Pintu kamar terbuka. Dua bodyguard Rima, Joni dan Janto, masuk begitu saja. Tepat saat Ardi baru saja menutup pintu kamar mandi.
Di ranjang, Kemala memejamkan mata rapat-rapat, berpura-pura tidur. Tapi dadanya naik-turun cepat, jantungnya berdetak begitu kencang seolah hendak melompat keluar.
"Tuhan, tolong kami..." Tak ada yang bisa ia lakukan selain memanjatkan doa.
“Coba periksa kamar mandi,” ujar Joni curiga.
Janto mengangguk, melangkah ke arah pintu.
Sementara itu, di balik pintu kamar mandi yang terkunci, Ardi dan Kevia berdiri rapat. Jantung keduanya berpacu gila-gilaan, napas mereka tertahan.
Klek!
Janto memutar kenop pintu, tapi terkunci.
Duk! Duk! Duk!
Janto menggedor pintu kamar mandi kasar.
“Siapa di dalam?!” suaranya tajam penuh curiga.
Kevia spontan menjawab, berusaha menutupi kegugupannya. “Aku… Kevia.”
“Buka pintunya!” bentak Janto.
Dari ranjang, Kemala pura-pura baru terbangun. Dengan suara lemah ia bertanya, “A-apa yang kalian lakukan di kamarku…?”
Namun bodyguard itu tak menggubris, terus saja mendesak. “Cepat buka pintu!”
Di balik pintu, Kevia menoleh pada ayahnya. Wajahnya tegang, matanya penuh kecemasan. Ardi menggeleng samar, lalu mengisyaratkan dengan tangannya: “Tenang… ikuti saja. Buka perlahan.”
Kevia menggigit bibirnya. Tangannya yang gemetar meraih gagang pintu. Jantungnya terasa hampir meledak saat ia memutar kunci dengan bunyi kecil yang seolah menggema di seluruh ruangan.
Perlahan, pintu kamar mandi terbuka beberapa senti.
Ardi berdiri di baliknya, rahangnya mengeras, tubuhnya menegang siap meledak kapan saja. Ia seperti bayangan gelap yang menunggu waktu.
"Kalian mau apa?" tanya Kevia waspada.
Janto menoleh, alisnya terangkat. Joni ikut menyeringai. Pandangan keduanya menyapu tubuh Kevia dari atas ke bawah, jelas-jelas dengan tatapan mesum.
“Kamu manis sekali…” Joni mendekat, suaranya setengah berbisik, setengah menggoda.
“Pantas Bu Rima protektif. Cantik begini… jangan-jangan semalam sudah ditemani om-om, ya?” tawa kasar mereka pecah.
"Pergi kalian dari kamarku!" seru Kemala dengan suara lemah tapi tajam. Ia mengepalkan tangannya di sisi tubuh, wajahnya menegang menahan amarah. Di balik pintu kamar mandi, rahang Ardi mengeras, tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih.
“Pergi, atau aku bilang pada Nyonya Rima!” gertak Kevia, suaranya serak tapi penuh tekad.
Janto justru terkekeh. “Kau pikir nyonya Rima percaya? Hm?”
Dengan sengaja ia merangsek ke arah kamar mandi. Kevia berusaha menutupnya, tapi Janto menahannya.
"Jangan masuk!." Tubuh Kevia menegang, panik menahan pintu.
"Pergi kalian!" seru Kemala dengan suara lemah, panik. Ia berusaha bangun dan duduk.
Janto terus mendorong pintu hingga Kevia terhuyung mundur dan akhirnya berhasil masuk.
Tepat saat itu—
Brak!
Ardi menyelinap dari balik pintu, mengayunkan tangannya sekencang tenaga ke arah tengkuk Janto. Seketika tubuh besar itu ambruk, pingsan tanpa sempat bersuara, apalagi melawan.
“Janto?!” Joni terkejut. Ia langsung melangkah masuk, tapi Kevia dengan reflek menendang tulang keringnya keras-keras. Joni meringis kesakitan, kehilangan fokus sepersekian detik.
Kesempatan itu tak disia-siakan. Ardi kembali maju, menghantam tengkuk Joni dengan presisi. Tubuhnya pun limbung, jatuh tak sadarkan diri di lantai.
Keheningan mencekam menyelimuti kamar. Napas mereka bertiga terengah-engah. Kevia menutup mulutnya sendiri, hampir tak percaya pada apa yang barusan terjadi. Kemala menyandarkan tubuhnya ke sandaran ranjang, mengatur napasnya.
Ardi buru-buru menarik putrinya dan menggendong Kemala. Mereka bertiga bergerak cepat keluar dari kamar, lalu dari luar mengunci dua bodyguard itu dalam kamar rapat-rapat.
Kini, hanya ada satu hal di benak Ardi, melarikan istri dan anaknya, sebelum semuanya terlambat.
Mobil hitam milik Rima berhenti di tepi jalan. Ardi turun, menutup pintu dengan tegas, lalu meninggalkan kendaraan itu begitu saja bersama anak dan istrinya. Ia berjalan di samping putrinya, menggendong Kemala yang lemah. Mereka berjalan menyusuri jalanan, hingga akhirnya memilih beristirahat di bawah rindang pohon tua.
Di kursi beton sederhana, Ardi duduk terengah. Napasnya masih berat setelah menahan semua tegang dan bahaya yang barusan terjadi. Kevia menaruh tas di sampingnya, lalu mengusap peluh di kening ibunya.
“Ayah masih ada uang,” ucap Ardi pelan, menatap dua wanita yang paling ia cintai. “Kemarin malam ayah pulang terlambat, belum sempat menyerahkan pendapatan ke Rima. Kita pakai itu dulu. Untuk biaya hidup… dan mencari kontrakan sementara. Ayah akan cari kerja.”
“Aku juga akan ikut bekerja, Yah,” sahut Kevia mantap.
Kemala menoleh, suaranya lirih. “Bukankah kau sudah mendaftar kuliah, Nak?”
Ardi ikut menimpali, suaranya tegas namun lembut, “Sayang, kamu harus melanjutkan pendidikanmu.”
Hening sejenak. Kevia tersenyum tulus, meski matanya berkaca-kaca. “Aku bisa kok kuliah sambil bekerja. Jangan khawatir, Yah, Bu.”
Ardi menunduk, jemarinya di atas paha meremas kain celananya sendiri. Suaranya pecah, penuh sesal. “Maafkan ayah… Ayah sudah membuat kalian menderita. Ayah ini kepala keluarga yang gagal.”
Kemala dan Kevia saling pandang, lalu serentak menggenggam kedua tangan Ardi. Hangat. Kuat. Menolak melepaskannya.
“Bagi Via,” Kevia menatap lurus ke mata ayahnya, senyum tulus terukir di bibirnya, “ayah tetaplah yang terbaik.”
Kemala menambahkan, meski tubuhnya lemah, suaranya penuh cinta, “Kamu sudah berusaha semampumu, Ardi. Jangan salahkan dirimu sendiri. Akulah yang membebani kalian.”
Ardi tercekat.
Kevia menggeleng cepat. "Ibu bukan beban kami."
Dengan cepat Ardi memeluk Kemala, lalu meraih Kevia, mendekap keduanya erat-erat seolah takut kehilangan lagi. Suaranya bergetar, namun penuh keteguhan.
“Kau dan Kevia adalah tanggung jawabku, bukan bebanku. Aku mencintai kalian. Kalianlah alasan aku bertahan sampai detik ini.”
Di tepi jalan sederhana itu, tanpa rumah, tanpa kepastian, mereka saling berpegangan. Dan justru di sanalah, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka merasa benar-benar bebas. Meski mereka tahu, yang akan mereka hadapi di depan tidaklah mudah.
***
PRANGG!
Gelas kristal yang tadi di genggaman Rima menghantam lantai, pecah berkeping-keping. Suara benturannya menggema, membuat dua bodyguard di hadapannya menunduk makin dalam.
“Menjaga perempuan penyakitan saja nggak becus!” suara Rima tajam, menusuk telinga. “Percuma badan kalian kekar, aku gaji mahal, kalau melawan seorang pria, gadis kecil, dan wanita sekarat saja kalian tumbang!”
Joni dan Janto berdiam diri, wajah tegang, menunduk tanpa berani menatap majikan mereka.
“Cari mereka sampai ketemu!” bentak Rima, jemarinya menunjuk tajam. “Kalau tidak, jangan harap kalian akan aku gaji bulan ini!”
“Baik, Nyonya,” jawab keduanya serempak, lalu berbalik meninggalkan ruangan.
Rima menggertakkan gigi. “Sial! Ardi benar-benar nekat.”
Ia menghela napas panjang, lalu menyeringai tipis. “Baiklah… aku ingin lihat, berapa lama mereka bisa bertahan di luar sana. Perempuan penyakitan itu… akan segera mati kalau tidak cuci darah.”
Tangannya meraih ponsel, cepat ia menghubungi salah satu karyawan. “Sudah tahu penyebab kebakaran?” tanyanya dingin.
Suara di seberang terdengar gugup. “M-mungkin korslet listrik, Bu.”
“Mungkin?” Nada suara Rima meninggi. “Beberapa hari ini, terutama pagi tadi, apa Ardi terlihat mencurigakan?”
“Pak Ardi seperti biasa, Bu. Saat kami sampai, beliau sedang membantu membersihkan lantai yang tergenang air karena keran bocor. Tadi waktu kebakaran juga panik, ikut mengarahkan kami menyelamatkan barang.” Suara karyawan itu terhenti sejenak, lalu terdengar ragu. “Ibu… apa mencurigai Pak Ardi?”
Tatapan Rima menyipit. “Dia selalu datang lebih pagi dari kalian, 'kan?”
“I-iya, Bu,” jawabnya takut-takut. “Tapi saya tidak melihat hal mencurigakan. Semua berjalan normal.”
Hening sejenak, lalu suara di seberang kembali lirih. “Tapi, Bu… pemilik paket sudah menuntut ganti rugi. Nilainya… fantastis. Banyak paket bernilai tinggi yang terbakar di gudang.”
“Brengsek!” Rima menghantam meja dengan telapak tangannya. “Sialan!”
Belum sempat amarahnya reda, suara nyaring terdengar dari luar.
“Bu! Buuu!”
Pintu ruangannya terbuka dengan kasar. Riri masuk tergesa, wajahnya panik, suaranya bergetar.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Felycia R. Fernandez
semoga ini awal kehancuran Rima,biar bangkrut gak punya uang lagi,gak bisa semena mena lagi ma Ardi, Kemala dan Kevia
2025-09-06
6
Anitha Ramto
Syukurlah Ardi berhasil melawan dua Bodyguard itu dan bisa keluar dari rumah neraka membawa Kemala dan Kevia,,Bebas dari si Wanita Iblis,,semoga ada anak Buahnya si Om misterius yang mengawasi Kevia..,dan tahu kalo Kevia sudah pergi dari rumah iblis itu,,secara kebetulan Om misterius lewat di mana Keluarga Kevia sedang beristirahat dan meteka di bawa ke rumah ato Apartenent si Om...ayo Om Ganteng selamatkan mereka keluarga Kevia
2025-09-06
2
anonim
bagus Ardi, Kemala dan Kevia sudah bisa keluar dari rumah Rima - rumah serasa neraka.
Semoga Joni dan Janto tak bisa menemukan Ardi dan keluarganya.
Riri kenapa itu terlihat panik.
2025-09-06
1