Nayla mengayuh langkahnya menyusuri lorong-lorong pemukiman, menatap setiap gang dengan harapan. dan rasa takut. Di dalam kantong bajunya, tergenggam uang dua ratus ribu. Uang hasil malam yang membuat hatinya masih terasa kotor.
Tapi. itu satu-satunya harapan mereka malam ini.
Setelah bertanya ke beberapa tempat, ditolak di sana-sini karena harga sewa yang tak terjangkau, langkah Nayla membawanya ke sebuah gang kecil yang lebih dalam dan sepi. Di ujungnya, berdiri rumah dengan papan kayu usang bertuliskan:
"TERIMA KONTRAKAN - BULANAN"
Nayla menarik napas panjang, lalu memberanikan diri mengetuk pintu kayu yang sudah mulai lapuk.
Tok… tok…
Tak lama kemudian, seorang perempuan paruh baya membuka pintu. Rambutnya disanggul, wajahnya letih tapi bersahabat.
“Iya, Neng?” ucapnya ramah.
“Permisi, Bu.” suara Nayla nyaris hilang.
“Saya mau tanya, rumah kontrakannya, masih ada yang kosong?”
Si Ibu mengangguk.
“Masih satu, paling belakang. Tapi kecil, cuma satu ruangan, kamar mandi di luar. Bulanannya delapan ratus ribu, listrik sendiri ya.”
Nayla menelan ludah. Matanya memohon. “Bu, S-saya baru bisa bayar dua ratus dulu. Sisanya saya janji, saya lunasi besok malam.”
Perempuan itu sempat mengernyit.
“Lho, kok begitu? Biasanya bayar di depan, Neng. Saya juga butuh buat setor.”
“Tolong, Bu.” suara Nayla mulai bergetar. “Saya gak punya tempat tinggal. Ibu saya sekarang dirawat di puskesmas karena pingsan, dan dua adik saya masih kecil. Kami diusir dari rumah sendiri.”
Ia menunduk, air matanya jatuh satu-satu.
“Saya janji, Bu, besok malam saya lunasi. Saya akan cari uangnya. Gimanapun caranya.”
Perempuan itu terdiam. Sorot matanya berubah. Ada empati yang perlahan tumbuh dari balik wajah kerasnya.
“Adikmu umur berapa?”
“Sembilan. dan lima tahun, Bu.”
“Ya Allah.” gumam perempuan itu pelan. Ia menoleh ke dalam rumah, sejenak berpikir, lalu menatap Nayla lagi.
“Ya sudah, Neng. Saya percaya. Tapi cuma sampai lusa, ya. Kalau belum lunas juga, saya harus ambil kunci lagi.”
Nayla langsung menunduk dalam-dalam.
“Iya, Bu. Terima kasih… makasih banyak…”
Dengan langkah tergesa, si Ibu memanggil anak remajanya dan memintanya mengantar Nayla melihat kamar kontrakan di belakang. Gangnya sempit, dan tempat itu memang tak layak disebut rumah. Tapi bagi Nayla, ruangan kosong itu terasa seperti surga.
Dindingnya lembab, lantainya semen dingin, dan atapnya bocor di dua sudut. Tapi cukup untuk berteduh. Cukup untuk kembali merasa punya “rumah”.
Nayla berdiri di tengah ruangan kecil itu, memandangi langit-langit reyot dengan mata basah. Dua ratus ribu sudah berpindah tangan, dan kini ia hanya punya sisa keyakinan. bahwa ia akan bertahan, apapun caranya.
Ketika senja benar-benar turun dan langit berubah ungu, Nayla kembali ke rumah Bu Erna untuk menjemput adik-adiknya. Dio dan Lili memeluk Nayla erat saat melihat wajah kakaknya yang kembali.
“Kita. punya tempat tinggal baru,” bisik Nayla sambil memeluk mereka.
“Rumah kita lagi?” tanya Lili polos.
Nayla menahan tangis.
“Iya, rumah kita. walau kecil. Tapi kita tetap bareng-bareng, kan?”
Dan malam itu, mereka tidur bertiga di lantai keras tanpa kasur, hanya beralaskan kain tipis dan guling tua yang diberi Bu Erna.
Tapi tak ada yang lebih hangat dari pelukan mereka.
Nayla menatap langit-langit gelap yang berongga, memeluk Lili dan Dio yang mulai terlelap di kedua sisi tubuhnya.
Besok malam, ia harus kembali. Kembali ke dunia yang menjijikkan dan mematikan hati. Demi 600 ribu yang tersisa. Demi Ibu yang masih di infus. Demi nasi untuk adik-adiknya.
Demi bertahan.
Dan entah sampai kapan, ia harus terus menjual potongan dirinya sendiri, demi menjaga yang masih tersisa.
...
Pagi itu, langit mendung seperti cerminan isi hati Nayla. berat dan penuh kecemasan.
Ia duduk di lantai kamar kontrakan kecil itu, memeluk lutut dan memandangi dua adiknya yang masih terlelap di sisi kanan dan kirinya. Dingin merayap lewat celah-celah dinding dan atap bocor yang mulai menghitam karena lembap. Suara ayam berkokok dari kejauhan mengiringi detik demi detik yang berjalan lambat.
Nayla tak berseragam hari ini.
Ia tahu, ia tak bisa ke sekolah. Ia tak bisa membiarkan Dio dan Lili sendirian tanpa arah. Apalagi ibu masih terbaring di puskesmas. Dunia sekolah, ujian, nilai, masa depan, semua itu rasanya terlalu jauh untuk disentuh hari ini. Yang nyata hanyalah kenyataan pahit di depan matanya.
mereka kehilangan rumah, tak punya uang, dan ibu. masih belum pulih.
Setelah membasuh wajah dengan air dingin dari ember, Nayla segera menyalakan kompor kecil. Ia memasak nasi sisa semalam, menghangatkannya, lalu menyuguhkannya bersama telur ceplok yang dibagi dua untuk adik-adiknya. Roti cokelat yang ia beli dua malam lalu tinggal sepotong kecil, disobek jadi dua agar Lili dan Dio tetap bisa mencicipi.
“Cepat sarapan, ya. Mbak antar kalian ke sekolah sebentar lagi,” ucap Nayla sambil menyuapi Lili yang masih menggosok mata dengan tangan mungilnya.
“Terus mbak gak sekolah?” tanya Dio, bingung.
Nayla tersenyum tipis.
“Mbak cuti hari ini. Temani Ibu dulu, ya.”
Setelah mengantar kedua adiknya sampai gerbang sekolah dengan langkah yang penuh pura-pura ceria, Nayla kembali menyusuri trotoar menuju puskesmas tempat sang ibu dirawat. Jalanan pagi dipenuhi pelajar, pedagang, dan suara klakson yang bersahut-sahutan. Tapi semua itu hanya gema yang lewat di telinga Nayla. Hatinya tertambat pada satu tanya.
"Bagaimana keadaan Ibu hari ini?"
Begitu sampai di meja administrasi puskesmas, Nayla segera menghampiri perawat yang berjaga.
“Permisi, Bu. saya anak dari Ibu Sulastri, pasien yang dibawa kemarin sore. di ruang 2B. Saya mau jenguk Ibu.”
Perawat itu berhenti menulis, lalu menoleh dengan ekspresi sungguh-sungguh.
“Oh, kamu Nayla, ya?”
“Iya, Bu. Bagaimana keadaan Ibu saya?”
Perawat itu menarik napas pelan, lalu berkata dengan suara tenang tapi tegas.
“Ibumu tadi pagi sudah dirujuk ke rumah sakit besar, Nak. Kami sudah hubungi Pak RT juga untuk bantu proses rujukannya.”
Nayla membeku.
“A-apa? Dirujuk? Ke rumah sakit mana, Bu?”
“RSUD Citra Bakti. Tadi sekitar pukul delapan pagi dijemput ambulans. Kami terpaksa rujuk karena tekanan darah Ibumu sangat tinggi. Selain itu, ada tanda-tanda komplikasi yang butuh perawatan intensif. Puskesmas tidak punya fasilitas cukup.”
Kata-kata itu terdengar seperti palu yang menghantam dada Nayla.
Komplikasi. Perawatan intensif. Rumah sakit besar.
Dan yang lebih menyakitkan: biaya.
“Bu, biayanya gimana? Ibu saya, kami nggak punya BPJS aktif.”
Perawat itu menatap Nayla dengan tatapan penuh iba. Ia menyentuh tangan Nayla pelan.
“Kami bantu urus surat rujukan darurat. Tapi untuk biaya rumah sakit. kamu mungkin harus minta surat keterangan tidak mampu dari kelurahan. Atau, ya. bayar mandiri. Tergantung dari hasil verifikasi RS nanti.”
Nayla hanya bisa berdiri diam. Dunia seperti runtuh perlahan di sekelilingnya.
Ibu, yang sepanjang hidupnya tak pernah mengeluh, kini harus berjuang melawan penyakitnya dalam ruang rumah sakit yang dingin. Sementara ia. Anak perempuannya. hanya bisa berdiri dengan saku kosong dan kepala penuh kekhawatiran.
Nayla menunduk dalam-dalam, menahan air mata yang mulai menumpuk di pelupuk matanya.
“Terima kasih, Bu, Saya… saya akan ke rumah sakit itu sekarang.”
Ia keluar dari puskesmas dengan langkah berat. Angin pagi yang tadinya sejuk kini terasa dingin menggigit, menampar-nampar wajahnya dengan kenyataan yang terlalu kejam.
Ia harus cari uang. Malam ini juga.
Tak peduli harus seberapa dalam lagi ia jatuh. Asal ibu bisa pulang. Asal Dio dan Lili tetap bisa sekolah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Bunda Dzi'3
Smoga ada Yg menyelamatkan mu entah elang entah elvino...jgn jdi kupu2 MLM kasian
2025-09-04
2
Bunda Dzi'3
up Thor
2025-09-05
1