NovelToon NovelToon

A Promise Between Us

Sebuah Janji

Lampu kantor sudah meredup, hanya beberapa meja yang masih diterangi layar laptop. Di lantai tujuh gedung startup itu, suara ketukan sepatu dan mesin kopi yang berdengung menjadi musik pengiring jam kerja yang tak kenal ampun.

Tasya menatap layar presentasinya satu kali lagi. Slide demi slide rapi tersusun, riset pasar, segmentasi, strategi digital, semua angka dan grafik yang sudah ia korek sampai larut. Besok pagi mereka presentasi final untuk proyek besar dan pemenangnya dijanjikan posisi lead project sekaligus loncatan karier.

Dia selalu jadi orang yang percaya, kerja keras yang rapi mengalahkan pesona. Itu juga yang membuatnya terkenal, tidak karena manis, melainkan karena tak pernah mau kalah.

"Ternyata kamu belum pulang juga?" suara seseorang memecah konsentrasi.

Tasya menoleh. Revan berdiri di bibir ruang meeting, jaketnya digantungkan di bahu, wajahnya tenang seperti biasanya. Pandangannya ke layar Tasya sekilas saja, cukup untuk tahu bahwa dia sedang membaca angka yang sama yang beberapa jam lalu sempat ia revisi sendiri.

"Kamu juga," jawab Tasya, datar.

Revan melangkah masuk, meletakkan secangkir kopi di meja kosong di dekatnya. "Kerja sampai pagi, ya? Atau sengaja buat bikin aku mati penasaran?"

Tasya menarik napas, menutup laptopnya setengah. Mereka sering begitu, saling sindir, saling uji coba batas. Di mata banyak orang mereka kompetitor. Di mata Tasya, Revan itu orang yang selalu tampil enteng tapi hasilnya selalu tajam, bakat yang menyebalkan.

"Jangan sok penasaran. Biar aku yang presentasi besok," Tasya menyentil, suara mengeras tipis.

Revan melirik, ada sudut senyum yang hampir muncul. "Jangan coba-coba, Sya. Aku sudah siapkan skenario yang lebih apik. Strategi kamu terlalu aman."

"Too safe wins contracts," Tasya membalas. "Too flashy just wins applause."

Mereka tertawa pendek,sebuah kebiasaan lama yang masing-masing membungkusnya dengan sengaja.

Malam semakin larut. Kulkas kantor berdengung pelan, jam digital di dinding menunjuk angka yang membuat banyak orang pulang. Tapi di ruangan itu, dua orang tetap bertahan, saling menyiapkan senjata untuk esok hari.

Di sela mengecek slide, Tasya menangkap satu hal kecil, ide Revan untuk targeting influencer lokal. Cerdas. Terlalu cerdas. Hatinya, seorang yang tak suka kalah, otomatis menyulut.

"Kamu tahu, kalau kita kerja bareng, presentasi ini bisa menang. Dua kepala, satu ide," Revan tiba-tiba berkata, nada santai namun matanya menantang.

Tasya mengangkat alis. "Kerja bareng? Kita bersaing, bukan berpasangan."

"Ada beda tipis antara bersaing dan bergabung. Pilihan ada di tanganmu," jawab Revan. Ia menjauh, lalu menoleh lagi. "Atau, kita buat janji ... siapa pun yang kalah, harus mengakui strategi pemenang di depan semua. A promise between us."

Kalimat itu, bahkan dalam bahasa Inggris sederhana mendadak terasa lain. Bukan sekadar taruhan profesional, nadanya ada yang lengket, seperti janji kecil yang bisa menahan atau meledakkan sesuatu.

Tasya menatap Revan, memikirkan gambaran pagi besok, lampu ruang presentasi, tatapan bos, dan suara detak jarum jam yang mengukur peluang. Di dalam dadanya ada kebanggaan, ada amarah, ada rasa ingin menang yang murni.

"Tantangan diterima," katanya akhirnya, suara polos namun tegas. "Tapi jangan menang karena trik murahan."

Revan mengangguk, senyumannya mengeras jadi serius. "Jangan khawatir. Aku main bersih, paling tidak, sampai kita punya alasan buat tidak bersaing lagi."

Mereka kembali menunduk pada pekerjaan masing-masing. Di luar, kota berkilau, sibuk dengan ritme yang sama. Di dalam kantor itu, dua orang bermusuhan memilih jalan yang sama, memacu diri sampai batasnya.

Janji kecil itu sebuah taruhan profesional tercetak samar antara mereka. Besok akan menentukan siapa yang menang. Tapi belum ada yang tahu, janji itu bisa berujung pada kemenangan, pengkhianatan, atau sesuatu yang jauh lebih rumit lagi.

"Semoga aku bisa mendapatkan posisi itu dan bisa membuktikan pada Papa, bahwa aku bisa mandiri tanpa bantuannya," gumam Tasya sembari menatap foto di meja kerjanya. Fotonya bersama dengan orang tuanya yang sangat dia sayangi.

---

Pagi itu, ruang rapat dipenuhi atmosfer serius. Semua karyawan tim marketing sudah duduk rapi, menunggu giliran presentasi. Tasya menatap layar laptopnya dengan penuh konsentrasi. Slide presentasinya sudah ia susun sejak seminggu lalu, bahkan ia rela begadang hanya untuk menyempurnakannya.

"Kamu udah siapin semuanya, kan?" tanya Fira pada sahabatnya yang terlihat gugup.

Tasya mengangguk sembari meremas kedua tangannya sendiri. Padahal ini bukan pertama kalinya ia melakukan presentasi, tapi karena menurut Tasya ini adalah presentasi yang menentukan pilihannya.

"Udah ... tenang aja, kamu pasti bisa dapetin posisi itu, Tas." Fira mengusap lembut punggung Tasya.

"Aku yakin, aku pasti bisa!" ucap Tasya dengan percaya diri.

Di sisi lain meja, Revan duduk tenang sambil memainkan pulpen di tangannya. Seolah tak terpengaruh, padahal ia juga tahu bahwa hari ini adalah momen penentuan. Keduanya sama-sama mengincar satu posisi.

"Baik, kita mulai dari Tasya," suara Pak Arman, atasan mereka, memecah keheningan.

Tasya berdiri, merapikan blazernya, lalu melangkah ke depan dengan percaya diri. Ia mempresentasikan strategi digital marketing yang fokus pada campaign sosial media interaktif. Kata-katanya jelas, rapi, dan terukur. Setiap poin ia sampaikan dengan penuh keyakinan, membuat beberapa rekan kerja mengangguk setuju.

Namun, saat ia membuka slide berikutnya, layar proyektor tiba-tiba menampilkan gambar yang berantakan. Angka-angka yang ia susun rapi semalam berubah menjadi simbol tak terbaca. Tasya tertegun.

"Apa ini?" bisiknya panik.

Revan yang duduk di kursinya hanya melirik, matanya menyipit tipis. Sementara itu, beberapa orang di ruangan berbisik-bisik, heran dengan error yang muncul.

"Wah, sayang sekali. Padahal penjelasan dari awal udah bagus."

"Kenapa eror? Dia tidak seceroboh itu."

"Sayang sekali, bisa-bisa Revan yang menang."

Tasya berusaha menenangkan diri. "Maaf, sepertinya ada kesalahan teknis. Saya akan coba buka file cadangan …" ujarnya terburu-buru.

Fira ikut cemas melihat sahabatnya yang panik karena file penting yang sudah Tasya persiapkan bisa rusak seperti itu.

Tapi file cadangan pun sama rusaknya. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ia yakin betul, semalam semua file baik-baik saja. Jadi, ada yang menyabotase.

"Kenapa begini? Kenapa semuanya rusak?" lirih Tasya. Tubuhnya terasa lemas.

"Tas, tenang," bisik Fira. Hanya itu yang bisa Fira lakukan.

Pak Arman menatapnya datar. "Tasya, waktu presentasi terbatas. Bisa tolong lanjutkan tanpa slide?"

Deg.

Jantung Tasya berdegup keras. Presentasi tanpa slide? Itu seperti berperang tanpa senjata.

"T-tanpa slide? B-baiklah, Pak." Fira berusaha menenangkan tangannya yang sudah gemetar sedari tadi.

Di saat yang sama, Revan berdiri perlahan, menawarkan flashdisknya. "Kalau berkenan, saya bisa membantu. Saya kebetulan menyiapkan file cadangan strategi saya. Siapa tahu bisa … memberi gambaran."

Tasya menoleh cepat. Matanya menatap tajam pada Revan. "Kamu …" ucapnya hampir berbisik, penuh curiga.

Apakah Revan orang yang menyabotase presentasinya?

TO BE CONTINUED

File: Shadow

Ruangan rapat mendadak hening. Beberapa orang menoleh ke arah Revan, ada yang tampak kagum dengan sikapnya, ada pula yang sekadar penasaran.

Namun, Pak Arman segera mengangkat tangan, menghentikan niat itu. "Tidak perlu, Revan. Ini presentasi individu. Saya ingin menilai setiap kandidat berdasarkan persiapan mereka masing-masing. Jadi, kita lanjut ke giliranmu."

Nada suaranya tegas, membuat jantung Tasya makin terhimpit. Ia menunduk, menatap laptopnya yang kini hanya menampilkan simbol-simbol kacau, seolah mengejeknya.

"Baik, Pak," jawab Revan singkat. Ia pun berdiri, berjalan maju dengan langkah mantap.

Suasana ruangan langsung berubah. Dari yang sebelumnya penuh bisik-bisik, kini semua mata tertuju padanya. Revan menyalakan proyektor, dan slide presentasinya terpampang jelas, rapi, modern, penuh warna yang elegan.

"Strategi digital marketing yang saya rancang berfokus pada optimalisasi engagement melalui influencer lokal, serta campaign interaktif berbasis storytelling," Revan membuka presentasi dengan suara yang tenang, namun penuh keyakinan.

Setiap kata yang ia lontarkan mengalir dengan lancar. Slide demi slide tersusun presisi, grafiknya mudah dipahami, data pendukungnya akurat. Ia bahkan menyelipkan simulasi campaign yang membuat beberapa karyawan langsung berbisik kagum.

"Luar biasa …"

"Detail sekali rencananya."

"Kalau ini dijalankan, bisa jadi gebrakan besar buat brand kita."

Tasya duduk kaku di kursinya. Setiap pujian yang ia dengar terasa seperti anak panah yang menghujam dadanya. Apalagi saat ia menatap ekspresi Pak Arman, mata sang atasan yang biasanya datar kini tampak berbinar.

"Presentasi yang sangat solid, Revan," komentar Pak Arman setelah Revan menutup presentasinya dengan percaya diri. "Saya suka cara kamu melihat celah yang belum dimanfaatkan. Ide-ide segar seperti ini yang dibutuhkan perusahaan."

Revan tersenyum tipis, menundukkan kepala dengan hormat. "Terima kasih, Pak."

Di kursinya, Tasya mengepalkan tangannya erat. Tidak mungkin. Tidak mungkin Revan bisa sempurna seperti itu tanpa …

Ia menoleh sekilas ke layar laptopnya yang rusak. Rasa curiga kian membakar. Ada sesuatu yang tidak beres.

Namun, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara tepuk tangan bergema di ruangan. Semua orang berdiri memberi penghormatan kecil pada Revan. Sementara itu, Tasya hanya bisa menahan napas, tubuhnya gemetar di antara rasa malu, marah, dan kalah.

Dalam hati kecilnya, ia berjanji. Aku akan cari tahu siapa yang merusak presentasiku. Jika benar Revan… maka janji semalam akan punya arti yang jauh berbeda.

---

Langkah kaki Tasya terdengar terburu-buru meninggalkan ruang rapat. Rasa panas menguasai kepalanya, bukan hanya karena hasil presentasi yang terasa berantakan, tetapi juga tatapan sinis beberapa rekan kerja yang seolah menertawakan kelemahannya.

Di luar ruang rapat, ia melihat Revan berjalan santai, dengan wajah datar yang seakan puas dengan apa yang baru saja terjadi. Amarah Tasya meledak. Tanpa berpikir panjang, ia menghampirinya.

"Revan!" seru Tasya, nadanya tajam.

Revan menoleh, keningnya berkerut, tetapi ia tidak menanggapi segera.

"Kamu yang melakukannya, kan?” tuduh Tasya lantang. "File presentasiku rusak padahal semalam semuanya baik-baik saja. Siapa lagi kalau bukan kamu?"

Beberapa karyawan yang lewat sempat melambatkan langkah, pura-pura sibuk dengan ponsel mereka, namun jelas telinga mereka menangkap percakapan itu.

Revan menghela napas pelan, menahan diri untuk tidak terpancing. "Jangan asal tuduh, Sya. Kamu tahu sendiri aku tidak sepicik itu."

"Semua dataku hilang, padahal semalam masih lengkap. Kamu memang licik, Revan. Dari awal kamu selalu ingin menjatuhkan aku," Tasya terus menekan, matanya berkilat penuh emosi.

Revan menatapnya lurus. Nada suaranya tenang, tapi menusuk. "Kalau kamu kalah, terimalah dengan kepala tegak. Jangan mencari kambing hitam. Bangunlah dari tidurmu, Sya. Nyatanya kamu memang kalah hari ini."

Wajah Tasya memerah, antara marah dan tersinggung. Ia menggertakkan giginya, tapi tidak mampu menemukan balasan yang setara dengan ketenangan Revan.

Untuk pertama kalinya, Tasya merasa benar-benar terpojok, bukan hanya karena presentasinya gagal, tapi juga karena Revan berhasil membuatnya tampak seperti pecundang di mata orang lain.

Fira buru-buru menarik lengan Tasya sebelum emosi sahabatnya meledak semakin parah.

"Tasya, cukup! Kamu jangan asal nuduh tanpa bukti," ucap Fira dengan nada lembut, mencoba meredakan suasana.

Tasya masih menatap Revan dengan penuh amarah, napasnya memburu. "Tapi aku yakin dia yang melakukannya, Fir! Siapa lagi kalau bukan dia?"

Revan hanya mendengus pelan, lalu menyilangkan tangan di dada. "Kalau memang aku pelakunya, buktikan. Kalau enggak, jangan buang waktu buat hal bod0h." Tatapannya dingin, membuat beberapa karyawan yang masih berada tidak jauh dari mereka jadi semakin penasaran dengan pertengkaran itu.

Fira menoleh ke arah Revan sebentar, lalu menepuk pundak Tasya. "Sudah, jangan bikin malu dirimu sendiri. Kalau memang kamu benar, ayo kita cari buktinya. Jangan gegabah seperti ini."

Tasya terdiam, wajahnya masih merah karena marah bercampur malu. Ia menggertakkan giginya, lalu mengangguk pelan. "Baik. Aku akan cari tahu siapa yang berani main kotor di belakangku. Dan kalau terbukti Revan yang melakukannya …" Ia menatap Revan tajam. "Aku nggak akan diam."

Revan hanya tersenyum tipis, seolah tak terpengaruh ancaman itu. "Good luck!" gumamnya dengan nada sarkastis sebelum berbalik meninggalkan tempat itu.

Fira menggandeng Tasya yang masih bergetar karena emosi. "Udah, ayo. Kita nggak bisa sembarangan. Kita bakal cari siapa yang nyabotase data kamu."

---

Malam itu, setelah pulang dari kantor, Tasya duduk di kamarnya dengan laptop menyala. Berkali-kali ia mencoba membuka file presentasinya, tapi hasilnya tetap sama, simbol-simbol aneh yang tidak bisa dibaca.

Namun ada sesuatu yang membuatnya berhenti.

Sebuah folder baru muncul di laptopnya, dengan nama asing yang tidak pernah ia buat sebelumnya, Shadow.

Tasya menelan ludah, jari-jarinya gemetar saat hendak mengklik folder itu.

Sementara itu, di apartemennya, Revan duduk dengan laptop terbuka. Wajahnya serius, jauh dari sikap santai yang biasa ia tunjukkan di depan orang lain. Di layar, ia juga melihat jejak folder yang sama.

"Jadi … bukan aku, dan bukan dia," gumam Revan pelan, matanya menyipit. "Kalau begitu … siapa?"

Mereka berdua tidak tahu, permainan yang mereka kira hanya sebatas rivalitas kantor, ternyata sudah dimulai jauh lebih dalam.

Dan seseorang di luar sana sedang menarik tali, menikmati kekacauan yang akan terjadi.

---

Flashback – satu jam sebelum presentasi dimulai

Revan duduk di meja kerjanya, membuka laptop kantornya. Jari-jarinya berhenti menekan keyboard begitu melihat tampilan layar. Data presentasinya berantakan, grafik tak terbaca, poin-poin utama hilang, bahkan beberapa file seakan diganti dengan teks kosong.

Alisnya terangkat, sudut bibirnya menegang. "Jadi ini trik Tasya? Murahan banget." batinnya.

Tapi Revan bukan tipe orang yang mudah dibuat jatuh. Dengan tenang ia mengeluarkan laptop pribadinya dari tas, menyalakannya, lalu menghubungkan ke proyektor cadangan yang ia bawa sendiri, sebuah antisipasi kecil yang ia siapkan sejak awal.

"Kau pikir aku sebodoh itu?" Revan mendesis pelan.

Dalam waktu singkat, ia memulihkan data asli yang ia simpan secara terpisah. Semua kembali normal, bahkan lebih rapi dari sebelumnya.

TO BE CONTINUED

Manager marketing

Keesokan harinya, semua tim marketing berkumpul di ruang rapat. Direktur utama, Pak Arman, berdiri di depan dengan senyum puas, "Mulai hari ini, posisi Manager Marketing resmi dipegang oleh Revan Aditya."

Revan berdiri, membungkuk sedikit memberi hormat, sementara sorot mata rekan-rekannya tertuju padanya dengan berbagai ekspresi, ada yang kagum, ada yang iri, ada juga yang biasa saja.

Di sudut ruangan, Tasya hanya terdiam. Tangannya terkepal di pangkuan, matanya terasa panas. Bukan karena ia tak tahu kalah, tapi karena semua kerja kerasnya seolah sirna dalam sekejap. Begitu rapat bubar, ia buru-buru mengambil tas dan keluar tanpa banyak bicara.

"Hei, Tasya! Mau bareng turun?" salah satu rekan sempat menahan, tapi ia hanya menggeleng singkat. "Aku butuh udara segar."

Tangga darurat ia turuni cepat, seolah ingin melarikan diri dari hiruk-pikuk kantor. Begitu sampai di basement, ia langsung masuk ke mobilnya.

Sambil menyalakan mesin, ia bergumam lirih, "Aku tahu ini kekanakan … tapi aku benar-benar nggak bisa lihat wajah mereka sekarang."

Mobil itu melaju keluar gedung, menembus keramaian jalan. Pandangannya kosong, pikirannya hanya berputar-putar pada kata-kata kalah dan gagal. Ia bahkan tak menyalakan musik, hanya suara mesin yang menemani perjalanannya.

Tak terasa, ia sudah sampai di gerbang pemakaman. Tempat yang selalu membuat hatinya tenang. Lima tahun sudah sejak sang ibu pergi, tapi setiap kali berdiri di depan pusara itu, rasanya luka lama terbuka kembali.

Tasya berjongkok, menatap nama sang ibu yang terukir rapi di batu nisan. Jemarinya menyentuh perlahan, dan tanpa sadar air mata mulai jatuh.

"Ma … Tasya gagal lagi." suaranya parau. "Aku kalah, Ma. Dan aku benci perasaan ini. Semua orang menganggap aku lemah, bahkan aku sendiri merasa begitu."

Ia terdiam sejenak, lalu menunduk lebih dalam. "Kenapa aku nggak bisa jadi sehebat yang Mama harapkan, ya? Kenapa aku selalu salah langkah?"

Angin sore berhembus lembut, seolah menjawab kegundahan hati Tasya. Tapi bukannya menenangkan, justru membuatnya semakin larut dalam kesedihan.

---

Sore itu kantor sudah mulai sepi, hanya beberapa karyawan yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Begitu memasuki ruangan, langkah Tasya langsung terhenti ketika Revan berdiri menghadangnya.

"Sya?" suara Revan berat, penuh penekanan. "Kamu pergi tanpa izin. Jangan ulangi lagi."

Tasya menatapnya dingin, tidak berniat menjawab. Tatapannya yang sinis justru membuat rahang Revan mengeras, namun ia menahan diri. Ia lalu menaruh setumpuk berkas di meja Tasya.

"Aku mau laporan ini selesai malam ini juga," tegas Revan.

Tanpa banyak protes, Tasya duduk dan mulai mengerjakan. Waktu terus berjalan, jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ruangan kantor benar-benar sunyi, hanya terdengar bunyi ketikan laptop Tasya.

Revan yang masih ada di ruangannya, akhirnya berjalan menghampiri. "Sudah selesai?" tanyanya datar, sambil menatap lembaran kerja Tasya.

Belum sempat Tasya menjawab, Revan memperhatikan sesuatu yang janggal. "Tasya … hidung kamu—"

Setitik darah menetes dari hidung Tasya. Ia tersentak, buru-buru menutupinya dengan tangan.

"Hei, kamu mimisan!" Revan panik, segera berusaha meraih tisu di mejanya. Namun saat tangannya terulur untuk membantu, Tasya spontan menepis.

"Aku bisa sendiri," ucapnya ketus, lalu berlari ke toilet dengan tergesa, meninggalkan Revan yang terdiam, menatap punggungnya yang menjauh.

Tasya berdiri di depan wastafel, menunduk sambil membasuh wajahnya dengan air dingin. Tisu di tangannya sudah penuh bercak merah. Nafasnya terengah, bukan hanya karena mimisan, tapi juga karena menahan emosi yang menumpuk seharian.

Pintu toilet berderit. Dari pantulan kaca, Tasya melihat Revan masuk perlahan.

"Sya ..." suara Revan terdengar datar, tapi ada sedikit nada khawatir di dalamnya.

"Aku nggak butuh bantuanmu," potong Tasya cepat, menempelkan tisu baru ke hidungnya tanpa menoleh.

Revan melangkah lebih dekat, menatap bayangan Tasya di cermin. "Kamu memaksakan diri. Kalau sakit, bilang."

Tasya tertawa kecil, sinis. "Peduli banget sekarang? Kamu pikir aku nggak bisa kerja? Atau kamu cuma mau lihat aku jatuh biar bisa bilang aku gagal?"

Revan terdiam sejenak, rahangnya mengeras. "Bukan itu maksudku."

"Kalau begitu keluar." Tatapan Tasya di kaca menusuk, dingin. "Aku lebih baik sendirian daripada pura-pura didukung sama orang yang cuma bisa merendahkanku."

Hening. Revan ingin bicara, tapi lidahnya kelu. Akhirnya ia hanya menarik napas panjang, lalu berkata lirih, "Aku bukan musuhmu, Anastasya."

Tasya tidak menjawab. Ia terus mengusap wajahnya, pura-pura sibuk, berharap Revan segera pergi.

Revan menatapnya sekali lagi, lalu melangkah keluar dengan perasaan yang sulit ia jelaskan, antara khawatir, kesal, dan juga ada sedikit rasa bersalah yang enggan ia akui.

Tasya baru saja melangkah keluar dari toilet ketika tiba-tiba pergelangan tangannya diraih seseorang. Ia terkejut, mendongak, dan mendapati Revan menatapnya dengan wajah serius.

"Hei, lepasin!" protes Tasya, berusaha melepaskan tangannya. Namun, Revan tidak menggubris. Dengan langkah cepat ia menyeret Tasya menuju ruangannya.

Setelah pintu tertutup rapat, Revan langsung membuka laptopnya yang masih menyala. Di hadapan Tasya, ia menunjukkan beberapa file presentasi yang sudah berantakan, tabel yang hilang, grafik yang rusak, bahkan beberapa data berubah seolah ada yang dengan sengaja mengacak-acak.

"Lihat sendiri," suara Revan berat, nyaris seperti menahan amarah. "Bukan cuma datamu yang kena. Dataku juga dirusak."

Tasya menatap layar itu, matanya melebar. Sekilas, memang terlihat nyata kerusakannya. Tapi ia menahan diri, menautkan alis dengan penuh kecurigaan.

"Dan kamu mau aku percaya begitu aja?"

Revan mendekat sedikit, menatap Tasya tajam. "Kalau aku pelakunya, buat apa aku bikin dataku sendiri jadi kacau? Aku juga korban, Sya!"

Tasya menggigit bibirnya. Dalam hati, ia ingin percaya, tapi keraguannya masih terlalu besar. Ucapannya terdengar datar, "Alasan itu bisa aja kamu pakai biar keliatan seolah-olah kamu nggak bersalah. Aku nggak bisa percaya seratus persen gitu aja."

Senyum miring terukir di wajah Revan, entah menahan kesal atau justru menikmati perdebatan itu. "Ya udah, kamu bebas mikir apa aja. Tapi cepat atau lambat, kamu bakal sadar kalau ada orang lain yang lagi mainin kita dari belakang."

Revan menutup salah satu folder di laptopnya dengan suara klik yang menggema di ruangan hening itu. Ia bersandar ke kursinya, menatap Tasya lekat-lekat.

"Cepat atau lambat, kita harus cari tahu siapa yang main di belakang layar ini," katanya, nadanya pelan tapi menusuk.

Tasya terdiam, tatapannya masih penuh ragu. Tapi di balik sinisnya, hatinya berdegup tak karuan. Ada sesuatu di sorot mata Revan tadi yang berbeda, seolah-olah ia benar-benar berkata jujur.

Saat ia melangkah keluar, layar laptop Revan kembali menyala sendiri. Folder misterius bernama Shadow muncul, padahal barusan sudah dihapus.

Dan kali ini, ada pesan singkat di dalamnya.

Game baru saja dimulai.

TO BE CONTINUED

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!