Belanda tahun 1819.

Dan entah bagaimana caranya, ia harus bertahan.

BAB 3. SEKILAS INFORMASI

Aruna terbangun pagi itu dengan tubuh yang masih terasa lemah. Bau kayu bakar yang menyisakan arang tercium samar dari tungku di sudut ruangan, bercampur dengan wangi dedaunan kering yang digantung di atasnya. Cahaya mentari pagi menyusup lewat sela-sela anyaman dinding bambu, membentuk garis-garis tipis keemasan di lantai tanah. Ia mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan dunia asing yang kini benar-benar nyata di hadapannya.

Di hadapannya, Nyi Ratna sedang duduk bersila. Perempuan tua itu menatapnya dengan mata teduh yang menyimpan sesuatu antara kasih dan kecemasan. Tangannya sibuk melipat sehelai kain jarik bermotif parang sederhana.

"Nduk, kau harus mengenakan ini," ucap Nyi Ratna dengan suara lirih, seakan tak ingin mengejutkan Aruna. "Pakaianmu semalam ... terlalu mencolok. Kalau ada mata-mata yang melihat, bisa runyam urusannya."

Aruna menoleh ke arah baju yang ia kenakan semalam: kemeja putih bersih, celana panjang berbahan katun, dan jaket dokter muda yang menjadi kebanggaannya. Semua itu kini terlipat rapi di sudut ruangan. Ia mendesah pelan. Baju itu adalah identitasnya, penanda siapa dirinya. Namun di mata dunia asing ini, mungkin justru menjadi bencana.

"Kenapa?" tanyanya lirih yang kini mencoba memakai bahasa baku formal agar tidak terdengar aneh di situasi ini. "Apakah ada yang salah jika aku terlihat berbeda?"

Nyi Ratna menggeleng pelan. Ia menyodorkan kain jarik itu, lalu di atasnya ada kebaya lusuh berwarna cokelat tanah. "Bukan salahmu. Tapi, lihatlah kulitmu, pucat, putih bersih seperti beras tumbuk. Orang akan mengira kau bagian dari mereka."

"Londo?" sela Aruna, menatap penuh tanda tanya.

Nyi Ratna mengangguk dengan getir. "Ya. Para Londo. Banyak mata yang membenci, banyak pula yang haus akan kuasa. Kalau mereka melihatmu, mereka mungkin curiga. Atau ..." Nyi Ratna menunduk sebentar, seakan berat mengucapkannya. "Atau menginginkanmu untuk hal-hal buruk."

Aruna tercekat. Hatinya bergidik membayangkan kemungkinan itu. Ia menggenggam kain pemberian Nyi Ratna dengan tangan bergetar. "Baiklah ... kalau ini bisa membuatku aman, aku akan mengenakannya."

Dengan sabar, Nyi Ratna membantu Aruna berganti pakaian. Jarik dililitkan di pinggang, dilipat rapi hingga menutup betis. Kebaya lusuh disampirkan dan dipasang di tubuhnya. Rambut hitam panjang Aruna diikat sederhana dengan kain kecil, digelung seadanya di tengkuk. Saat akhirnya ia berdiri, Aruna nyaris tak mengenali dirinya sendiri di cermin kecil berbingkai kayu.

"Sekarang kau tampak seperti gadis desa biasa," kata Nyi Ratna dengan senyum samar. "Hanya saja ... kecantikanmu masih terlalu mencolok. Semoga Gusti melindungi, agar tiada mata jahat yang melirikmu."

Aruna tersipu malu sekaligus waswas. Ia belum pernah dipandang sebagai ancaman hanya karena parasnya. Padahal di masa Aruna, tampang Aruna termasuk yang standar saja, karena ada bagitu wanita cantik di era modern.

Setelah Aruna merasa sedikit nyaman dengan pakaian barunya, ia duduk berhadapan dengan Nyi Ratna di dekat tungku. Rasa ingin tahunya tak bisa dibendung lagi. Ia harus tahu kondisi dan situasi sekarang agar tidak melakukan kesalahan fatal yang membahayakan hidup Aruna sendiri.

"Nyi, bolehkah aku bertanya? Aku ingin tahu tentang tempat ini. Tentang desa ini ... tentang orang-orang Londo itu ... tentang keadaan sekarang."

Nyi Ratna menatapnya lama, seakan menimbang apakah gadis asing ini cukup pantas menerima kebenaran. Lalu ia menghela napas panjang.

"Desa ini bernama Dukuh Waringin, dekat Depok Lama," katanya pelan. "Tempat kecil di pinggiran alas, yang masih jauh dari jalan raya. Di sini orang hidup seadanya, bertani singkong, menanam padi saat sawahnya dapat air. Kami menghindar dari hiruk pikuk jalan besar, karena di sana sering lewat serdadu Kompeni."

"Kompeni?" ulang Aruna, mencoba merangkai potongan sejarah dalam kepalanya.

"Ya. Tentara Londo. Mereka berkeliling, memungut hasil bumi dari rakyat. Katanya untuk negeri jauh di seberang lautan. Kopi, tebu, nila ... semua dipaksa tanam. Hasilnya dibawa pergi, rakyat sendiri kelaparan."

Aruna terdiam. Ingatannya tentang pelajaran sejarah di sekolah menyeruak samar. Sistem tanam paksa: Cultuurstelsel. Ia tidak menyangka kini sedang mendengar langsung dari seorang saksi hidup.

"Apakah semua orang di sini takut pada mereka?" tanya Aruna.

"Takut, benci, pasrah. Semua bercampur. Orang yang melawan dibantai. Orang yang tunduk tetap sengsara. Kompeni tak pernah benar-benar peduli pada nyawa pribumi," jawab Nyi Ratna.

Aruna merasakan sesak di dadanya. Ia menunduk, lalu memberanikan diri bertanya lebih jauh. "Kalau Nyi sendiri, asli lahir di desa ini?"

Mata Nyi Ratna berkaca-kaca. Ia menatap ke luar jendela, seakan melihat bayangan masa lalu.

"Aku berasal dari Desa Lengkong," katanya dengan suara bergetar. "Itu dulu, sekitar dua puluh tahun lalu. Kau tahu apa yang terjadi?”

Aruna menggeleng perlahan.

"Kompeni datang, menuduh desa kami menyembunyikan laskar pemberontak. Mereka menyerbu di malam hari. Api membakar lumbung, rumah-rumah, bahkan balai desa. Suamiku terbunuh saat mencoba melindungi keluarga. Anakku, dia masih kecil waktu itu, terinjak-injak dalam kekacauan. Aku ... aku hanya bisa berlari, menyelamatkan diri dengan beberapa orang lainnya."

Suara Nyi Ratna pecah. Tangan tuanya meremas lutut dengan kuat, seakan masih terasa sakitnya kehilangan.

Aruna menahan napas, matanya panas mendengar cerita itu. Ia ingin meraih tangan perempuan tua itu, dan akhirnya melakukannya. "Aku ... turut berduka, Nyi. Aku tidak bisa membayangkan betapa beratnya."

Nyi Ratna tersenyum pahit, lalu menyeka air matanya dengan ujung kain. "Sejak saat itu aku datang ke Dukuh Waringin. Orang-orang di sini menerimaku. Aku membantu mereka sebisaku, mengobati luka, meramu jamu, menolong perempuan melahirkan. Orang-orang menyebutku tabib atau dukun beranak. Padahal, ilmuku terbatas. Aku hanya belajar dari orang tua dulu, dari pengalaman."

Aruna menatapnya dengan penuh rasa hormat. "Tapi apa yang Nyi lakukan sangat berarti. Kau menyelamatkan nyawa orang-orang."

Perempuan tua itu tersenyum samar. "Entahlah. Aku hanya berusaha. Tapi sejak itu, aku hidup seorang diri. Maka ... ketika kau kutemukan semalam di pinggir hutan, aku merasa Gusti mengirimkanmu kepadaku. Tinggallah bersamaku, Aruna. Aku sudah tua. Kehadiranmu membuat rumah ini terasa hangat lagi."

Aruna terdiam lama. Ada rasa haru yang merayapi dadanya. Baginya, tawaran itu bukan sekadar tumpangan, melainkan pertolongan di tengah kebingungannya. Ia mengangguk perlahan. "Terima kasih, Nyi. Terima kasih karena sudah mau membantuku."

Namun kebersamaan mereka baru seumur jagung ketika tiba-tiba pintu rumah digedor-gedor keras.

Dug! Dug! Dug!

"Mbok Ratna! Mbok Ratna! Tolong! Anak saya ... anak saya sakit keras!"

Suara seorang lelaki terdengar dari luar, parau dan cemas.

Nyi Ratna terperanjat, segera bangkit. Ia membuka pintu, mendapati seorang petani dengan wajah pucat penuh keringat. "Tolonglah, Mbok. Anak saya tidak berhenti panas dan menggigil."

Tanpa ragu, Nyi Ratna mengangguk. "Baik. Aku akan datang." Ia menoleh pada Aruna yang berdiri kebingungan. "Kau ikut denganku, Nduk. Aku tak bisa meninggalkanmu sendirian di rumah ini."

Aruna menelan ludah, jantungnya berdebar. Namun ia segera mengangguk. "Baik, Nyi. Aku ikut."

Dengan tergesa, mereka berdua bersiap. Nyi Ratna mengambil buntalan kecil berisi ramuan dan daun kering, lalu melangkah keluar bersama Aruna, mengikuti sang petani menuju rumah yang memanggil pertolongan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!