Bagian 2 Teman Masa Kecil

Aku membuka kelopak mataku hanya untuk menemui langit-langit ruangan yang asing. Kepalaku terasa ringan seakan melayang, padahal aku tahu sedang berada di tempat tidur saat ini. Meski terdapat sisa-sisa keringat, tapi tubuhku tidak terasa panas seperti beberapa waktu lalu. Kesimpulannya, aku pasti sudah membaik.

”Kau baik-baik saja?” Aku sedikit tersentak, bukan karena pertanyaan barusan, tapi karena sosok yang ternyata sudah duduk di sisi tempat tidurku sejak tadi. Itu Lya. Masih sama seperti terakhir kali kuingat sebelum pingsan, rautnya memancarkan kecemasan.

Aku hanya mengangguk sekali menjawab pertanyaannya untuk mendapatkan balasan berupa senyuman tipis dan belaian lembut di suraiku. Wajah dia yang semula cemas kini tampak mencair, tergantikan dengan rasa lega.

”Maaf, aku tidak tahu kau sakit... seharusnya aku menyadarinya saat kita bertemu di kelas sebelumnya.” Yang Lya maksud adalah kelas mata kuliah wajib. Kami memang sempat bertukar sapa seperti biasa saat itu.

”Apa itu bentuk perhatianmu?” Mendengar permintaan maafnya dan tingkahnya, kembali mengingatkanku pada rasa gundah yang selama ini menghantuiku. Setelah itu, tanpa memberikan Lya kesempatan untuk menjelaskan apapun, mulutku malah terus melontarkan protes.

”Aku tidak mengerti dirimu, Lya...Aku tahu akan terdengar aneh karena mengatakan ini padahal kita tidak pernah benar-benar saling kenal sebelumnya.”

”Kau pun awalnya memang menolakku. Aku tidak peduli alasanmu langsung berubah pikiran dan ingin jadi pacarku, karena kasihan pun tidak masalah... Meski kau tidak menyukaiku, setidaknya aku ingin mengenalmu agar bisa membuatmu kelak menyukaiku.”

”Tapi, aku tidak bisa melakukannya. Terlalu sulit. Kau memang bersikap berbeda, diluar dugaan kau tidak lupa bahwa kita pacaran, kau tidak ragu menyentuhku, tidak ragu mendekatiku, tapi ketika aku yang mencoba mendekatimu, kau malah menjauh seperti tidak ingin dikenal.”

”Kenapa?”

Semua kalimat panjang dariku diakhiri dengan satu pertanyaan. Aku yang semula masih terbaring kini mengambil posisi duduk, menatap mata lawan bicaraku yang ekspresinya masih tidak terbaca. Aku menjadi tidak sabaran melihat Lya yang masih diam, sehingga aku menambahkan beberapa kata. ”Jika memang kamu lebih nyaman sendiri, tidak usah memaksakan untuk terus menjalin hubungan ini... Aku lebih baik menangis setelah ditolak dibanding seperti ini—

”Tidak!” Lya memotong kalimatku sambil menggenggam tanganku di atas selimut yang telah terkepal. Aku menjadi penasaran dengan apa yang akan dia jelaskan setelah melihat wajah tak terbaca itu kini menunjukan kepanikan.

”Pertama-tama, aku minta maaf telah membuatmu berpikir seperti itu...” Lya tampak bingung, seperti tidak dapat menyusun kalimat yang seharusnya ia ungkapkan.

Melihat itu, aku yang kini menggenggam tangan Lya. Dengan hati-hati, sambil sesekali ibu jariku memberikan sapuan lembut di punggung tangannya. ”Tidak apa-apa... Pelan-pelan saja,” ucapku berharap dapat menenangkannya.

Lya menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, tampak siap untuk menjelaskan semuanya. ”Dan aku ingin menegaskan, aku menerimamu bukan karena kasihan,” jelasnya.

Ben mengangkat alisnya, ”Lalu?”

”Mungkin aku juga tanpa sadar terpikat melihatmu menangis. Kau manis sekali saat itu...” mendengar jawaban Lya yang sedikit malu-malu ia katakan membuatku terdiam. Tanpa sempat meresapi, Lya kembali melanjutkan penjelasannya.

”Asal kau tahu, aku tidak pernah punya pacar sebelumnya. Selain tidak laku, aku tidak pernah benar-benar tertarik dengan seseorang, tapi bukan berarti aku tidak berniat untuk menjalin hubungan. Hanya saja aku mencari orang yang tepat.”

”Saat mendapatkan pernyataanmu, aku memang sempat tidak tertarik. Kita tidak pernah saling mengobrol sebelumnya. Aku juga canggung dengan orang lain terutama dengan laki-laki yang baru dikenal, makanya mungkin aku terkesan membencimu saat itu.”

Aku takjub mengetahui ternyata Lya sadar akan sifatnya saat itu. Ternyata bukan karena Lya tidak suka padaku, ia hanya canggung? Alasan itu saja sudah cukup imut untukku! Meski penjelasan Lya baru setengahnya, aku merasa sudah dapat melupakan rasa cemasku yang menumpuk! Namun aku harus menahannya agar dapat menikmati sosok tergugup Lya yang baru pertama kalinya kulihat!

”Dan setelah menerima pernyataan cintamu, aku berpikir harus memperlakukanmu dengan baik. Aku berusaha keras memberimu perhatian layaknya seorang pacar. Kukira sapaan dan obrolan sudah cukup, tapi ternyata malah membuatmu seperti ini... Maafkan aku.”

Sepertinya penjelasan Lya selesai. Dapat kulihat wajahnya merona merah dan tampak tegang. Kulirik ke arah tangannya, bulu kuduknya berdiri. Di detik itu, sepertinya aku sedikit mengerti sikap Lya.

”Kamu sepertinya tidak masalah jika memberikan sesuatu pada orang tapi akan merasa malu jika menerima sesuatu. Apa aku benar, Lya?” godaku sambil mendekatkan wajah kami berdua. Kini dua pasang mata kami berhadapan secara sejajar. Senyum miring kupamerkan dengan maksud menggodanya, berharap Lya semakin gelagapan.

”Sepertinya begitu,” jawabnya tidak ragu. Reaksinya diluar perkiraanku tapi aku tidak begitu peduli. Aku telah merasa cukup puas dengan berhasil menebak satu hal dari diri Lya. Aku tertawa kecil sambil menjauhkan wajahku, akan tetapi Lya mencegahnya dengan mengalungkan satu lengan kecilnya di leher belakangku.

Kini jarak wajah kami semakin dekat dibanding tadi, kening kami sampai saling mengetuk. Hidung kami hampir bersentuhan seperti akan berciuman. Satu tindakan darinya yang diluar dugaan, ditambah kini giliran Lya yang melemparkan senyum jahil sehingga sukses membuatku salah tingkah.

”Makanya, biarkan aku yang memberimu kasih sayang seperti ini. Kau hanya perlu menerimanya. Jangan ragu untuk bermanja padaku, ya?” Wajahku memerah. Dua sudut bibir Lya yang melengkung tinggi membuat dirinya tampak cantik. Sepertinya aku memang tidak bisa benar-benar menebak sikap Lya. Hahahahaha.

Melihat suasana di antara kami yang mulai mencair, aku pun mengambil kesempatan untuk meminta lebih pada Lya. ”Kalau begitu, Lya... Selain mengobrol dan bertukar sapa di kampus, bisakah kita lebih banyak menghabiskan waktu berdua? Ada banyak yang ingin kulakukan denganmu.” Dengan sedikit memelas dan bersikap imut, aku mengungkapkan keinginanku.

”Tentu saja. Sekarang aku akan coba untuk lebih memprioritaskanmu Ben.” Kini bukan penolakan yang kuterima. Membuat wajahku dengan mudah memancarkan kebahagiaan. Tidak cukup sampai disitu, aku kembali mengatakan hal yang selama seminggu sudah menumpuk di kepalaku.

”Kau tahu, Lya... Satu hal yang membuatku kepikiran... tentang teman yang kau temui ketika menolak ajakan kencanku terakhir kali... Meski aku tidak mengenalnya, aku tetap ingin tahu.” Meski suasana terlihat bagus, tapi aku tetap merasa tidak enak ketika menaikan topik yang sudah lalu itu. Bisa saja jawabannya justru sama, tapi aku berharap dia juga akan menjawab berbeda.

”Ah...” baru satu suara yang keluar dari bibirnya sudah membuatku sangat gugup untuk mendengar kelanjutannya. Namun pikiran baik tidak selalu berakhir sesuai harapan, begitupun sebaliknya.

”Dia temanku sejak SMA, dia berkuliah di kampus swasta dan hari itu kami janji untuk nonton bioskop berdua. Maaf jika jawabanku sebelumnya malah membuatmu kepikiran. Kukira memang tidak perlu menjelaskannya asal aku yakin aku tidak akan memainkan perasaanmu.” Lya menjelaskan dengan diliputi rasa bersalah.

Yah, rasa gundah yang menumpuk selama seminggu semudah ini meluap dari kepalaku. Alasan Lya sungguh mendeskripsikan bahwa dia hanya orang yang tidak begitu peka. Aku seharusnya tahu bahwa dia memang secanggung itu. Aku benar-benar bertingkah bodoh, tapi di satu sisi merasa bersyukur karena hal ini membawa kami pada satu langkah maju.

”Ah!” Terlalu cepat merasa lega, aku segera teringat satu hal lagi. ”Ngomong-ngomong, orang yang bersamamu sebelumnya itu—

SRAK!

Itu suara gorden yang terbuka. Aku baru menyadarinya kalau saat ini kami berada di bagian unit gawat darurat rumah sakit. Dan seseorang yang baru saja membuka gorden bilik tempat tidurku adalah subjek yang barusan ingin kutanya pada Lya. Pria berparas cantik yang bahkan lebih cantik setelah melihatnya dari dekat. Rambutnya hitam, sedikit panjang dan bergelombang. Sinar matanya tajam, bulu matanya panjang dan lentik, dan jika dilihat baik-baik bola matanya berwarna coklat. Cara berpakaiannya sangat mencolok didukung dengan tinggi badannya yang jika kuperkirakan mungkin mencapai 180 cm?

Setelah membuka gorden dengan kasar, pria yang tidak kutahu namanya itu melemparkan tatapan mematikan padaku. Tentu saja aku sedikit terintimidasi tapi sisanya adalah rasa heran dariku terhadap maksud dari tatapannya tersebut.

”Leo? Kupikir kamu sudah pulang duluan?” tanya Lya bingung. Ia langsung bangkit dari tempat duduknya menghadap pria yang ia panggil Leo.

Ekspresi Leo yang semula sinis segera berubah lembut begitu Lya menghadap ke arahnya. ”Ini sudah malam. Aku cemas membiarkanmu pulang sendirian...” kata Leo, nada bicaranya pada Lya pun sama lembutnya. ”Dan mungkin saja pacarmu itu masih merasa tidak sehat. Lebih baik kuantar dia sekalian pulang, kan?”

Mungkin aku bisa dibilang orang yang gampangan karena setelah mendengar kenalan Lya itu mengakuiku sebagai ’pacar’ sudah cukup memberikan kesan orang baik terhadapnya.

”Kau pasti Ben, kan? Sejak pacaran denganmu, Lya sering sekali meminta saran dariku... Dia bersungguh-sungguh denganmu, Ben. Jagalah dia.” Aku semakin terbang ke langit ketujuh mengetahui bahwa Lya sangat serius memikirkan hubungan kami!

”Ah, dan perkenalkan, namaku Leo. Aku teman masa kecil Lya.” Leo memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya, hendak berjabat tangan. Tentu saja aku tanpa ragu menyambut tangan tersebut.

”Ya! Salam kenal, Leo! Aku tidak tahu ternyata Lya punya teman kecil sepertimu. Kau terlihat keren.” Tanpa gengsi, aku juga melemparkan pujian tulus padanya.

”Terimakasih,” jawabnya singkat sebelum melepaskan tangan kami yang sempat terayun beberapa detik. Ia pun kembali menaruh perhatiannya pada Lya. ”Sepertinya dia sudah sehat. Mungkin sudah bisa pulang. Lihat, air infusnya juga sudah kosong.” Aku dan Lya spontan secara bersamaan menoleh ke arah jari Leo menunjuk. Aku pun baru tersadar dari tadi tanganku dipasangi infus.

”Aku akan panggil dokternya dulu. Kalian tunggu, ya.”

Selain ramah, orang bernama Leo yang berstatus sebagai teman kecil Lya itu juga sangat perhatian. Sikapnya sangat dewasa. Aku sedikit merasa bersalah sempat menaruh rasa tidak suka padanya hanya karena ia terlihat sangat dekat dengan Lya. Jika sebatas teman masa kecil, mungkin aku tidak perlu merasa cemas pada hubungan dekat mereka.

***

Rumah sakit tempatku di rawat adalah rumah sakit milik fakultas kedokteran yang artinya kami masih berada di area kampus. Kos tempatku tinggal masih cukup dekat dari sini, karena itu aku sempat menolak tawaran Leo untuk mengantarku pulang dengan mobilnya, akan tetapi Leo tetap bersikeras sehingga aku tidak memiliki pilihan selain menerima tawaran itu.

Biasanya aku perlu menempuh waktu sekitar 15 menit dengan berjalan kaki. Dengan mobil, kami tiba dengan sangat cepat. ”Terimakasih atas tumpangannya,” kataku sebelum membuka pintu mobil, hendak turun. Leo hanya merespon lewat senyuman yang terlihat dari spion tengah mobil.

Setelah itu aku turun, namun tidak langsung melesat masuk ke dalam kos. Di luar mobil aku memberi isyarat untuk menurunkan kaca mobil tempat Lya duduk—di kursi samping kemudi.

Tidak lama kaca mobil bergerak turun, menampakan sosok idamanku yang tidak bosan-bosannya kulihat ini. ”Sampai besok di kampus, Lya!” aku mengatakan itu karena tahu jadwal kelas kami sama.

”Ya! Sampai besok!” Lya membalas penuh semangat.

”Hahaha, sedang mesra-mesranya, ya!” sela Leo di kursi kemudi. Aku hanya tertawa malu, sedangkan Lya meninju pelan lengan atas Leo.

”Kalau iri carilah pacar,” balas Lya. Aku hanya dapat tertawa kecil menyaksikan kedekatan dua orang itu.

”Oh iya, Lya... habis ini kita mampir ke super market sebentar ya? Aku sudah harus mengisi kembali isi kulkas.” Leo menghentikan senda gurau mereka dengan ajakan yang terkesan santai, tapi lirikan mata pria itu melirik penuh arti padaku.

”Ehhh? Tidak bisa, ya kau belanja sendiri? Aku belum mengerjakan tugas kuliah yang harus dikumpulkan besok. Aku harus segera pulang dan mengerjakannya.” Meski memakai alasan tugas, dari nada bicaranya, terlihat sekali Lya hanya merasa malas.

Dan Aku, entah mengapa, memilih untuk mematung di sana mendengar percakapan mereka yang terdengar semakin akrab.

”Aku bisa membantumu dengan itu. Aku bisa mengajarimu, ah tidak... bahkan akan kukerjakan. Setelah makan malam, kau bisa tenang dan pergi tidur, Lya.”

Perkataan Leo terdengar ambigu di telingaku sehingga aku spontan menyela percakapan mereka dengan pertanyaan, ”Apa kalian tinggal bersama?” dan pertanyaan dariku seperti sudah ditunggu oleh pria bersurai gelombang di dalam mobil. Dengan jelas aku melihat bibirnya menyeringai seperti merasa puas karena telah berhasil menarik reaksi yang diinginkannya dariku.

”Tentu saja tidak. Hanya sesekali saja mampir ke apartemennya untuk minta tolong mengerjakan tugas kuliah, sih,” jelas Lya jujur—ia tidak merasakan suasana di antara aku dan Leo sudah berbeda.

”Sampai menginap?” tanyaku lagi. Kini suasana tegang yang semula samar menjadi jelas. Lya terdiam bingung melihat wajahku yang kembali redup. Sedangkan pria itu masih tampak menikmati pemandangan di depan matanya.

”Ben? Apa kau baik-baik saja? Masih ada yang sakit?” tanya Lya kemudian.

Sepertinya Lya tidak dapat menangkap sinyal kegundahanku lagi kali ini. Dia peka dengan perubahan suasana hatiku tapi tidak cukup peka untuk mengetahui penyebabnya. Hal itu bukanlah salahnya, tapi aku yang terus bertingkah kekanakan. Tanpa menjawab dengan benar kecemasan Lya barusan, aku memilih angkat kaki dari sana. ”Aku masuk duluan! Terimakasih sudah mengantarku!”

”Ben!” panggilan Lya kuabaikan sampai aku naik ke lantai dua kos ku dengan terburu-buru. Sekali lagi aku dipenuhi pikiran negatif yang berlebihan.

Kedua orang itu, Lya dan Leo, bukanlah teman masa kecil biasa. Setidaknya bagi Lya mungkin hubungan mereka hanya sebatas itu, tapi tidak bagi pihak lainnya. Dia—pria bernama Leo itu jelas menaruh rasa yang lebih terhadap Lya.

Topik super market jelas disengaja untuk menunjukan kedekatannya dengan Lya sekaligus memprovokasiku. Selain penuh tipu muslihat, ia penuh kepalsuan. Meski baru mengenalnya sebentar, aku sangat yakin! Dia jelas hanya pura-pura bersikap ramah padaku agar terlihat baik di hadapan Lya. Seharusnya aku sadar setelah menerima tatapan kematian itu di rumah sakit sebelumnya!

”Hahhh....” setelah itu aku hanya bisa menghela nafas dalam-dalam. Setelah masuk ke kamar, aku langsung terjongkok lelah. Ini semua melelahkan. Aku mengacak rambutku frustasi. Baru saja aku merasa bahagian karena kukira hubunganku dan Lya menunjukan kemajuan, kini aku dapat merasakan sakit kepala kembali menyerangku.

Setelah beberapa saat terdiam dalam posisi yang sama, akhirnya aku bisa sedikit menenangkan diri. Aku teringat kata-kata Lya, bahwa aku diizinkan untuk bermanja padanya.

“Mungkin tidak apa-apa kalau aku mengatakannya…”

Bahwa aku cemburu.

Aku cemburu pada teman masa kecilmu itu, Lya. Aku tidak ingin kalian terlalu akrab. Bukankah kau sendiri yang bilang aku adalah prioritasmu? Jangan tarik kembali ucapan itu… karena hatiku sudah terlanjur terbang terlalu jauh padamu. Terlanjur berharap besar.

“Besok… pertama-tama aku harus minta maaf padanya.”

Malam itu, aku memaksa diriku tidur lebih cepat. Meski mata ini tak kunjung mengantuk karena kepalaku dipenuhi bayangan tentang Lya dan Leo, aku tetap berusaha jatuh ke dalam mimpi dengan menghitung domba. Aku hanya ingin malam ini cepat berlalu, agar esok aku bisa kembali berbicara dengannya—sebagai sepasang kekasih yang mencoba menemukan jalan yang lebih mulus untuk kisah kami.

.

.

.

To Be Continue

Terpopuler

Comments

✨Wyn한✨

✨Wyn한✨

Mantap thor, terus berkarya ya!

2025-09-06

1

TokoFebri

TokoFebri

saranku jangan menilai dulu Ben.. lihat dulu ..

2025-09-30

1

TokoFebri

TokoFebri

daijobu lya..

2025-09-30

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!