Cinta Itu Terlalu Dalam
Siang itu begitu terik, Cahaya matahari seakan membakar kulit. Terlihat seorang gadis cantik berkulit putih bersih dengan rambut di kuncir seperti ekor kuda sedang berjalan dengan wajah gembira menuju rumah nya.
Sebuah rumah sederhana bercat abu-abu, yang dikelilingi bunga-bunga dengan berbagai warna.
"Bunda...!" Panggilnya begitu berada pas di pintu rumah.
Tanpa menunggu jawaban, gadis cantik itu langsung masuk kedalam rumahnya. Berjalan sambil celingak-celinguk mencari wanita yang dipanggil nya Bunda itu.
" Bunda dimana?" ucapnya dengan suara sedikit keras karena tak mendapatkan orang yang dia cari.
"Bunda kemana sih, enggak biasanya pergi tidak menutup pintu." ucapnya pada diri sendiri.
Gadis cantik itu duduk di sofa berwarna coklat yang tak lagi berwarna cerah itu. Meletakkan sebuah map yang dibawanya dari sekolah.
Sambil menatap ke arah pintu utama, berharap kalau Bunda nya akan datang. Namun sudah hampir setengah jam dia menunggu, wanita itu tak juga terlihat.
Gadis yang masih mengenakan seragam abu-abu putih itu memegang perutnya yang sudah terdengar bunyinya.
"Ya ampun, aku sangat lapar." Ucapnya sambil memegang perut yang keroncong itu.
Berjalan menuju sebuah kamar untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Tentu saja dengan harapan bundanya cepat pulang.
Tak lama gadis cantik itu terlihat keluar dari kamar dengan mengenakan kaos oblong berwarna biru muda dan juga rok pendek selutut.
Menatap sekeliling, ternyata bundanya belum juga terlihat. Dia berjalan dengan malas ke dapur dan membuka tudung saji yang ada diatas meja.
Ternyata bundanya Masih belum menyiapkan makan siang. Hanya ada nasi goreng sisa sarapan pagi tadi diatas meja. Tanpa pikir panjang gadis itupun langsung melahapnya, karena dia memang sangat lapar.
Namun entah kenapa pikiran nya pun kembali tertuju kepada bundanya Yang tidak berada dirumah.
Berjalan menuju kamar, dan mengambil handphonenya untuk menghubungi sang bunda. Akan tetapi tak ada jawaban.
Dengan gelisah dia berjalan keluar dari rumah dan menuju kerumah tetangga yang berada tak jauh dari rumahnya.
Dengan ragu dia mengetuk sebuah pintu rumah berwarna hijau itu. Berharap akan menemukan jawaban untuk kegelisahan hatinya saat itu.
Pintu itu pun terbuka, dan terlihat seorang wanita paruh baya berambut pendek berdiri didepan pintu.
"Kiara!" senyumnya melebar saat itu.
"Apa ada yang bisa ibu Bantu?" tanya wanita itu.
"Bu, apa hari ini ibu melihat bunda?" tanya Kiara dengan wajah yang khawatir.
"Kamu belum tau?" tanya ibu itu dengan raut wajah berubah sedih.
Perasaan Kiara saat itu semakin gundah. Apa yang dia tidak tau tentang bundanya.
"Memangnya ada apa Bu?" tanya Kiara mendesak.
Si ibu terlihat ragu untuk menjawab, dia terlihat bingung. Entah apa yang sedang terjadi.
"Kiara, kamu yang sabar ya nak!" ucap si ibu lagi.
Sontak saja kata-kata itu membuat mata Kiara berkaca-kaca. Rasa khawatirnya semakin menjadi-jadi.
"Bu, tolong jangan membuat Kiara bingung." ucap Kiara dengan suara bergetar.
"Bunda kamu ...' si ibu kembali menggantung perkataan nya.
Dan pada saat itu juga terlihat sebuah am ambulance melewati ruang yang sedang didatangi Kiara.
Mereka berdua pun mengalihkan pandangan kearah ambulance yang terlihat berhenti didepan pagar rumah Kiara.
Seketika tubuhnya bergetar, perasannya campur aduk saat itu. Tanpa menunggu jawaban lagi Kiara berlari menuju rumah nya. Air bening itu sudah membasahi pipinya.
Kakinya bergetar hebat, begitu dia melihat sebuah tandu diturunkan dari dalam ambulance. Dengan ragu dia mendekat. Menatap jasad yang saat itu tertutup oleh kain putih.
Seorang wanita berusia 40 tahun terlihat mendekat kearah nya. Dia adalah Maya Tante dari Kiara. Memeluk pundak Kiara yang saat itu hanya berdiri mematung ditempatnya.
"Kia, kamu harus kuat ya!" ucap wanita cantik disampingnya saat itu.
Namun tak ada jawaban, dengan tubuh bergetar dan langkah gontai Kiara mengikuti tandu Yang dibawa masuk kedalam rumah nya.
"Dimana bunda?" tanya Kiara yang tidak tau ditujukan ke siapa.
Maya terlihat memeluk erat tubuh Kiara, tanpa sepatah kata. Hanya Isak tangisnya yang terdengar.
"Kenapa Tante menangis, kenapa mereka membawa tandunya kerumah ini?" tanya Kiara dengan tatapan bingung.
"Kiara, jangan seperti ini, lihat Tante!"menarik tubuh kiara menghadap kearah nya.
"Kiara, bunda udah enggak ada!" Ucapan maya sambil menatap Kiara.
Kiara saat itu hanya menggelengkan kepalanya, dia tidak ingin percaya dengan apa yang dia dengar. Tidak mungkin bundanya meninggal, karena saat dia pergi semua baik-baik saja.
Kiara merangkak mendekat kearah jenazah yang masih tertutup rapi itu. Dengan tangan bergetar memberanikan diri membuka penutup wajah jenazah dihadapannya.
Tubuhnya kaku, lidahnya kelu. Tak mampu berucap sepatah kata pun saat itu. Dunianya sekan runtuh, seluruh jiwanya seakan pergi. bagaimana tidak, baru dua bulan yang lalu dia kehilangan sang Ayah. Dan hari ini dia harus kehilangan bundanya.
Tidak akan ada lagi tempatnya berbagi cerita, tak akan adalagi orang yang memberikannya nasehat dan semangat. Luka itu begitu dalam dia rasakan.
Kiara yang terdiam beberapa saat, tiba-tiba memeluk erat jenazah bundanya, tangisnya pecah. Bahkan orang-orang yang hadir untuk melayat tak mampu membendung air mata.
"Bunda, jangan tinggalkan Kiara. Kiara tidak kuat bunda hidup sendiri." Kiara tak melepaskan pelukannya dari jenazah sang bunda.
Maya yang melihat hal itu membujuk Kiara, supaya lebih tenang. Namun Kiara tetap menangis. Maya paham ini bukan hal yang mudah untuk keponakan nya saat itu.
"Tante, kenapa bunda pergi, bunda sakit apa?" tanya Kiara sambil menatap tantenya.
Bukan jawaban yang Kiara dapatkan, Maya memeluk Kiara begitu erat. Dia sendiri juga baru tau, kalau kakaknya itu mengidap penyakit tumor otak stadium akhir.
"Tak ada yang tau kalau bunda sakit, Bunda tidak ingin kita semua sedih." jawab mata sambil terisak.
"Bunda sakit apa Tante?" tanya Kiara.
"Tumor otak stadium akhir." jawab mata.
Kiara pun terdengar histeris, dia merasa begitu bersalah, karena tidak pernah tau kalau bundanya sakit. Dia juga tidak pernah mendengar Bundanya mengeluh sakit.
"Kamu harus ikhlas Kiara, biarkan Bunda pergi Dnegan tenang!" ucap seorang ibu-ibu yang merupakan tetangga Kiara.
Kiara terlihat hanya diam, dia tak lagi mampu untuk berkata-kata, semuanya seakan runtuh. Dalam waktu dekat dia kehilangan kedua urang tuanya.
Dia harus hidup sebatang kara diusianya saat ini. Padahal Kiara berharap dia bisa menunjukkan nilai ijazahnya yang menjadi nilai terbaik.
Kiara menangis dalam diamnya, tak lagi terdengar Isak tangis. Hanya air mata yang terus membasahi pipinya . Jujur dia tidak mampu menghadapi semua takdir ini.
Namun semua tidak bisa dicegah, akan tetapi bagaimana dia akan menjalani hidupnya setelah ini? akan kah dia bisa melewati kehilangan yang bertubi-tubi ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments