Menjelang sore, kursi bambu sudah ditumpuk, tenda mulai dibereskan. Anak-anak masih berlarian di halaman, tapi di ruang tamu dua ibu masih ribut sendiri.
“Udah, kalian masuk kamar aja gih. Buruan bikin cucu, biar rame rumah!” seru Bunda Laras sambil terkekeh.
“Iya bener!” timpal Mama Lidya. “Lagipula tadi Dirga udah kebelet anu, katanya.”
Tawa pecah. Dirga hampir nyungsep saking malunya, wajahnya merah padam. Aruna yang berdiri di sampingnya mencubit pinggangnya jahil.
“Lo beneran kebelet anu, Ga?”
“Apaan sih, Run! Ya kalau Mama maunya gitu… gue jabanin lah,” balas Dirga sok gagah, padahal telinganya merah kayak kepiting rebus.
Aruna ngakak kecil, dan Dirga buru-buru menarik tangannya masuk kamar. Pintu langsung dikunci rapat.
“Eh, ngapain dikunci segala?” protes Aruna, tapi tangannya cepat-cepat memutar kunci lagi.
Dirga mengernyit. “Kenapa lo buka lagi? Lo mau ada orang nyelonong masuk?” Ia kembali mengunci, tapi kali ini Aruna menempelkan telapak tangannya di gagang pintu, napasnya tak beraturan, menutup lubang kunci dengan buru-buru.
Suara Aruna bergetar halus. “Gue nggak suka kalau kamar dikunci.”
Dirga sempat menatap curiga. Ada kilatan asing di wajah Aruna—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar protes biasa. Namun Aruna buru-buru mengalihkan perhatian, menyilangkan tangan di dada.
“Jadi, maksud lo tadi… jabanin apa, hah?”
Dirga melepaskan jas pelan, senyum nakal bermain di bibirnya. “Ya jabanin lo lah. Masa jabanin tetangga.”
Ia maju dengan langkah santai, tapi cukup membuat Aruna mundur hingga terdorong ke kasur. Wajahnya bercampur antara gugup, kaget, dan—sesuatu yang lebih gelap.
“Eh—Ga!” suaranya tercekat, lebih mirip bisikan.
Dirga menatapnya dengan lembut kali ini. “Tenang, Run. Malam ini… kita resmi jadi pasangan beneran.”
Namun kalimat itu justru menyulut sesuatu di benak Aruna. Sekejap, bayangan lama menghantam ingatannya: sosok pria mendorongnya kasar ke ranjang, tangan kejam merobek pakaiannya, tamparan panas membekas di pipinya. Nafasnya jadi patah-patah, dadanya sesak, tubuhnya gemetar tak terkendali. Air mata langsung jatuh tanpa bisa dicegah.
Aruna terhuyung, seperti kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri.
Detik berikutnya, suara tawa meledak memecah suasana.
“Bwahahaha!” Dirga tiba-tiba terbahak, tubuhnya jatuh ke sisi ranjang sambil memegangi perut. Melihat ekspresi panik Aruna, ia mengira itu bagian dari drama kocaknya. “Astaga, Run, lo kenapa? Lagi latihan drama? Mukalu kayak habis ditinggal kabur pengantin!”
Aruna tak menjawab. Ia berlari ke kamar mandi dengan langkah gontai, nyaris tersandung. Dirga spontan menoleh, senyumnya luntur. Tatapannya berubah ragu, ada sebersit rasa bersalah.
“Apa gue terlalu keterlaluan barusan?” gumamnya, menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Tapi ia cepat-cepat menggeleng, mencoba menepis pikirannya sendiri. “Ah, paling cuma gue yang kebanyakan mikir. Efek sering ngadepin pasien psikologis kali, jadi suka overthinking.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Keheningan menelan kamar. Sampai suara lirih-lirih dari luar pintu terdengar.
Aruna keluar perlahan dari balik selimut, wajahnya kembali datar, seolah menutup rapat apa yang barusan terjadi. Tapi sebelum mereka sempat bicara lebih jauh, bisik-bisik samar dari balik pintu terdengar jelas.
“Kayaknya Bunda Laras sama Mama Lidya lagi nguping,” desis Dirga, matanya menyipit curiga.
Aruna mendesah panjang sambil menepuk jidat. “Mereka nggak bakal berhenti kalau kita nggak kasih pertunjukan kecil. Bisa-bisa semalaman kita digedorin.”
Senyum jahil merekah di bibir Dirga. “Oke. Ayo kita kasih show.”
Aruna sempat melotot, tapi akhirnya tertawa kecil. Mereka berdiri di atas ranjang, saling menggenggam tangan, seperti sepasang aktor yang siap naik panggung.
“Satu… dua…” Dirga menghitung pelan.
“Pelan-pelan, Ga. Jangan keras-keras,” bisik Aruna, menahan tawa sambil pura-pura mendesah.
Dirga mengedip nakal. “Run… gue masukin pelan-pelan aja. Gue janji nggak sakit,” ucapnya dengan nada mendayu, jelas dibuat ambigu.
Aruna menatapnya setengah mati ingin tertawa. “Astaga, lo tuh ngomong apaan sih…” bisik Aruna tapi ia tetap ikut main, lalu mereka kompak melompat bersama. Kasur berderit keras, menambah efek dramatis.
“Dikit lagi, Run… sabar ya…” Dirga menahan suara, seperti sedang menahan sesuatu.
“Ahh… Ga…” Aruna mendesah panjang, kali ini begitu meyakinkan sampai-sampai ia sendiri hampir ngakak.
Di balik pintu, kedua ibu saling berpegangan tangan. Wajah mereka merah padam menahan senyum, mata berbinar penuh harap.
“Ya Allah, jeng… sebentar lagi kita gendong cucu!” bisik Bunda Laras penuh emosi.
“Alhamdulillah…” sahut Mama Lidya dengan mata berkaca-kaca.
Namun karena terlalu bersemangat, Mama Lidya tidak sengaja menekan gagang pintu. Klek! Pintu terdorong lebar, dan keduanya terhuyung jatuh.
" brukk!"
tergeletak tepat di ambang pintu kamar Aruna dan Dirga.
.
.
.
Bersambung.
Karna pintunya nggak di kunci para mama - mama malah nyusruk 😅, kira - kira mereka ketahuan nggak ya???
Makasi sudah membaca bab ini guys jangan lupa tinggalkan jejak yaa. ❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
🌈Ros•_Mendrofa¹²⁴⁷
oh jadi gitu, kenapa mereka sampai menikah toh /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
2025-09-10
0
vj'z tri
woi bukan bercanda ga ,pak dokter pie sih 😮💨😮💨😮💨
2025-10-11
1
vj'z tri
masa iya drama nya langsung ketawan 🤣🤣🤣
2025-10-11
1