Aku melangkah ke kampus hari ini dengan perasaan yang sangat gembira. Langkahku mungkin sedikit melompat-lompat seperti sedang berjalan di bumi tanpa gravitasi, terlihat seperti orang bodoh di mata orang lain, akan tetapi aku tidak berniat untuk menyembunyikan mood indahku. Bahkan temanku yang kini sedang berjalan bersamaku sudah memasang wajah muak melihat tingkahku yang menurutnya seperti diriku menunggu ditanya ’ada apa?’. Namun tanpa dirinya bertanya pun aku sendiri tidak tahan untuk tidak bercerita.
”Aku berpacaran dengan seseorang sekarang!” infoku dengan suara lantang sukses mengubah ekspresi wajahnya yang semula muak menjadi melotot heran.
”Tiba-tiba? Kukira kau tidak tertarik pacaran?” tanyanya.
Sebelumnya, akan kuperkenalkan terlebih dahulu temanku yang termasuk dalam golongan manusia gaul di perkuliahan ini. Namanya adalah Eric. Ukuran kepalanya kecil, matanya besar bulat meski bulu matanya tidak lentik tapi tetap terkesan manis, hidungnya mancung meski tidak semancung diriku, bibir bawahnya sedikit tebal, dan dia memiliki rambut coklat yang terkadang akan ia tata membelah tengah jika masa perkuliahan ini sedang damai—tidak banyak tugas.
Jika kami mulai memiliki banyak tugas, di situlah Eric akan menjadi pria dengan kesan badboy yang memiliki lingkaran mata tebal, rambut yang tersisir seadanya, koyo yang menempel di mana pun pada bagian tubuhnya seperti habis bertarung di jalanan, dan bau rokok bercampur parfum yang tidak pernah absen dari dirinya.
Dan saat ini penampilan pertama, yang memancarkan anak kampus baik-baiklah yang sedang ia kenakan.
”Ya! Anak ini sudah kutaksir sejak awal semester! Meski sempat ditolak, tapi beberapa detik kemudian dia menerimaku, hahahahaha!” jelasku dengan enteng sambil sedikit tertawa sendiri.
”Tunggu... Apa tadi? Ditolak lalu apa?” Sepertinya kabar dariku begitu cepat untuk ia cerna di kepala kecilnya. Wajahnya masih bingung seperti ada puzzle yang belum tersusun. Baru aku mau menjelaskan ulang, Eric sudah dengan cepat berhasil menyerap kalimatku, ”Cerita konyol apa itu? Kenapa orang itu bisa berubah pikiran secepat itu untuk menerimamu? Kau memacari orang aneh, kah?” nada bicaranya sangat judgemental.
Perasaan senangku yang sejak tadi masih menyelimuti seketika menghilang tergantikan dengan rasa gugup. Alasannya tidak mungkin kuberitahukan bahwa mungkin saja Lya menerimaku karena melihatku menangis. Memalukan!
”Aku membujuknya! Mungkin dia tidak punya pilihan lain! Yah, apapun alasannya yang terpenting, kan hasil akhirnya!” jawabku sedikit panik tapi sepertinya Eric masih tidak puas dengan jawabanku.
”Jadi... Siapa orang ini?” tanya Eric meski biasanya dia bukan orang yang ingin tahu seperti ini. Entah apa yang membuatnya begitu penasaran, tapi aku memang berharap menarik rasa penasaran seperti ini sejak tadi.
”Aku tidak tahu boleh memberitahunya atau tidak... melihat sifatnya, sepertinya dia tipe cewek yang ingin hubungannya tetap dirahasiakan,” kataku.
Eric kesal ”Lalu untuk apa kau mengumumkannya jika tidak ingin mengatakan hal itu? Sialan.”
”Habis... sebisa mungkin aku ingin menjaga perasaannya! Siapa tahu dia tidak setuju untuk diumumkan tentang hubungan kami!”
”Boleh, kok.”
Aku terdiam sejenak mendengar suara manis yang terdengar sedikit tinggi itu. Dengan wajah sumringah aku menoleh ke sumber suara yang berasal dari belakangku, bersamaan dengan Eric yang reflek menoleh sebagai reaksi terkejutnya. Di sana sudah berdiri pacarku, Lya yang hari ini terlihat sangat manis.
Rambutnya lebih rapi dibanding biasanya, poninya terbelah tengah, memakai kemeja putih yang diikat pada bagian bawahnya, dalaman turtle neck hitam, begitu pula celana panjangnya yang tampak pas dikaki memperlihatkan bentuk kakinya yang ternyata cantik! Aku baru mengetahuinya karena selama ini dia hanya memakai celana yang besar.
”Lya? Kau pacaran dengan Lya?” Eric bertanya bingung bercampur rasa tidak percaya. ”Aku tidak pernah melihat kalian dekat? Bagaimana bisa pacaran? Kalian diam-diam pendekatan lewat chat?” Ia pun mulai membuat skenario sederhana untuk menjawab pertanyaan pertamanya sendiri.
”Tidak pernah!” jawabku tegas ”Aku terlalu gugup untuk melakukan pendekatan terlebih dulu sampai tidak sengaja menembaknya kemarin. Lya menerimaku setelah itu, ya, kan Lya!” dengan suara yang antusias tubuhku juga reflek merangkul tubuh Lya yang hanya setinggi pundakku itu.
”Hahaha... benar...” Namun saat itu juga Lya melepaskan rangkulanku. Aku ingin merasa kecewa tapi dengan cepat perasaan itu terlupakan karena Lya, entah sejak kapan, membawa kepalaku yang tinggi itu bertemu dengan kepalanya. Aku dapat melihat wajahnya sangat dekat dan aroma tubuhnya yang ringan seperti aroma pewangi pakaian. Hanya butuh lima detik, wajahku sudah memerah sampai ke telinga seperti kepiting yang selesai direbus.
Lya melirik jahil padaku ”Reaksinya yang seperti ini yang membuatku tanpa sadar menerima pernyataan nya,” jelas Lya dengan senyum miring sebelum melepaskan kepalaku dan membuatku kembali berdiri tegak.
Eric hanya dapat memasang wajah kesal, ”Benarkah semudah itu? Apa-apaan...” Sepertinya dia masih tidak bisa menerima alasan yang aku dan Lya lontarkan.
”Sudah, ya. Kelas kita pagi ini berbeda. Aku akan ke lantai dua.” Lya memilih untuk pamit lebih dulu. Padahal tangga untuk naik ke lantai dua berada di arah agak berlawanan dari posisiku dan Eric, itu berarti Lya sengaja menghampiriku untuk menyapaku, bukan? Lya ternyata begitu perhatian di luar kesannya yang cuek. Dari obrolan singkat barusan, ia juga seperti bukan tipe yang canggung seperti seorang introvert yang biasa kutemui.
”Ah, Lya! Hari ini kelasmu ada berapa?” tanyaku sebelum Lya melangkah pergi.
”Hmm... sepertinya tiga? Dan itu berturut-turut dari kelas ini...” jawabnya dengan tampang muak membayangkan jadwal kuliahnya. Itu tampak lucu, dia ekspresif!
Wajahku sumringah. Aku dapat merasakan warna merah dipipiku sepertinya belum menghilang,. ”Kelasku hanya pagi ini, aku akan menunggumu selesai! Ayo kita jalan siang ini, bagaimana?” kemudian aku bertanya dengan rasa percaya diri sebagai pacar bahwa ajakanku akan 100% diterima olehnya.
Namun yang kudapatkan adalah Lya yang tampak berpikir, seperti sedang mengingat sesuatu dan di detik berikutnya ia melemparkan wajah canggung padaku. ”Maaf, tapi hari ini aku benar-benar tidak bisa... Aku sudah janji dengan seseorang?” Selain membuatku kecewa, kalimat penolakan Lya juga membuatku cemas.
”Seseorang... itu siapa?” tanyaku yang sudah berpikiran kacau mengingat satu orang yang terlintas di kepala.
Lya kembali diam. Jantungku berdegup kencang menanti sesuatu yang akan keluar dari bibir tipisnya. Kemudian ia tersenyum, meski di balik lengkung bibir itu samar-samar tampak bayangan rasa tidak nyaman. Senyumannya manis, tapi di sisi lain entah kenapa justru membuatku ingin tahu kenapa ia tidak bisa langsung menjawab pertanyaan sederhana dariku itu?
Ia menatapku dengan ekspresi yang sulit kuterjemahkan, lalu perlahan mengusap kepalaku. Untuk melakukan itu, ia bahkan harus sedikit berjinjit. Gerakannya sederhana, tapi cukup membuat dadaku terasa hangat. Apa dia sedang berusaha menenangkanku? Memangnya bagaimana mungkin dia tahu kalau tadi aku sempat diliputi kecemasan?
”Kusebutkan pun kau tidak akan kenal, tapi kau tidak perlu memasang wajah begitu.” Ia mengatakan hal tersebut seolah memang tahu apa yang kupikirkan atau mungkin memang wajahku yang mudah terbaca, aku tidak tahu. Yang aku tahu jawaban Lya yang diliputi banyak rahasia itu justru semakin membuatku gusar.
Saat ia mulai memperlihatkan punggungnya padaku dan melangkah menjauh tanpa sedikit pun menoleh, perasaan aneh merambati hatiku. Ada firasat yang sulit kujelaskan—meski Lya tahu kami kini terikat dalam sebuah hubungan, ia tetap menjaga jarak. Itu wajar, tentu saja. Kami bahkan belum benar-benar saling mengenal. Hubungan ini baru sehari dimulai, dan sebelumnya ia bahkan sempat menolak pernyataanku dengan tegas.
Namun, aku ingin tetap optimis dan berpikir waktu akan membawa kami lebih dekat. Pelan-pelan tapi pasti kami akan belajar membuka hati, saling berbagi, dan akhirnya tak lagi menyimpan rahasia. Aku yakin, akan ada hari di mana aku dan Lya benar-benar berjalan berdampingan!
***
”Oh.. Wow...” itu adalah suara Eric yang terlihat takjub setelah melihat sesuatu yang terjadi di depan matanya dan juga mataku. Kami berdua sama-sama membeku menghadapi skenario yang sedang terjadi secara kebetulan ketika kami baru menyelesaikan mata kuliah wajib tepat sore hari dan hendak pulang.
Di parkiran mobil kampus, kami melihat Lya dan seorang pria tampak sedang asyik bercengkerama. Pria tinggi yang berotot itu bersandar di mobilnya sedangkan Lya berdiri di depannya. Meski dari jarak yang cukup jauh, aku tahu pria itu bukan pria biasa. Auranya seperti pria matang yang mapan, parasnya cantik dengan kulit yang tampak pucat, dan semakin kontras karena surai hitam dan cara berpakaiannya yang seperti model. Mata semua orang yang lewat, tidak peduli gender, akan menyempatkan diri untuk menatap pria itu.
”Apa beberapa waktu lalu dia menolak ajakanmu dan bilang ada janji dengan teman itu... pria itu?” Eric tanpa sadar menyiram api dalam perasaan negatif yang sudah setengah menguasai diriku.
”Aku tahu dia...” lirihku.
”Kau tahu? Siapanya?” Eric segera bertanya.
”Tidak tahu, sih... Aku hanya tahu dia terkadang menjemput Lya di kampus...” jelasku abu-abu. Sepertinya Eric membaca ekspresiku yang sudah gelap sehingga ia tidak berani mengatakan apa pun lagi kecuali beberapa bongkah kalimat.
”Kau tidak menghampirinya? Menyapa mereka? Bagaimana pun Lya itu pacarmu...” ujar Eric ragu-ragu.
Aku menggigit bibir bawahku. Tanpa sadar mengepalkan tangan sampai kuku memutih. Jantungku berdebar dan darahku mendidih hingga rasanya siap meledak kapan saja dari kepala.
Sudah seminggu berlalu sejak pagi itu, ketika Lya menolak ajakanku dengan alasan ada janji bersama temannya. Awalnya aku sempat kecewa, tapi sekali lagi aku berpikir bahwa itu hal yang wajar. Hubungan kami baru saja dimulai— masih penuh canggung.
Namun, semakin hari aku semakin menyadari sesuatu yang sejak minggu lalu pun sempat kuragukan. Lya memang terlihat perhatian. Ia tersenyum setiap kali pandangan kami bertemu tanpa sengaja. Pesanku selalu dibalas dengan cepat. Ia pun tidak pernah menghindar ketika kuajak berbincang di kampus.
Tapi, semua itu terasa seperti lapisan tipis di permukaan saja. Begitu aku mencoba melangkah lebih dekat, seolah ada jarak yang sengaja ia ciptakan. Setiap langkah majuku membuatnya mundur selangkah, seakan ada dinding tak kasat mata yang memisahkan kami. Dan kini aku tahu—dinding itu bukanlah sesuatu yang baru. Dinding itu sudah ada sejak awal, kokoh dan tinggi.
Lya hanya memilih untuk tetap berdiri di baliknya. Tidak ingin terlihat. Tidak ingin benar-benar dikenal. Tidak ingin ada yang menembus batas yang dengan hati-hati ia bangun sendiri.
Jadi untuk apa Lya menerima pernyataanku? Karena aku menangis? Simpati? Rasa bersalah? Aku tidak masalah dengan semua alasan itu, tapi aku juga tidak masalah jika dia tetap menolakku dari pada membuatku overthinking selama seminggu.
Dan hari ini, apa yang kudapatkan? Lya berbincang dengan wajah ceria dan tawa lepas yang tidak ia tunjukan padaku dengan pria lain. Melengkapi rasa kacau dalam kepalaku yang sudah menumpuk selama tujuh hari.
Mungkin karena didukung cuaca yang sangat panas hari ini, wajahku semakin panas dan sakit kepala yang kurasakan sejak tadi semakin kontras. Aku tidak berencana untuk mengganggu Lya saat itu, meski penasaran setengah mati, aku masih tidak berani untuk melewati batasannya.
Benar. Bagaimana pun, aku tidak boleh cepat menyimpulkan hanya dalam waktu seminggu—
”Ben! Kau baik-baik saja?!”
Aku tidak tahu apa yang terjadi saat itu. Begitu pandanganku sedikit jernih, aku melihat wajah Lya sudah sejajar dengan wajahku. Aku bisa merasakan sentuhannya di keningku. Tanganku pun tanpa sadar sudah memakai tubuh kecilnya untuk topangan diriku yang hampir ambruk ke depan. Sepertinya aku terkena serangan panas, didukung dengan jam tidurku yang kacau belakangan ini, tubuhku semakin tidak berdaya.
”Kau sakit, ya? Hei, apa kau bisa pulang sendiri dalam kondisi begini?” Lya bertanya dengan penuh rasa cemas. Ya, aku tidak salah. Itu dia yang sedang merasa cemas.
Kenapa?
Padahal selama ini dia selalu terkesan menjaga jarak hatinya dariku, tapi dia selalu begini. Meski ingin kuanggap rasa simpati, tapi perhatiannya selalu terasa tulus, seperti ia benar-benar membalas perasaanku.
”Leo! Bisakah kami menumpang di mobilmu? Kita ke rumah sakit—
Aku menghentikannya sebelum sempat melepasku, dengan memeluknya erat. Tubuhku lemah, napasku masih tersengal, keringat membasahi kulitku, tapi aku tetap berusaha menyalurkan seluruh tenagaku hanya untuk mempertahankan sentuhannya sedikit lebih lama.
Aku tidak peduli pada sekitar. Tidak peduli pada seruan Eric yang terdengar panik. Di detik itu, dalam pikiranku yang kacau, hanya ada satu keinginan yang begitu kuat—untuk menjadikan Lya milikku seorang. Untuk memonopoli kehangatannya, meski hanya sekejap.
”Aku... Sangat menyukaimu... Tidak... aku mencintaimu, Lya...” suaraku terperangah, aku dapat merasakannya nafasku sangat panas di pundak Lya ”Aku bersungguh-sungguh... jadi cepatlah...” kesadaranku semakin samar, pandanganku naik turun ”kumohon... terbukalah padaku...”
Setelah berhasil melontarkan perasaanku dengan suara yang ringkih, kesadaranku seakan terputus. Gelap menelanku, dan aku tak lagi mampu mengingat apa pun.
Namun, tak lama kemudian, samar-samar aku mulai merasakan sesuatu. Hawa dingin menyapu kulitku, membuatku sedikit menggigil. Ada aroma pelembut pakaian, berpadu hangat dengan wangi matahari—aroma yang berasal dari sesuatu yang kini menjadi sandaranku. Bersamaan dengan itu, terdengar suara perempuan, lirih dan jauh, seakan berusaha menembus kabut kesadaranku yang masih tipis.
“Sepertinya aku jadi menyukainya...”
Aku tidak tahu, apakah itu hanya mimpi atau kenyataan. Kesadaranku masih setengah tertinggal, tubuhku lemas seakan enggan bergerak, aku tidak bisa menyerapi kalimat itu bahkan mendengarkan lebih jauh. Kondisiku memang tak separah sebelumnya, tapi rasa kantuk datang menggulung, menyeretku semakin jauh. Terlebih setelah mendengar kalimat itu—kalimat menyenangkan yang kuharap ditujukan padaku—aku semakin tidak ingin membuka mata. Aku ingin tetap terjebak di dalamnya, selamanya.
.
.
.
To Be Continue
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
fσя zуяєиє~✿
saran driku, paragrafnya jgn kepanjangan, klo bisa minimal 4-5 baris aja, atau klo diperlukan bisa smpe 6 baris aja/Grin/
saya hanya bantu koreksi yg simple2 aja/Pray/
2025-10-19
1
☠🦋⃟⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
"𝑺𝒆𝒌𝒖𝒏𝒕𝒖𝒎 𝒎𝒂𝒘𝒂𝒓 🌹 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌𝒎𝒖, 𝑻𝒉𝒐𝒓. 𝑺𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕𝒎𝒖 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒂𝒓𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑 𝒔𝒆𝒈𝒂𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒃𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏𝒚𝒂, 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒘𝒂𝒎𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒋𝒖 𝒌𝒆𝒔𝒖𝒌𝒔𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒓𝒕𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒓𝒖𝒎𝒌𝒂𝒏 𝒏𝒂𝒎𝒂𝒎𝒖.
✿⚈‿‿⚈✿
2025-10-18
1
@dadan_kusuma89
Sepertinya kamu bakal masuk rekor muri, Ben! Dari penolakan menuju penerimaan cuma butuh waktu beberapa detik😁
2025-10-19
1