Pagi itu, hawa kantor masih panas—bukan karena AC rusak, tapi karena insiden kecil yang melibatkan Sarah dan Nayla. Meski sudah berlalu, sisa ketegangan masih menggantung di antara para staf.
Di tengah atmosfer itu, Dion melangkah santai menuju meja Nayla, membawa map tebal berisi dokumen.
“Ini berkas buat presentasi nanti, Nay,” ucapnya dengan ramah. Senyum tipis menghiasi wajahnya.
Nayla menerima map itu sopan, namun belum sempat berucap terima kasih—pintu ruangan CEO terbuka.
Arga keluar. Kemeja putih bersih melekat pas di tubuhnya, rambutnya sedikit lembap, tanda ia baru mandi cepat. Aroma parfum maskulin tercium samar. Wajahnya tegas, tatapannya tajam. Aura dominan langsung menyapu ruangan.
Percakapan antara Nayla dan Sarah masih terngiang di kepalanya. Tentang dirinya yang bukan tipe pria idaman Nayla.
Bukan sakit hati yang ia rasakan. Lebih tepatnya... terusik. Ia juga tak memiliki rasa apa pun pada Nayla. Tapi tetap saja, egonya menolak untuk diremehkan.
Dia bukan tipemu? Bagus. Aku juga tak perlu jatuh hati. Tapi kamu bisa jadi tameng dari Mama—dan jadi ‘Mommy’ untuk Nabil.
“Ayo ke ruang meeting. Sudah waktunya,” ucap Arga datar, lalu berbalik.
Dion dan Nayla segera menyusul. Langkah Arga cepat dan pasti. Nayla tenang, tapi sesekali menatap layar iPad-nya, mencoba menenangkan degup jantung yang tak biasanya.
Ruang rapat di lantai 15 sudah penuh. Anggota tim pemasaran dan keuangan duduk rapi. Mega dan Doni menempati barisan depan. Nayla melempar senyum sekilas—dibalas Mega dengan lirikan jahil, dan Doni dengan senyum penuh arti.
Arga duduk di kursi utama. Di sebelah kanan, Nayla. Kiri, Dion. Rapat tampak serius, namun tetap ada bisik-bisik kecil di sela-selanya. Nayla—yang duduk tepat di samping CEO—kembali jadi pusat perhatian.
Doni mencondongkan tubuh ke Mega, berbisik, “Lihat tuh Nayla… duduknya di sebelah Pak Arga terus, ya…”
Mega pura-pura mencatat. “Iya. Ekspresinya datar banget. Kayak udah kebal sama aura dinginnya Pak Arga.”
Doni cekikikan. “Menurut gue, dia satu-satunya cewek di kantor yang gak naksir Pak Arga.”
Mega menaikkan alis. “Hah? Gue aja kalo dia ngajak nikah, langsung gue iya-in. Kelakuan nanti bisa dibenerin. Yang penting... ganteng, duitnya gak abis tujuh turunan.”
Doni tertawa pelan. “Cuma ya… Pak Arga juga gak mau sama lo. Muka lo belum masuk ‘standar’ dia, Meg.”
Mega menyikut Doni, pura-pura sebal. “Cih! Sirik lo!”
Di sisi lain ruangan, Reza—kepala divisi keuangan—menatap Nayla diam-diam. Ia bukan tipe yang suka bicara, tapi sejak Nayla pernah memberinya brownies sebagai ucapan terima kasih, hatinya sedikit goyah. Senyum Nayla hari itu... sulit dilupakan.
Doni memperhatikan arah pandang Reza, lalu berbisik lagi, “Tuh, dari tadi Reza cuma liatin Nayla.”
Mega menghela napas, separuh iri. “Fix. Nayla jadi rebutan seisi kantor…”
Ia menambahkan lirih, “Kenapa Reza gak pernah lihat aku juga, ya? Gue juga gak kalah cantik dari Nayla.”
Doni terkekeh. “Karena lo gak masuk standar mereka, Meg…”
Mega mendengus, “Ya udah… jadikan gue standar baru, napa!”
Arga sendiri tampak fokus menatap layar presentasi, tapi matanya sesekali menoleh—pertama ke Nayla, lalu ke Reza, kemudian Dion. Gerak-gerik mereka tak luput dari pengamatannya. Wajah boleh tenang, tapi pikirannya bergolak.
Reza suka Nayla. Dion juga.
Aku? Harus cepat bertindak… sebelum dia diambil orang lain.
Dia cocok jadi ibu Nabil, bisa buat Mama berhenti tanya soal nikah.
Dan… dengan Nayla, aku masih bisa tetap main. Sempurna.
Namun rencana di kepalanya mulai berubah. Bukan hanya tentang ‘tameng’ lagi. Lebih strategis. Lebih dalam.
Aku akan jadikan dia istri kontrak. Untuk Nabil. Untuk reputasi. Dan... mungkin, sedikit untukku juga.
“Nayla, mulai,” perintah Arga.
Nayla berdiri. Posturnya tegak, penuh keyakinan. Suaranya jernih, presentasinya terstruktur. Ide dan solusi mengalir lancar, setiap data tersaji jelas. Para peserta rapat mengangguk setuju.
Dion terlihat bangga. Reza sibuk mencatat—tapi lebih sering mencuri pandang. Arga? Ia tak mengucapkan satu kata pun, namun matanya… tak pernah lepas dari Nayla.
Saat presentasi usai, Nayla kembali duduk. Ruangan sempat riuh oleh pujian dan tepuk tangan ringan. Tapi Arga mencondongkan tubuh, menunduk sedikit, hanya cukup dekat untuk berbicara lirih.
“Bagus. Kamu bisa jadi lebih dari sekadar sekretaris, Nayla…”
Nayla menoleh pelan. Tenang, tapi tajam. “Saya hanya menjalankan tugas saya, Pak.”
Arga kembali bersandar, tampak santai. Tapi pikirannya tidak. Matanya tidak.
Target sudah jelas.
Rencana telah dimulai.
Dan permainan ini… baru saja dibuka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments