Sore itu, setelah jam kantor usai, Luna memutuskan tidak langsung pulang ke rumah. Hari itu Luna merasa terlalu lelah, bukan karena pekerjaannya di kantor, melainkan karena pikirannya yang semakin kalut sejak perubahan sikap Ares. Bahkan Luna tidak sadar saat pintu ruangannya diketuk dengan pelan.
“Lun… sedang apa kamu?” suara yang tidak asing terdengar. Noval muncul diambang pintu, menyambangi Luna.
Noval melangkah masuk, duduk di kursi yang berada di hadapan Luna. Kebiasaan mereka sejak lama, berbincang santai sebelum benar-benar pulang. Namun kali ini, Luna merasa dadanya terlalu sesak untuk berpura-pura terlihat baik-baik saja.
“Val…” Luna menatap sahabatnya itu penuh keraguan. “Bisakah temani aku pergi sebentar? Aku butuh udara segar.”
Noval tidak banyak bertanya. Ia langsung berdiri dan berjalan ke samping Luna. “Tentu saja. Mau kemana kita?”
“Bagaimana jika makan malam di luar saja?”
***
Tak lama kemudian, mereka sudah tiba di kafe dekat kantor. Suasana tenang dan tentram, kontras dengan hati Luna yang kacau. Selama waktu bersama Noval disana, Luna hanya memainkan sendoknya tanpa menyentuh makanan.
Noval memperhatikan Luna dengan seksama. Keningnya berkerut. “Lun, kamu kenapa?”
Luna terdiam. Hatinya bimbang, haruskah ia ceritakan pada Noval? Bagaimanapun Celine juga sahabat mereka sejak SMA. Tapi terlalu sakit untuk Luna menahan semuanya sendiri.
Luna terdiam cukup lama, matanya hanya memandangi sepiring nasi goreng dihadapannya.
“Luna…” Suara Noval pelan, namun tegas, membuat Luna sedikit tersentak. “Aku sudah mengenalmu bukan baru satu jam yang lalu. Jangan bilang padaku kalau kamu baik-baik saja. Lebih baik kamu ceritakan padaku.”
Luna menghela napas panjang. Tapi tetap bungkam. Luna bingung harus memulai perbincangan dari mana.
Noval tidak tinggal diam. Ia mencondongkan tubuhnya kedepan, lebih dekat dengan Luna, kemudian menatapnya lebih dalam. “Luna ceritakan.”
Desakan itu justru membuat tangis sulit untuk ditahan. “Val…” suara Luna bergetar.
Noval membiarkan Luna menghela napas. Noval mengetahui sesuatu yang buruk sedang dialami oleh Luna. Karena Luna yang kuat tidak tampak di hadapan Noval saat itu.
“Val… aku merasa Ares sudah tidak lagi seperti dulu.” Mata Luna berkaca-kaca. “Dan… ada nama lain yang muncul di antara kami. Celine, Val.”
Luna tidak berusaha menyeka air matanya, ia membiarkan air matanya mengalir di pipinya.
Noval hanya terdiam. Menatap Luna dengan tajam namun penuh kelembutan. Ia tidak berusaha memotong atau mencela dengan pertanyaan, karena Noval tahu malam itu bukan waktu yang tepat untuk menginterogasi.
Setelah Luna mengatur napas nya, Luna melanjutkan dengan suara bergetar, “Bahkan Ares mengaku hubungannya dengan Celine sudah berlangsung lama, sebelum pernikahan kami.”
Tangis yang dengan sekuat tenaga Luna tahan akhirnya pecah juga, tubuhnya sedikit bergetar.
Noval menatap Luna dengan lekat. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia utarakan, tapi ia menahan semuanya diujung lidah. Noval hanya mengulurkan tangannya, lalu menyentuh dengan lembut punggung Luna yang masih bergetar.
Luna hanya bisa terdiam setelah menumpahkan seluruh perasaannya pada Noval.
Noval yang duduk di hadapannya menatap dengan sorot mata sangat prihatin walaupun terlihat keraguan akan ucapan Luna. Ia tahu, sahabatnya tidak pernah selemah ini, dan kini ia melihat dan merasakan sahabatnya sedang berada di ambang kelelahan batin.
“Lun, aku khawatir jika sekarang kamu harus pulang kerumah. Aku khawatir justru perasaan kamu semakin hancur. Kamu butuh ruang untuk tenang. Bernapaslah sedikit dari semua ini.” Suara Noval pelan namun terdengar tegas.
Luna mengangkat wajahnya, menatap Noval dengan keningnya yang berkerut. “Maksud kamu, aku tidak pulang malam ini?” tanya Luna dengan ragu.
“Setidaknya untuk malam ini saja Lun. Aku punya Apartemen kosong, kamu bisa menginap disana malam ini. Kamu tenang saja, tidak ada siapa-siapa disana. Aku janji tidak akan mengganggu kamu. kamu bisa gunakan waktumu malam ini untuk beristirahat, tenangkan diri kamu, dan memikirkan semuanya dengan pikiran jernih.”
Luna segera menggeleng. “Tidak Val, terima kasih. Bagaimanapun juga, rumah itu tempatku. Ada Ares disana. Aku masih ingin memperbaiki semuanya.” Suaranya bergetar, menunjukan bahwa hatinya masih bergulat dengan logikanya.
Noval menatap sahabatnya yang terlihat begitu rapuh namun tetap berusaha tegar. “Aku cuma tidak ingin melihat kamu semakin hancur.”
Luna mengangguk perlahan. “Terima kasih Val, kamu selalu menjadi sahabat terbaikku. Tapi biarkan aku mencoba berjuang dulu, meskipun aku tidak tahu sampai kapan aku mampu bertahan.”
Akhirnya dengan berat hati, Noval menuruti keputusan Luna untuk pulang.
Mobil Noval melaju pelan menembus dinginnya angin malam. Di dalamnya, Luna hanya terdiam menatap ke arah luar jendela. Sesekali Noval melirik Luna.
Setiba di depan rumah, Luna menghela napas, berusaha menyiapkan hatinya untuk masuk ke dalam rumah dan bertemu dengan Ares. Noval memarkirkan mobilnya dan menoleh Luna. “Aku antar kamu masuk,” katanya lembut.
Belum sempat Luna menolak, namun Noval sudah lebih dulu membuka pintu mobil.
Saat keduanya melangkah masuk, pintu ruang tamu terbuka tanpa diketuk terlebih dahulu. Ares berdiri disana, mengenakan kemeja santai dengan senyum di bibirnya seolah menyapa Noval.
Noval yang sudah mengenal Ares sejak lama, menyapa dengan sopan. “Ares. Aku minta maaf mengantar Luna cukup malam. Kami makan malam bersama seperti biasa.”
Ares menatap Noval dengan tatapan yang biasa Noval lihat. Tidak terlihat perbedaan sikap dari Ares yang Noval kenal sebelumnya. “Tidak apa-apa. Terima kasih Val, sudah repot mengantar Luna pulang.”
Noval mengangguk, lalu menepuk bahu Luna. “Aku pulang. Kalau ada apa-apa, kabari aku.” Bisiknya.
Begitu mobil Noval melaju meninggalkan halaman, suasana kembali hening. Luna berdiri canggung di ruang tamu, sementara Ares menutup pintu. Tiba-tiba tanpa menoleh Ares berkata, “Aku tidak peduli Luna. Kamu bebas menceritakan apa pun pada Noval. Seperti yang sudah ku katakan sebelumnya, apa pun yang terjadi denganmu aku tidak akan peduli.”
Ares berjalan ke arah ruang keluarga, lalu berhenti sejenak dan menambahkan dengan suara rendah namun jelas, “dan jangan salah paham. Aku tidak menunggumu pulang. Tapi aku tidak bisa tidur.”
Luna berdiri terpaku di ruang tamu. Untaian kalimat itu melumpuhkan perasaannya. Matanya menatap Ares yang berjalan tenang, seakan ucapannya tidak menyakiti istrinya.
Luna dan Ares masuk kedalam kamar bersama. Ares dengan tenang membuka lemari pakaian. Luna memperhatikan gerakan itu dengan mata berkaca-kaca. “Apa yang kamu lakukan Ares?”
Ares menatap Luna sekilas. “Mulai malam ini aku akan tidur di kamar tamu,” ujarnya datar.
Ares pun berjalan meninggalkan Luna dikamar mereka. Terdengar pintu kamar tamu berderit pelan kemudian tertutup kembali.
Luna yang seorang diri dikamar tidak membiarkan dirinya terpaku dikamar lebih lama. Langkah Luna terasa berat saat ia berjalan menuju meja makan. Sepotong roti dengan olesan selai masih tertata rapi di atas piring. Roti itu bahkan belum tersentuh sedikit pun.
Luna mendekat, jemarinya menyentuh roti tersebut. Bahkan sarapan yang ku buat sudah tidak dianggap penting lagi. Air mata Luna jatuh begitu saja. Ia meletakan kembali roti itu, perlahan masuk kembali ke kamar.
Begitu pintu kamar tertutup, Luna langsung berdiri di sisi ranjangnya. Di tengah isak tangisnya, ada sesuatu yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya yang sudah lama terkubur. Entah dari mana asalnya ia kembali, sebuah kekuatan dan ketegaran kembali hadir.
Ia mengusap air matanya dengan punggung tangan. Wajah yang sembab, mata yang merah terpantul dari cermin di sampingnya. Ada ketangguhan yang perlahan muncul.
Aku tidak boleh terus seperti ini. Aku harus kuat meski Ares suatu saat memilih pergi. Aku harus siap.
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama Luna merasa terpuruk, Luna berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan tetap kuat entah itu untuk mempertahankan hubungannya dengan Ares, atau pun untuk hal buruk yang mungkin terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments