4. Nekat

Ardi menatap gudang biro jasa pengiriman tempatnya bekerja. Ia selalu datang paling dulu setiap pagi, dan kali ini kehadirannya akan menjadi senjata.

Tanpa pikir panjang, ia bergerak. Dengan langkah mantap menuju gudang biro pengiriman barang milik Rima. Dadanya sesak oleh keputusan nekat yang baru saja lahir, tapi kini tak ada jalan kembali. Dinginnya pagi yang berselimut mendung, ditemani angin kemarau yang berhembus kering, tak mampu meredam panas di kepalanya.

“Lebih baik aku hidup susah bersama Kemala dan Kevia, daripada terus membiarkan putriku jadi tumbal…” gumamnya, suaranya getir namun mantap.

Ia membuka panel kabel di sudut dinding. Jemarinya yang bergetar mencopot pelindung, lalu menyambungkan kabel dengan kasar. Percikan kecil menyala, cukup untuk memulai bencana. Bau hangus tipis tercium.

Rahangnya mengeras, dan dari bibirnya meluncur desis nyaris tak terdengar,

“Kau yang memaksaku, Rima…”

Suaranya rendah, berat, penuh tekad, seolah sumpah yang mengiringi api dendam yang siap ia lepaskan.

Tak berhenti di sana. Ardi meraih beberapa kantong plastik berisi sampah kardus dan kain bekas. Ia meraih korek, menyalakan api di tumpukan sampah dekat gudang, sekadar untuk menyamarkan aroma kebakaran yang akan segera muncul.

Sebelum karyawan datang, ia kembali ke kantor. Tangannya menyiram lantai dengan air dari keran toilet yang memang sejak kemarin bocor, dibiarkan begitu saja karena sibuknya pengiriman barang. Genangan itu tampak wajar. Ia sudah punya alibi.

“Begini caranya, Rima…” desisnya, sembari menatap lantai yang sudah tergenang air. “Kau sibuk mempercantik dirimu, sementara aku mengambil kembali keluargaku.”

Beberapa menit kemudian, para karyawan datang. Teriakan kecil terdengar saat mereka melihat genangan air.

“Pak Ardi! Lantainya becek, ini bocor lagi ya?”

Ardi berpura-pura mengusap tengkuk. “Sepertinya kemarin aku lupa matikan stop kran. Cepat dibersihkan, sebelum pelanggan datang," ujarnya dengan nada ringan.

Mereka percaya. Tidak ada yang curiga. Dan di balik ketenangan Ardi, api dendam sudah mulai menjilat perlahan, siap melahap habis gudang milik Rima.

Karyawan-karyawan itu menunduk patuh, bergegas mengambil pel.

Ardi menatap mereka sekilas, lalu ke arah gudang. Api kecil mulai merambat di balik pintu besi. Ia menarik napas panjang, seakan menelan bulat-bulat rasa bersalah yang menghantam dadanya.

Beberapa menit lagi, semua akan sibuk. Dan ketika itu terjadi, ia akan punya waktu… untuk pulang, membuka pintu rumah itu, dan membawa istri serta putrinya keluar dari neraka bernama Rima.

Semuanya masih sibuk mengeringkan lantai. Tak ada yang menyadari di gudang belakang, percikan kecil dari kabel yang sudah Ardi usik merayap pada tumpukan paket. Kardus kering menyambut api seperti kayu kering yang haus terbakar.

Tiba-tiba—

DUARR!

Suara ledakan memecah udara, membuat lantai bergetar. Semua orang terlonjak, serentak menoleh ke arah gudang penyimpanan. Api menjalar cepat, semburan asap hitam mulai membumbung.

“Astaga! Gudang meledak!” teriak seorang karyawan.

“Kebakaran! Kebakaran!” yang lain menjerit panik.

Ardi ikut menoleh cepat, memasang wajah terkejut yang sama pucatnya dengan mereka.

“Panggil pemadam! Cepat!” serunya lantang, memberi kesan ia pun panik seperti yang lain.

Kekacauan pecah. Para karyawan berlarian, ada yang mencoba menyelamatkan berkas, ada yang panik menelpon pemadam. Kardus-kardus jatuh berserakan, api melahap rak demi rak dengan ganas.

Ardi menatap kobaran api yang kian membesar. Terik jingga itu memantul di matanya, seakan menegaskan bahwa keputusannya tak bisa ditarik kembali.

“Cepat keluar semua! Bawa barang penting, jangan ada yang kembali ke dalam!” serunya, menyamar dalam kepanikan bersama mereka.

Tak ada seorang pun yang curiga, apalagi sejak kemarin sore gudang memang dijejali banyak paket. Mulai dari baterai laptop, cairan pembersih, parfum beralkohol, sampai deodoran spray. Semua tahu, barang-barang itu berbahaya bila terkena panas.

“Apa kemarin kalian tidak memisahkan barang-barang kimia itu?” tanya Ardi, memasang wajah marah sekaligus panik.

“Maaf, Pak! Kemarin terlalu banyak paket yang datang. Kami tak sempat memisahkannya. Hari sudah malam, dan gudang hampir penuh,” sahut seorang karyawan di antara sesal dan rasa bersalah.

“Cepat bawa menjauh barang-barang yang masih bisa diselamatkan!” perintah Ardi lantang.

Sikap dan ekspresi Ardi itu membuat semua orang percaya kalau kebakaran ini murni kecelakaan. Apalagi selama ini mereka mengenalnya sebagai orang baik, ramah, dan rendah hati.

Api menjalar cepat, melahap rak demi rak. Panasnya kian menyengat, membuat karyawan berhamburan keluar sambil berteriak.

Di tengah hiruk-pikuk itu, Ardi beringsut perlahan ke pintu keluar. Kobaran api yang menari di matanya tampak bagai tanda perlawanan yang baru saja ia mulai.

Kakinya melangkah menjauh, meninggalkan kantor yang sebentar lagi rata oleh api.

“Ini kesempatan kita, Kemala… Kevia… Bertahanlah sedikit lagi. Ayah akan segera pulang menjemput kalian.”

Sementara itu, di sebuah spa mewah, Rima dan Riri baru saja masuk ke ruang pijat. Aroma minyak esensial memenuhi udara.

“Kamu harus terlihat cantik, Sayang. Siang ini kamu mau menemui produser itu, 'kan?” tanya Rima sambil melepas perhiasannya.

“Iya, Bu. Semalam aku sudah tanda tangan kontrak,” jawab Riri dengan wajah berbinar.

Rima tersenyum puas, lalu menutup matanya. Jemari terapis mulai menekan pundaknya, menghadirkan sensasi hangat dan rileks. Namun ketenangan itu seketika buyar ketika ponselnya berdering nyaring di meja samping.

Rima meraih ponsel, menggeser layar, lalu terdengar suara panik dari seberang.

“Bu… g-gudang terbakar!”

Mata Rima langsung terbuka lebar. “Apa?! Gudang terbakar?!” spontan ia duduk.

Riri yang sedang dipijat di sebelahnya ikut tersentak, wajahnya pucat.

“Iya, Bu. Saya rasa tak akan ada barang yang bisa diselamatkan dari gudang.”

“Mana suamiku?” Rima bersuara tajam.

“Tadi beliau bersama kami, mengarahkan untuk mengeluarkan barang-barang berharga dari kantor. Tapi… saat kami ingin menanyakan akan dibawa ke mana barang yang sudah berhasil diselamatkan, beliau tak kami temukan. Kami hubungi juga tidak diangkat, Bu.”

“Sial!” Rima mengakhiri panggilan dengan kasar. Jemarinya langsung menari di layar, mencoba menghubungi Ardi. Namun berkali-kali panggilan itu hanya berakhir dengan nada tunggu yang membuat darahnya mendidih.

Riri menatap ibunya cemas. “Bu… jangan bilang suami Ibu itu—”

“Diam!” potong Rima, sorot matanya berkilat marah sekaligus gelisah.

Di sisi lain, Ardi mengendap-endap melewati koridor rumah megah itu. Napasnya tertahan, setiap langkah terasa seperti deru guntur di telinganya sendiri. Telinganya awas mendengar langkah para bodyguard yang berpatroli.

Jantungnya berdegup kencang ketika ia berhasil sampai di depan pintu kamar yang selama ini menahan belahan jiwanya. Suara derit lirih terdengar saat ia mendorong pintu perlahan.

Di dalam, Kevia berdiri dengan wajah tegang. Dua tas sudah siap di samping kakinya. Ia menoleh cepat saat pintu terbuka.

“Ayah…” bisiknya, lega sekaligus cemas.

Ardi baru hendak menjawab ketika pandangannya tertumbuk pada sosok di ranjang.

“Ardi…” suara Kemala lirih, matanya berkaca-kaca penuh kerinduan.

Tubuh Ardi sontak terpaku.

Kemala duduk lemah di tepi ranjang, mata sayunya berkaca-kaca. Sejenak dunia berhenti berputar. Semua rasa sakit, semua tahun penantian, seolah luruh dalam tatapan itu.

“Mala…” suara Ardi pecah. Tanpa pikir panjang, ia melangkah cepat dan merengkuh istrinya ke dalam pelukan. Hangat tubuh Kemala, meski lemah, membuat dadanya sesak oleh kerinduan yang tak pernah padam.

“Ardi…” bisik Kemala, suaranya lirih namun sarat rindu.

“Ayah, kita harus cepat,” Kevia mengingatkan dengan panik.

Ardi tersadar. Ia mengusap pipi Kemala, lalu tanpa ragu mengangkat tubuh rapuh itu ke dalam gendongannya.

Baru saja Ardi melangkah keluar kamar, suara langkah berat terdengar mendekat.

Brak!

Ardi dan Kevia buru-buru kembali masuk. Karena gugup, Kevia menutup pintu sedikit terlalu keras. Tiga orang itu saling berpandangan dengan wajah pucat, napas mereka tercekat. Hanya detak jantung yang berdentum di telinga.

Di luar, seorang bodyguard berhenti. Pandangannya menyapu koridor.

“Kau dengar sesuatu?” suaranya dalam, penuh curiga.

“Seperti suara pintu,” sahut yang lain.

Ardi menatap Kevia, memberi isyarat dengan mata agar tetap tenang. Waktu serasa melambat. Jika pintu itu terbuka, segalanya berakhir. Ia tahu ia tak mungkin melawan, karena kalah jumlah dan tenaga.

Langkah-langkah itu makin mendekat. Kevia memberi kode cepat agar ayahnya bersembunyi di kamar mandi. Bergegas, Ardi membaringkan Kemala di ranjang. Kevia cepat-cepat menyelimutinya rapat. Dengan langkah setengah panik ayah dan anak itu masuk ke kamar mandi.

Namun—

Klek.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka dari luar.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

Terpopuler

Comments

Felycia R. Fernandez

Felycia R. Fernandez

kapan ada balasan yang tepat untuk Rima...
kenapa Ardi,Kemala dan Kevia selalu jadi yang tersiksa...

2025-09-05

6

Anitha Ramto

Anitha Ramto

Semoga saja Ardi dan Kevia tidak ketahuan masuk kamar mandi..dan lolos dari amukan serigala

mampus ke bakaran gudangnya si Rima,ingin lihat anak dan ibunya hancur jadi gembel

semoga saja ada orang suruhannya si Om yang menolong Kevia masuk ke rumah Rumah si Rima untuk menolong Kevia sekeluarga keluar dari rumah neraka itu

2025-09-05

3

anonim

anonim

Ardi benar-benar melakukan tindakan yang akan bikin usaha Rima hancur - kebakaran gudang yang Ardi lakukan dengan sengaja bakal mengalami kerugian besar.
Ardi, Kevia dan Kemala masih terjebak di rumah Rima - bisakah mereka bertiga keluar dari rumah Rima dengan selamat ??

2025-09-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!