Bab 4.Perang Bantal

Perjalanan menuju kota memakan waktu hampir dua jam. Sesampainya di sana, Aruna dan Dirga langsung menuju apartemen baru yang dibelikan oleh kedua orang tua mereka.

Apartemen Veranda Suites Lantai 15 , unit B7

Dirga lebih dulu membuka pintu, lalu membantu Aruna menarik koper masuk. Apartemen itu sudah rapi dan wangi, seakan siap ditinggali kapan saja.

Aruna menghela napas panjang, kemudian melirik ke arah satu-satunya pintu kamar dengan dagu terangkat.

“Sesuai dugaan,” gumamnya datar.

Dirga hanya nyengir lebar sambil menutup pintu apartemen.

“Lo kayak baru kenal Bunda sama Mama aja. Tentu aja mereka beliin apartemen satu kamar. Kita kan pasangan baru menikah.” Ia menekankan dua kata terakhir dengan nada menggoda. “Lo lupa ya? Fokus mereka cuma satu—pengen cucu.”

Aruna langsung mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi.

“Kenapa sih mereka nggak bisa biarin kita hidup tenang? Kemarin diteror buat nikah, sekarang diteror lagi buat punya anak. Ya Tuhan…”

Dirga mendekat dan tanpa banyak bicara, ia merapikan rambut Aruna dengan jarinya. Gerakan refleks, alami, seakan sudah terbiasa.

Aruna langsung menatap tajam, menepiskan tangannya.

“Awas aja kalau lo macam-macam sama gue.”

Dirga mendengus sambil melipat tangan di dada.

“Yaelah, Run. Kalau gue mau apa-apa sama lo, udah dari SMA kali. Lupa? Kita sering ditinggal berdua aja di rumah sama Bunda dan Mama.”

Aruna sempat terdiam, lalu buru-buru meraih tangan Dirga sebelum ia sempat beranjak.

“Eh… iya juga. Dari SMA sampai sekarang lo nggak pernah ketahuan deket sama cewek lain selain gue.” Aruna menutup mulutnya sendiri, matanya melebar syok. “Jangan-jangan lo…”

Dirga mengerutkan kening. “Apa?”

Aruna mendekat, lalu berbisik penuh curiga.

“Lo gay, ya?”

“Gila lo!” Dirga langsung menepis tangan Aruna dengan wajah tidak percaya. “Gue normal, woy.”

Aruna tidak mau kalah. “Kalau lo bukan gay, nggak mungkin lo ngajak gue nikah dadakan tanpa pikir panjang.”

Dirga malah terbahak.

“Hahaha! Kalau gue gay gara-gara menikah sama lo, berarti lo apa? Lesbian?”

Tawa Dirga makin pecah ketika senyum Aruna seketika hilang dari wajahnya.

“Sialan lo!” Aruna meraih bantal sofa lalu memeluknya erat-erat, seperti tameng.

Dirga menahan tawanya, kemudian menarik napas dalam. Kali ini suaranya terdengar lebih pelan.

“Kita punya alasan masing-masing, Run.Selain tekanan orang tua kita.”ucap Dirga yang membuat Aruna mengalihkan pandangan.

Dirga kemudian mengangkat koper mereka berdua, membawanya masuk ke kamar.

Aruna hanya terdiam, menatap punggung Dirga yang menghilang di balik pintu. Pikirannya berputar—kira-kira alasan apa yang membuat dokter psikologi itu berani menikahinya dalam pernikahan sekonyol ini?. Karna tidak mungkin hanya karna tekanan mamanya, karna Dirga tidak sepenurut itu.

_________

Dirga keluar lagi dari kamar dengan wajah datar. “Run, lo udah siap mental belum?”

“Siap mental apaan?” Aruna mendengus.

“Kasurnya cuma satu.”

Aruna spontan berdiri, wajahnya merah padam. “Apaan?! Masa apartemen segede gini cuma ada satu kasur?!”

“Ya salahin aja Mama sama Bunda. Kan mereka yang nyiapin semuanya.” Dirga mengangkat bahu, nada suaranya enteng. “Udah jelas mereka berharap ada yang ‘kejadian’ tiap malam.”

“Lo jangan ngaco deh!” Aruna buru-buru masuk kamar, menatap ranjang queen size dengan sprei putih rapi. “Astaga… ini sih jebakan batman.”

Dirga menyandarkan badan di pintu, menatap malas. “Gue nggak masalah tidur bareng lo, Run. Asal lo nggak berisik aja sih.”

Aruna langsung menoleh cepat, menatapnya tajam. “Maksud lo gue tidur ngorok, gitu?”

“Yaa… mungkin. Soalnya pas di desa kemarin tidur lo agak berisik.” Dirga sengaja menekankan kata itu, senyum jail merekah.

“Hello! Yang berisik itu lo!” Aruna mendengus keras. “Lo tuh kalau tidur dengkurnya udah kayak motor tua mogok.”

“Gue?” Dirga menunjuk dirinya sendiri dengan wajah tidak percaya. “Lo tau nggak, tidur gue itu paling tenang sedunia.”

Tanpa basa-basi, Aruna melempar bantal ke wajah Dirga. “Kebo! Dari mana lo tau tidur lo tenang? Orang lo tidur, mana mungkin bisa denger sendiri. Apa perlu nanti malam gue rekam biar lo liat kalo dengkuran lo udah kayak babi ngepet patroli malam?”

Dirga terbahak sambil naik ke ranjang, balas melempar bantal.

“Bugh!” Aruna terhuyung ke kasur, kaget tapi langsung bangkit dan membalas serangan.

“Lo yang bakal malu!” Aruna menjerit sambil mengayunkan bantal.

Pertempuran bantal pun pecah. Kapas-kapas beterbangan, kamar yang tadinya rapi berubah jadi kayak zona perang. Sampai akhirnya, Dirga berhasil merebut satu-satunya bantal yang masih utuh.

“Woy! Itu punya gue!” Aruna menarik bantal itu sekuat tenaga.

Mereka saling tarik-menarik, tubuh Aruna hampir kehilangan keseimbangan. Dirga sigap menahan lengannya. Sejenak, jarak mereka terlalu dekat. Napas Aruna tercekat, sementara mata Dirga menatapnya tanpa berkedip.

Aruna buru-buru melepaskan genggaman, wajahnya memerah. Ia melipir ke sisi ranjang, lalu mendongak ke plafon. “Harus ada pembatas di antara kita.”

Dirga menaikkan alis. “Jangan bilang lo nyuruh gue bikin ide konyol itu.”

“Ya iyalah, ngapain gue capek-capek. Lo aja. Gampang kok—tinggal ikat kain panjang di atas sana, biar kasur ini kebelah dua. Jadi nggak ada drama tatap-tatapan absurd lagi.”

Dirga menatapnya dengan ekspresi pasrah. “Lo bener-bener unik, Run.”

Meski mendengus, akhirnya ia menuruti. Mereka sama-sama memasang kain panjang yang menjuntai dari plafon, membelah ranjang jadi dua. Setelah itu, mereka sibuk membereskan sisa “peperangan” bantal.

______

Malam pun tiba.

Lelah karena perjalanan panjang dan pertengkaran kecil, mereka berdua terlelap begitu saja. Janji untuk merekam dengkuran masing-masing terlupakan. Dan justru malam itu, apartemen baru mereka dipenuhi dua dengkuran yang saling bersahut-sahutan—seperti simfoni absurd pasangan baru menikah.

Namun jauh di dalam tidurnya, Dirga gelisah.

Potongan bayangan lama menyelinap begitu saja: dirinya kecil, duduk meringkuk di pojokan ruang tamu. Suara pecahan kaca, teriakan lelaki dewasa, tangisan perempuan yang nyaring… semua bercampur jadi satu.

Wajah kecil Dirga menunduk, telinganya ditutup rapat-rapat. Tapi suara itu terlalu keras untuk dihindari.

“Berhenti!” teriak bocah itu dalam mimpinya, matanya memerah menahan takut.

Dirga mendadak terbangun, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia menoleh sekilas ke sisi ranjang, ke arah Aruna yang masih tidur pulas di balik pembatas kain.

Untuk sesaat, Dirga hanya bisa menatap gelap. Bibirnya bergetar, seolah hendak mengucap sesuatu, tapi tak ada suara yang keluar.

.

.

.

Bersambung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!