Langit sudah mulai beranjak jingga ketika bel pulang sekolah berbunyi. Siswa-siswi berhamburan keluar dari kelas dengan semangat, sebagian tertawa, sebagian sibuk dengan ponsel mereka. Namun Nayla masih duduk di kursinya, membereskan buku-buku dengan gerakan lambat. Hari itu terasa sangat panjang baginya.
Elang berdiri di sisi mejanya. Ia menyandarkan satu tangan di tepi meja Nayla, menatap gadis itu dengan ekspresi tenang tapi penuh maksud.
"Nay," ucap Elang pelan,
"tugas kelompok sosiologi kita. gimana kalau dikerjain di rumahku aja? Aku udah bilang ke Bu Rini, dan dia setuju.”
Nayla menatapnya, sempat ragu. “Rumah kamu?”
“Iya. Biar lebih enak. Tenang. Lengkap juga fasilitasnya.” Ia tersenyum kecil.
“Kalau kamu gak keberatan.”
Nayla sempat menimbang. Jiwanya masih lelah. Tapi entah kenapa, ajakan Elang terasa. jujur. Tidak seperti tawaran-tawaran dari dunia malam itu.
“Oke.” jawab Nayla pelan.
Beberapa menit kemudian, Nayla sudah duduk di dalam mobil Elang. sedan hitam elegan dengan interior wangi dan bersih. Musik lembut mengalun dari speaker, dan Elang mengemudi dengan tenang.
“Kalau capek, tidur aja sebentar. Kita masih setengah jam lagi,” ucapnya sambil melirik singkat ke arah Nayla.
Tapi Nayla hanya tersenyum kecil.
“Nggak apa-apa. Aku. suka lihat jalanan.”
Sepanjang perjalanan, Nayla tak banyak bicara. Ia menatap keluar jendela, menyaksikan kota yang berlalu di balik kaca. Jalanan yang tadi ia lewati dengan langkah kaki lesu, sekarang tampak berbeda dari balik kemewahan mobil Elang. Semua terlihat jauh. indah. dan tak tersentuh.
Hingga akhirnya mobil itu berbelok ke sebuah jalan perumahan elite. Gerbang besi otomatis terbuka, dan di hadapan Nayla terbentang rumah tiga lantai yang megah. Halamannya luas, taman rapi dengan bunga-bunga mahal menghiasi sisi jalan masuk. Dindingnya dipenuhi kaca besar, dan lampu-lampu taman menyala lembut meski hari belum gelap.
Nayla menelan ludah.
Ini bukan rumah. Ini dunia lain.
Mobil berhenti. Elang turun duluan, membukakan pintu untuk Nayla.
“Ayo, masuk.”
Dengan langkah ragu, Nayla mengikuti. Ia melepas sepatunya di depan pintu, merasa aneh melihat lantai marmer mengilap yang seperti museum, bukan rumah tempat tinggal.
Baru saja mereka melewati ruang tamu, sebuah suara berat dan dalam menyapa.
“Elang. Tumben bawa cewek pulang.”
Nayla menoleh.
Di sofa panjang yang menghadap jendela, duduk seorang pria dewasa. Wajahnya tampan, maskulin dengan garis rahang tegas. Rambutnya tersisir rapi ke belakang, mengenakan kemeja putih dengan beberapa kancing terbuka, memperlihatkan sedikit kulit dada. Di tangannya, segelas kopi yang tampak masih mengepul.
Pria itu bangkit, berjalan pelan ke arah mereka. Tubuhnya tinggi dan berwibawa. Matanya tajam, tapi bukan tajam yang menakutkan. melainkan memikat. Auranya... seperti seseorang yang biasa memegang kendali atas segalanya.
“Oh iya, Nay. kenalin. Ini kakakku, Elvino. Dia yang sekarang pegang perusahaan keluarga,” ujar Elang.
Nayla sedikit membungkuk, gugup.
“Saya Nayla. teman sekelas Elang.”
Elvino mengulurkan tangan, senyumnya tenang namun menyimpan teka-teki.
“Panggil aja Vino. Teman Elang, berarti teman keluarga juga.”
Nayla menjabat tangan itu. Hangat. Kuat.
Tapi dalam sekejap, ia merasa ada sesuatu yang lain dari tatapan Elvino. Seperti. sorot mata yang bisa melihat lebih dari sekadar permukaan. Dan Nayla merasa telanjang di bawah tatapan itu. meski bajunya menutupi seluruh tubuh.
“El, kamu kerja tugas di mana?” tanya Elvino, masih memperhatikan Nayla.
“Di ruang belajar atas. Biar lebih nyaman.”
“Oke. Tapi makan dulu aja. Mbak Tini lagi siapin camilan. Gak sopan juga kalau tamu belum dikasih minum.”
Tak lama kemudian, mereka bertiga duduk di ruang makan yang luas dengan dinding kaca menghadap taman. Di atas meja, terhidang roti panggang, kroket keju, jus segar, dan teh hangat.
Nayla nyaris tak menyentuh makanannya. Rasanya semua ini terlalu megah. Ia merasa asing. Seperti pengemis yang tiba-tiba diundang ke istana.
“Elang,” suara Nayla pelan,
“aku. kayaknya gak enak ganggu kalian. Rumah kamu. terlalu mewah buat aku.”
Elang tertawa kecil.
“Rumah ini terlalu sepi tanpa tamu. Kamu gak ganggu, Nay. Justru aku senang kamu mau datang.”
Sementara itu, dari ujung meja, Elvino hanya mengamati. Tak banyak bicara. Tapi sesekali pandangannya kembali ke Nayla, seolah menyimpan rasa ingin tahu yang dalam.
“Jadi kamu tinggal di mana, Nayla?” akhirnya Elvino bertanya.
Nayla tersenyum kikuk. “Di pinggiran kota. Daerah gang belakang Pasar Anyar.”
“Jauh juga ya.” Vino mengangguk.
“Pantas kamu kelihatan. kuat.”
“Kuat?” Nayla mengerutkan kening.
Vino menyandarkan punggung ke kursi, pandangannya tak lepas dari Nayla.
“Ya. Tidak semua orang bisa bertahan hidup di lingkungan semacam itu.”
Elang menyela, “Kak, jangan bikin Nayla gak nyaman.”
Vino tertawa pelan. “Tenang. Aku cuma kagum.”
Nayla menunduk, wajahnya memanas. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Beberapa menit kemudian, Elang mengajak Nayla ke lantai atas, menuju ruang belajar pribadi. Ruangan itu seperti perpustakaan kecil, penuh buku-buku, dengan satu meja besar di tengah dan jendela besar yang menghadap balkon.
“Di sini biasanya aku belajar atau nulis jurnal,” jelas Elang sambil meletakkan bukunya.
Nayla mengangguk pelan, lalu duduk. Tapi pikirannya masih tertinggal di bawah, bersama sosok pria bernama Elvino itu. tatapannya, ucapannya, dan sesuatu yang tak bisa ia namai.
Seperti. bahaya.
...
Langit mulai menggelap ketika mobil Elang berhenti tepat di ujung gang sempit tempat Nayla tinggal. Jalanan sudah sepi, hanya sisa-sisa cahaya matahari yang menyorot malu-malu di antara bangunan-bangunan kumuh. Mobil hitam itu tampak begitu asing di tempat seperti ini. seperti bintang jatuh di tengah kubangan lumpur.
“Maaf, aku cuma bisa ngantar sampai sini,” ucap Elang pelan, tangannya masih menggenggam setir.
Nayla tersenyum kecil, menatap gang itu dengan tatapan cemas.
“Gak apa-apa, El. Terima kasih udah nganterin. dan udah ngajak aku ke rumah kamu.”
Elang mengangguk. “Kalau ada apa-apa, kabari aku. Serius.”
Nayla hanya mengangguk pelan, lalu membuka pintu dan turun dari mobil. Tapi baru beberapa langkah masuk ke gang itu, jantungnya seperti diremas paksa.
Di ujung gang kecil menuju rumahnya, Nayla melihat kerumunan. Sejumlah tetangga berdiri di sisi jalan, membicarakan sesuatu sambil berbisik-bisik. Semakin ia mendekat, semakin jelas kekacauan di depan matanya.
Pakaian-pakaian berserakan di tanah. Bantal, kasur tipis, ember plastik, bahkan rak piring, tergolek sembarangan seperti dibuang paksa. Pintu rumah terbuka lebar, salah satu engselnya menggantung nyaris copot. Sebuah bangku patah terlempar ke selokan. Dan di sudut halaman kecil yang berdebu, Dio dan Lili terduduk sambil menangis, memeluk satu sama lain.
"Dio? Lili?" Nayla langsung berlari, napasnya tercekat.
Begitu melihat kakaknya, Dio memeluk Nayla erat, tubuhnya gemetar. Lili pun tak bisa berhenti menangis.
"Apa yang terjadi?! Kenapa rumah kita jadi begini?!"
Dio, dengan suara tercekat dan mata sembab, menjawab di sela isaknya.
“B-Bapak marah, Mbak. Bapak tadi datang. bawa orang, trus bilang rumah ini udah dijual…”
Nayla terpaku.
“Apa…?” suaranya pelan, hampir tak terdengar.
“Ibu nangis, trus Bapak makin marah, banting-banting barang, Ibu sempat nyuruh kami keluar rumah, gak lama Ibu jatuh, pingsan, Pak RT bawa Ibu ke rumah sakit, Mbak…”
Tubuh Nayla melemas. Lututnya kehilangan tenaga, membuatnya jatuh terduduk di tanah kering, di antara pakaian kotor dan pecahan piring. Dunia di sekelilingnya berputar. Pandangannya kabur, oleh air mata yang mulai mengalir tanpa bisa ia tahan.
Rumah itu, satu-satunya tempat mereka berteduh, satu-satunya ruang yang masih ia genggam setelah semuanya direnggut.
Sekarang, semuanya lenyap.
"Kenapa, Pak.." bisik Nayla pelan, seakan bertanya pada langit yang semakin redup. “Kenapa tega banget…”
Beberapa tetangga mulai berdatangan mendekat. Salah satu dari mereka, Bu Erna, memeluk bahu Nayla pelan.
“Sabar ya, Nak. Kami juga kaget. Tiba-tiba aja dia datang sama orang, ngaku-ngaku pembeli rumah. Kami sempat cegah, tapi mereka marah-marah. katanya rumah ini udah lunas dibayar. Suratnya juga katanya udah dipegang mereka...”
Nayla menoleh dengan mata merah.
“Ibu sekarang di mana?”
“Pak RT bawa ke Puskesmas dekat perempatan. Ibumu pingsan tapi katanya masih sadar waktu diangkut. Mungkin syok berat.”
Nayla berdiri pelan, memeluk adik-adiknya erat.
“Bu, tolong jagain Dio sama Lili sebentar. Saya mau ke Puskesmas. Saya harus lihat Ibu.”
“Tenang, kami jaga mereka. Kamu hati-hati, ya, Nak,” ucap Bu Erna sambil menggenggam tangan Nayla penuh simpati.
Nayla berlari tanpa menoleh ke belakang. Tubuhnya letih, tapi jiwanya terbakar. Di sepanjang jalan, pikirannya hanya satu: menyelamatkan yang tersisa.
...
Di Puskesmas
Suasana ruang tunggu itu sunyi. Bau antiseptik dan suara jarum jam di dinding jadi satu-satunya irama yang mengisi ruang. Nayla berhenti di meja perawat dengan napas memburu.
“Ibu saya, Sulastri, barusan dibawa masuk katanya pingsan.”
Perawat mengangguk.
“Benar. Sudah siuman, tapi masih lemas. Ruang 2B. Silakan.”
Nayla segera menuju ruangan itu.
Dan di sana, di ranjang besi dengan infus tergantung, terbaring sosok yang paling ia cintai.
“Ibu.” Nayla menghampiri, duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan sang ibu yang dingin.
Ibu membuka mata perlahan. Senyumnya pucat, tapi hangat.
“Nayla, kamu sudah pulang?”
“Iya, Bu. Nayla di sini. Dio sama Lili aman. Tapi Bu. rumah kita, rumah kita udah dijual Bapak.”
Ibu menatapnya dalam diam. Setetes air mata mengalir dari sudut matanya.
“Maaf, Nak. Ibu nggak bisa jaga rumah kita.”
“Ini bukan salah Ibu,” Nayla menangis.
“Salah orang yang udah ngerusak semuanya.”
Ibu tak menjawab. Hanya menggenggam tangan Nayla lebih erat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Bunda Dzi'3
thorrr miris bngt ceritanya Nayla...abangnya elang knpa yaa...ervano Suka kahh?
2025-09-04
1